Home
» Seni Budaya
» Kasepuhan Sirnaresmi-Banten Kidul: Sistem Pertaniannya Lebih Canggih dari Pertanian Modern
Monday, January 20, 2020
Sebagaimana kita ketahui, Tanah Pasundan paling banyak memiliki Kampung Adat dibanding daerah lainnya di Indonesia.
Kesenian Jipeng digelar dalam acara Pesta Panen (Seren Taun) |
Kasepuhan atau Kampung Adat itu dengan segala budaya buhunnya yang khas dan penuh seribu tabu, pamali dan pantrangan, berjajar bak pagar kokoh dari Barat hingga Timur membentuk kantong-kantong budaya dengan ciri khasnya masing-masing yang tak mudah ditembus budaya Barat.
Sebut saja Kanekes (Baduy) di Kecamatan Leuwi Damar Kabupaten Lebak-Banten, ditambah Kasepuhan Cibadak di daerah yang sama, terus di Banten Kidul (Selatan) ada Kasepuhan Sirna Resmi (sepeninggal Abah Udjat Sudjati, sekarang dipimpin putranya Abah Asep Nugraha), juga Kampung Cipta Gelar (pimpinan Abah Ugi Rakasiwi, menggantikan mendiang Abah Utjup Sutjipta) serta Cisungsang. Bergeser ke Desa Kiara Pandak, Sukajaya Bogor ada Kampung Adat Urug.
Bandung Raya sendiri banyak memiliki Kampung Adat, seperti Kampung Adat Cikondang yang terletak di Desa Lamajang, Pangalengan Kabupaten Bandung, Kampung Adat Cireundeu di Leuwi Gajah, Kota Cimahi yang pengkuh (konsisten) hingga sekarang makan singkong (Rasi, Beras Singkong) bukan nasi layaknya kebanyakan masyarakat Indonesia, belum Kampung Adat Mahmud yang religius di Desa Mekar Rahayu, Kecamatan Margaasih Kabupaten Bandung.
Yang lainnya tersebar Di Rancakalong Kabupaten Sumedang. Di Kabupaten Garut pun ada Kampung Pulo dan Kampung Dukuh di daerah Cijambe, Cikelet, Pameungpeuk, Garut ditambah Kabuyutan Ciburuy, di Tasik ada Kampung Naga dan di Ciamis ada Kampung Kuta.
Khusus di Kampung Adat Sirnaresmi (Kasepuhan Banten Kidul) tatacara tatanen/pertaniannya sudah terkenal dan terbukti lebih “canggih” dibanding tatacara pertanian modern. Pertanian di Sirnaresmi tidak menggunakan pupuk kimia, tapi cukup dengan pupuk kandang atau kompos, sebab dari hasil penelitian ilmiah terbukti pupuk kimia malah merusak kasuburan tanah, disamping itu di Kampung Adat yang dipimpin Abah Asep Nugraha ini punya kebiasaan memelihara ikan di sawah, karena terbukti “kotoran” ikan sangat baik untuk kasuburan sawah.
Begitu juga dalam hal mengolah sawah, utamanya dalam ngawuluku, membajak sawah, orang Kasepuhan hingga sekarang tetap pengkuh, konsisten menggunakan Lanyam (wuluku kayu) yang memang cocok digunakan di “lahan basah/sawah”, tidak terpengaruh “bajak singkal” yang dibawa penjajah Belanda yang terbukti hanya cocok digunakan di lahan darat.
Dalam memilih benih padi pun tidak sembarangan. Tidak pernah menanam bibit unggul yang biasa dipanen 3 (tiga) kali dalam setahun seperti di daerah lainnya, tapi tetap pengkuh menanam bibit padi yang ujungnya “berbulu” dan dipanen setahun sekali. Ternyata setelah diteliti padi jenis seperti itu “anti hama burung pipit”. Jadi padi berjenis seperti itu kalau lagi matang-matangnya (gede pare) tidak akan diserang hama burung pipit karena punya pertahanan alami (bulu) yang sering menusuk mata burung hama.
Abah Asep Nugraha bersama generasi penerus, putra sulungnya |
Kata Abah Asep, hingga kini di Sirnaresmi ada 68 jenis padi lokal yang biasa ditanam setahun sekali (ketika wartawan berkunjung ke Sirnaresmi tahun 80-an, ada 80 jenis). Jenis-jenis padi tersebut diantaranya, padi huma: bunar, batu, bangban, loyor, jamudin, gadog, ketan kawung, ketan nangka. Padi yang biasa ditanam di sawah seperti sri kuning, cere marilen, cere kawat, cere beureum, cere ruyeg, cere aol. cere gudang, cere segpri, srimahi, gadog, gantang, pare hideung, pare seksek, beureum kadut, ganggarangan, dan banyak lagi.
Dalam hal menyimpan padi hasil panen, selain mempunyai “Leuit Desa” (lumbung padi desa) yang bisa diambil (dieclok/dipinjam) oleh semua warga yang kekurangan pangan di musim nguyang/paceklik, orang Kasepuhan pun memiliki leuit (lumbung padi) canggih, anti hama tikus dan anti kutu, yang luar biasa walaupun padi sudah tersimpan 25 tahun di lumbung tersebut tapi tidak barbau apek dan enak dimakan.
Setelah diteliti para ahli (Pertanian Unpad), ternyata bangunan tempat menyimpan padi yang tingginya hanya 40cm dari permukaan tanah serta anti kutu, anti tikus dan anti apek ini ternyata bahannya terbuat dari “kayu naga” yang memang anti hama dan anti tikus serta tentu saja ditambah oleh konstruksinya yang punya ciri khas, sebagaimana “khasnya” leuit /lumbung padi Sunda.
“Adat tradisi dari nini-aki atau karuhun (luluhur) utamanya dalam hal pertanian tentu akan terus kami lestarikan. Tradisi menanam padi pun masih tetap setahun sekali. Tapi alhamdulillah selama ini bisa mencukupi keperluan pangan masyarakat kasepuhan”, kata Abah Asep Nugraha ketika bertemu dengan wartawan di Festival Budaya Nusantara #3 ISBI Bandung. Saat itu Bah Asep membawa rombongan Jipeng dan Rengkong, untuk dipergelarkan dalam perhelatan budaya 6 kampung adat Jawa Barat, (18/11/2019).
Bah Asep menambahkan jika jenis-jenis padi tersebut ditanam di seperempat lahan desa yang luasnya 4.917H. “Itu lahan desa, kalau lahan adat lebih luas lagi, secara administrasi memang Abah ada di Desa Sirnaresmi tapi lahan Kasepuhan (Banten Kidul) mah meliputi hinga 3 (tiga) kabupaten, Sukabumi, Bogor, dan Kabupaten Lebak”.
Begitu juga dalam hal Kesenian di Kasepuhan Sirnaresmi. Terdapat kesenian-kesenian yang langka seperti Ngagendek atau menabuh lesung yang tidak ada padinya (Gondang). Nah, kalau memakai padi disebut Ngarempug, serta Nutu (menumbuk padi) untuk keperluan sehari-hari. Yang lainnya Dogdog Lojor (dogdog panjang), Laes (Lais, atraksi tali yang diikatkan ke dua tiang bambu), Debus (atraksi kebal senjata tajam), Ujungan (atraksi saling pukul dengan mengunakan tongkat rotan atau alu/halu), Jipeng (Tanji Topeng), Wayang Golek, Toleat (alat tiup), Karinding dan Rengkong (kesenian dengan memakai pikulan padi dari bahan bambu yang bergesekan dengan tali pengikat hingga menimbulkan bunyi riuh seperti kodok di sawah).
Rengkong dan Ngagendek seni Masyarakat Pertanian |
“Insyaalloh Kasepuhan Sirnaresmi mah akan tetap pengkuh (konsisten) ngamumule (melestarikan) adat tatali paranti (adat tradisi) karuhun, moal dugi ka jati ka silih ku junti-ragana moal ka silih ku mangsa (tidak akan tergantikan oleh budaya asing serta selamanya akan konsisten melestarikan adat tradisi). Hanya akan lebih baik lagi kalau didukung oleh pihak pemerintah yang terkait dengan bidang parawisata dan kebudayaan”, kata Abah Asep serius.
Kasepuhan Sirnaresmi, kata Abah Asep, selama ini tetap melaksanakan acara Seren Taun (syukuran panen), walau jarang dihadiri bupati, tapi dihadiri ribuan masyarakat dari berbagai pelosok dan daerah, dari hari Rabu hingga Minggu, malah hingga bertemu Rabu lagi layaknya pesta kerajaan tujuh hari tujuh malam. Dan semua ini kalau dikemas serius dan didukung pemerintah akan jadi tujuan wisata budaya yang dampaknya bukan hanya sebagai pelestarian budaya tapi juga akan menaikan ekonomi masyarakat setempat dan PAD (Pendapatan Asli Daerah) pemkab.
Tapi Abah Asep pun tak melupakan bantuan pemerintah. Selain Kasepuhan Sirnaresmi dijadikan wilayah Geopark Ciletuh, pihak balai budaya juga sudah memberi bantuan alat-alat musik Jipeng yang memang umurnya sudah ratusan tahun, peningalan Belanda seperti terompet, clarinet, Trombone, Brush dan drum serta Gamelan walau belum sesuai dengan keinginan, sebab Gamelan walau baru harus dilaras lagi karena banyak yang sumbang/fals. “Mendingan beli yang bekas pakai tapi kualitasnya siap pakai serta kondisinya 80-90% daripada Gemelan baru tapi banyak yang sumbang”, demikian harapnya.
Box
Kasepuhan Sirnaresmi yang terletak di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, hingga kini banyak dikunjungi masyarakat, seniman dan budayawan dari berbagai pelosok, begitu juga kaum akademis dari berbagai perguruan tinggi dalam dan luar negeri yang melakukan penelitian bidang sosiologi, antropologi, pertanian, kebudayaan, dan sebagainya. Para mahasiswa dan budayawan itu ada yang datang dari Prancis, Jerman, Inggris, Australia, termasuk para turis asing dan domestik.
Leuit Kampung Adat Sirnaresmi (net. Dok Kasepuhan Sirnaresmi) |
“Kawargi-wargi anu bade ngersakeun sumping lolongok ka Kasepuhan Sirnaresi, mangga 24 jam buka moal disasaha, bade tengah wengi atanapi janari ge bakal dibageakeun kalayan kabingahan, salami tekadna sae mah” (Kepada saudaraku yang ingin beranjangsana ke Kasepuhan Sirnaresmi, silakan kami akan menerima anda 24 jam, mau tengah malam atau subuh hari akan kami sambut dengan senang hati selama berniat baik), demikian kata Bah Asep.
Abah Asep Nugraha yang pernah mengenyam kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Pakuan Bogor (87), dan SMA Pasundan Sukabumi tekadnya sudah bulat akan memimpin Kasepuhan Sirnaresmi didukung oleh istrinya Ambu Noor bersama para putra-putri tercintanya, Saragosa Gua (Pagi), Vika Mandala, Putri Biankka Rachma Bella dan Berliana Desti.
Abah Asep sebelum berpisah tak lupa mengajak “Lamun urang janten urang sunda ulah dugi ka leungiteun jatidiri, teu di sepuh, teu di murangkalih, teu di wanoja, teu di jajaka kedah emut kana purwadaksina, emut ka temahwadina, yen urang cicing di lemah tatar kasundaannya panginten kedah apal kana Sundana”, (Kalau kita jadi orang Sunda jangan sampai kehilangan jatidiri, mau orang tua, anak-anak, mau mojang atau jejaka harus ingat kepada 'Purwadaksinya'/dari mana kamu berasal, jangan lupa ke 'temah wadinya'/lupa diri, kita hidup di Tatar Kasundaan, ya harus tahu tentang Sunda”, demikian pungkas Abah Asep. (Asep GP)***
Kasepuhan Sirnaresmi-Banten Kidul: Sistem Pertaniannya Lebih Canggih dari Pertanian Modern
Posted by
Tatarjabar.com on Monday, January 20, 2020
Sebagaimana kita ketahui, Tanah Pasundan paling banyak memiliki Kampung Adat dibanding daerah lainnya di Indonesia.
Kesenian Jipeng digelar dalam acara Pesta Panen (Seren Taun) |
Kasepuhan atau Kampung Adat itu dengan segala budaya buhunnya yang khas dan penuh seribu tabu, pamali dan pantrangan, berjajar bak pagar kokoh dari Barat hingga Timur membentuk kantong-kantong budaya dengan ciri khasnya masing-masing yang tak mudah ditembus budaya Barat.
Sebut saja Kanekes (Baduy) di Kecamatan Leuwi Damar Kabupaten Lebak-Banten, ditambah Kasepuhan Cibadak di daerah yang sama, terus di Banten Kidul (Selatan) ada Kasepuhan Sirna Resmi (sepeninggal Abah Udjat Sudjati, sekarang dipimpin putranya Abah Asep Nugraha), juga Kampung Cipta Gelar (pimpinan Abah Ugi Rakasiwi, menggantikan mendiang Abah Utjup Sutjipta) serta Cisungsang. Bergeser ke Desa Kiara Pandak, Sukajaya Bogor ada Kampung Adat Urug.
Bandung Raya sendiri banyak memiliki Kampung Adat, seperti Kampung Adat Cikondang yang terletak di Desa Lamajang, Pangalengan Kabupaten Bandung, Kampung Adat Cireundeu di Leuwi Gajah, Kota Cimahi yang pengkuh (konsisten) hingga sekarang makan singkong (Rasi, Beras Singkong) bukan nasi layaknya kebanyakan masyarakat Indonesia, belum Kampung Adat Mahmud yang religius di Desa Mekar Rahayu, Kecamatan Margaasih Kabupaten Bandung.
Yang lainnya tersebar Di Rancakalong Kabupaten Sumedang. Di Kabupaten Garut pun ada Kampung Pulo dan Kampung Dukuh di daerah Cijambe, Cikelet, Pameungpeuk, Garut ditambah Kabuyutan Ciburuy, di Tasik ada Kampung Naga dan di Ciamis ada Kampung Kuta.
Khusus di Kampung Adat Sirnaresmi (Kasepuhan Banten Kidul) tatacara tatanen/pertaniannya sudah terkenal dan terbukti lebih “canggih” dibanding tatacara pertanian modern. Pertanian di Sirnaresmi tidak menggunakan pupuk kimia, tapi cukup dengan pupuk kandang atau kompos, sebab dari hasil penelitian ilmiah terbukti pupuk kimia malah merusak kasuburan tanah, disamping itu di Kampung Adat yang dipimpin Abah Asep Nugraha ini punya kebiasaan memelihara ikan di sawah, karena terbukti “kotoran” ikan sangat baik untuk kasuburan sawah.
Begitu juga dalam hal mengolah sawah, utamanya dalam ngawuluku, membajak sawah, orang Kasepuhan hingga sekarang tetap pengkuh, konsisten menggunakan Lanyam (wuluku kayu) yang memang cocok digunakan di “lahan basah/sawah”, tidak terpengaruh “bajak singkal” yang dibawa penjajah Belanda yang terbukti hanya cocok digunakan di lahan darat.
Dalam memilih benih padi pun tidak sembarangan. Tidak pernah menanam bibit unggul yang biasa dipanen 3 (tiga) kali dalam setahun seperti di daerah lainnya, tapi tetap pengkuh menanam bibit padi yang ujungnya “berbulu” dan dipanen setahun sekali. Ternyata setelah diteliti padi jenis seperti itu “anti hama burung pipit”. Jadi padi berjenis seperti itu kalau lagi matang-matangnya (gede pare) tidak akan diserang hama burung pipit karena punya pertahanan alami (bulu) yang sering menusuk mata burung hama.
Abah Asep Nugraha bersama generasi penerus, putra sulungnya |
Kata Abah Asep, hingga kini di Sirnaresmi ada 68 jenis padi lokal yang biasa ditanam setahun sekali (ketika wartawan berkunjung ke Sirnaresmi tahun 80-an, ada 80 jenis). Jenis-jenis padi tersebut diantaranya, padi huma: bunar, batu, bangban, loyor, jamudin, gadog, ketan kawung, ketan nangka. Padi yang biasa ditanam di sawah seperti sri kuning, cere marilen, cere kawat, cere beureum, cere ruyeg, cere aol. cere gudang, cere segpri, srimahi, gadog, gantang, pare hideung, pare seksek, beureum kadut, ganggarangan, dan banyak lagi.
Dalam hal menyimpan padi hasil panen, selain mempunyai “Leuit Desa” (lumbung padi desa) yang bisa diambil (dieclok/dipinjam) oleh semua warga yang kekurangan pangan di musim nguyang/paceklik, orang Kasepuhan pun memiliki leuit (lumbung padi) canggih, anti hama tikus dan anti kutu, yang luar biasa walaupun padi sudah tersimpan 25 tahun di lumbung tersebut tapi tidak barbau apek dan enak dimakan.
Setelah diteliti para ahli (Pertanian Unpad), ternyata bangunan tempat menyimpan padi yang tingginya hanya 40cm dari permukaan tanah serta anti kutu, anti tikus dan anti apek ini ternyata bahannya terbuat dari “kayu naga” yang memang anti hama dan anti tikus serta tentu saja ditambah oleh konstruksinya yang punya ciri khas, sebagaimana “khasnya” leuit /lumbung padi Sunda.
“Adat tradisi dari nini-aki atau karuhun (luluhur) utamanya dalam hal pertanian tentu akan terus kami lestarikan. Tradisi menanam padi pun masih tetap setahun sekali. Tapi alhamdulillah selama ini bisa mencukupi keperluan pangan masyarakat kasepuhan”, kata Abah Asep Nugraha ketika bertemu dengan wartawan di Festival Budaya Nusantara #3 ISBI Bandung. Saat itu Bah Asep membawa rombongan Jipeng dan Rengkong, untuk dipergelarkan dalam perhelatan budaya 6 kampung adat Jawa Barat, (18/11/2019).
Bah Asep menambahkan jika jenis-jenis padi tersebut ditanam di seperempat lahan desa yang luasnya 4.917H. “Itu lahan desa, kalau lahan adat lebih luas lagi, secara administrasi memang Abah ada di Desa Sirnaresmi tapi lahan Kasepuhan (Banten Kidul) mah meliputi hinga 3 (tiga) kabupaten, Sukabumi, Bogor, dan Kabupaten Lebak”.
Begitu juga dalam hal Kesenian di Kasepuhan Sirnaresmi. Terdapat kesenian-kesenian yang langka seperti Ngagendek atau menabuh lesung yang tidak ada padinya (Gondang). Nah, kalau memakai padi disebut Ngarempug, serta Nutu (menumbuk padi) untuk keperluan sehari-hari. Yang lainnya Dogdog Lojor (dogdog panjang), Laes (Lais, atraksi tali yang diikatkan ke dua tiang bambu), Debus (atraksi kebal senjata tajam), Ujungan (atraksi saling pukul dengan mengunakan tongkat rotan atau alu/halu), Jipeng (Tanji Topeng), Wayang Golek, Toleat (alat tiup), Karinding dan Rengkong (kesenian dengan memakai pikulan padi dari bahan bambu yang bergesekan dengan tali pengikat hingga menimbulkan bunyi riuh seperti kodok di sawah).
Rengkong dan Ngagendek seni Masyarakat Pertanian |
“Insyaalloh Kasepuhan Sirnaresmi mah akan tetap pengkuh (konsisten) ngamumule (melestarikan) adat tatali paranti (adat tradisi) karuhun, moal dugi ka jati ka silih ku junti-ragana moal ka silih ku mangsa (tidak akan tergantikan oleh budaya asing serta selamanya akan konsisten melestarikan adat tradisi). Hanya akan lebih baik lagi kalau didukung oleh pihak pemerintah yang terkait dengan bidang parawisata dan kebudayaan”, kata Abah Asep serius.
Kasepuhan Sirnaresmi, kata Abah Asep, selama ini tetap melaksanakan acara Seren Taun (syukuran panen), walau jarang dihadiri bupati, tapi dihadiri ribuan masyarakat dari berbagai pelosok dan daerah, dari hari Rabu hingga Minggu, malah hingga bertemu Rabu lagi layaknya pesta kerajaan tujuh hari tujuh malam. Dan semua ini kalau dikemas serius dan didukung pemerintah akan jadi tujuan wisata budaya yang dampaknya bukan hanya sebagai pelestarian budaya tapi juga akan menaikan ekonomi masyarakat setempat dan PAD (Pendapatan Asli Daerah) pemkab.
Tapi Abah Asep pun tak melupakan bantuan pemerintah. Selain Kasepuhan Sirnaresmi dijadikan wilayah Geopark Ciletuh, pihak balai budaya juga sudah memberi bantuan alat-alat musik Jipeng yang memang umurnya sudah ratusan tahun, peningalan Belanda seperti terompet, clarinet, Trombone, Brush dan drum serta Gamelan walau belum sesuai dengan keinginan, sebab Gamelan walau baru harus dilaras lagi karena banyak yang sumbang/fals. “Mendingan beli yang bekas pakai tapi kualitasnya siap pakai serta kondisinya 80-90% daripada Gemelan baru tapi banyak yang sumbang”, demikian harapnya.
Box
Kasepuhan Sirnaresmi yang terletak di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, hingga kini banyak dikunjungi masyarakat, seniman dan budayawan dari berbagai pelosok, begitu juga kaum akademis dari berbagai perguruan tinggi dalam dan luar negeri yang melakukan penelitian bidang sosiologi, antropologi, pertanian, kebudayaan, dan sebagainya. Para mahasiswa dan budayawan itu ada yang datang dari Prancis, Jerman, Inggris, Australia, termasuk para turis asing dan domestik.
Leuit Kampung Adat Sirnaresmi (net. Dok Kasepuhan Sirnaresmi) |
“Kawargi-wargi anu bade ngersakeun sumping lolongok ka Kasepuhan Sirnaresi, mangga 24 jam buka moal disasaha, bade tengah wengi atanapi janari ge bakal dibageakeun kalayan kabingahan, salami tekadna sae mah” (Kepada saudaraku yang ingin beranjangsana ke Kasepuhan Sirnaresmi, silakan kami akan menerima anda 24 jam, mau tengah malam atau subuh hari akan kami sambut dengan senang hati selama berniat baik), demikian kata Bah Asep.
Abah Asep Nugraha yang pernah mengenyam kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Pakuan Bogor (87), dan SMA Pasundan Sukabumi tekadnya sudah bulat akan memimpin Kasepuhan Sirnaresmi didukung oleh istrinya Ambu Noor bersama para putra-putri tercintanya, Saragosa Gua (Pagi), Vika Mandala, Putri Biankka Rachma Bella dan Berliana Desti.
Abah Asep sebelum berpisah tak lupa mengajak “Lamun urang janten urang sunda ulah dugi ka leungiteun jatidiri, teu di sepuh, teu di murangkalih, teu di wanoja, teu di jajaka kedah emut kana purwadaksina, emut ka temahwadina, yen urang cicing di lemah tatar kasundaannya panginten kedah apal kana Sundana”, (Kalau kita jadi orang Sunda jangan sampai kehilangan jatidiri, mau orang tua, anak-anak, mau mojang atau jejaka harus ingat kepada 'Purwadaksinya'/dari mana kamu berasal, jangan lupa ke 'temah wadinya'/lupa diri, kita hidup di Tatar Kasundaan, ya harus tahu tentang Sunda”, demikian pungkas Abah Asep. (Asep GP)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment