Friday, January 17, 2020
Sebagaimana diketahui pada tanggal 3-4 Desember 2019 Program Studi Pascasarjana Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unpad dan Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) Pengurus Daerah Jawa Barat bekerjasama dengan Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengadakan Seminar dan FGD tentang “Inisiatif dan Perencanaan Pendirian Museum Kedaulatan Pangan Jawa Barat” yang berlangsung di Kampus Pascasarjana FISIP Unpad, Jalan Bukit Dago Utara No. 25 Kota Bandung.
Hikmat Nasrullah Latief, S.Sos 5 |
Kata panitia, pelestarian dan keberlanjutan budaya dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan perlu dilakukan, antara lain melalui inisiatif perencanaan pendirian museum kedaulatan pangan. Mengacu pada Peraturan pemerintah (PP) No. 66 Tahun 2015 Museum adalah lembaga yang berfungsi melindungi, mengembangkan, memanfaatkan koleksi dan mengomunikasikannya kepada masyarakat. Pengertian museum di sini meliputi museum in-situ, yaitu museum dalam arti natural di tempat asal, dan ex-situ, museum buatan. Dalam hal ini Museum Kedaulatan Pangan dapat mengkombinasikan keduanya yang mencakup proses produksi, distribusi dan konsumsi pangan.
Inisiatif perencanaan dan pendirian Museum Kedaulatan Pangan Sunda (Jawa Barat) ini diharapkan tidak sekadar menambah diversifikasi permuseuman di Indonesia. Dipilihnya museum dengan tema kedaulatan pangan bertolak dari argumentasi bahwa ketersediaan pangan, kecukupan gizi dan ketercapaian tumbuh kembang yang optimal merupakan isu krusial sebagian besar penduduk Indonesia. Pendirian Museum Kedaulatan Pangan ditujukan untuk memberikan layanan pendidikan, kepentingan sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi, kebudayaan, dan/atau pariwisata, terkait dengan kedaulatan pangan.
Melihat kaum akademisi dan pemerintah duduk bersama dalam satu ruangan seminar, tentu ada hal yang penting mesti dibicarakan, dicarikan solusinya. Sedangkan dalam hal pangan, saat ini ketahanan pangan kita sangat rapuh bahkan terancam bobol kalau melihat kenyataan dimana-mana terjadi alih fungsi lahan yang serampangan. Tanah pertanian berubah jadi pabrik-pabrik, perumahan dan sebagainya. Ini sungguh ironis, bagaimana anak-cucu kita nanti bisa memenuhi kebutuhan pangannya. Haruskah Negara agraris yang terkenal subur makmur gepah ripah loh jinawi rea ketan rea keton ini menjadi Negara pengimpor beras.
Kebetulan wartawan bertemu dengan salah seorang panitia kegiatan tersebut, Hikmat Nasrullah Latief, pada suatu kesempatan di Bandung. Hikmat yang sekarang menjadi guru Sosiologi di SMA Taruna Bakti Bandung dan Asisten Dosen Ilmu Sosial Budaya Dasar di Poltekkes Kebidanan Bandung, adalah Pengurus Asosiasi Antropologi Indonesia Pengda Jabar 2016-2021, juga Pemerhati Budaya khususnya pada Kelompok Adat Kasepuhan Gunung Halimun Jabar-Banten. Selain itu alumni Antropologi Unpad (Angkatan 90 lulus tahun 1997) pernah menjadi Staf INRIK (Indonesia Resources- centre for Indigenius Knowledge), kini menjadi Puslit Sistem Pengetahuan Lokal Unpad dan hingga kini aktif di dalam berbagai penelitian lintas bidang.
Menurut Hikmat, Negara dalam kancah globalisasi memang banyak tantangannya, banyak perkembangan-perkembangan dan membuat orang jadi konsumtif bahkan yang lebih parah tidak mengenal atau meninggalkan budayanya.
Tapi syukurlah kata Hikmat, masih ada sekelompok orang yang hingga kini masih mempertahankan tradisi, keraifan lokal, warisan karuhun/leluhur yaitu Kampung Adat/Kasepuhan yang kebetulan di Jawa Barat hampir ada di setiap kabupaten bahkan kota. Contohnya Kasepuhan Cipta Gelar, dalam hal budaya pangan sudah ratusan tahun membuat sistem pertahanan dan ketahanan pangan dengan memakai serta mempertahankan adat yang mereka percayai. Intinya mereka memelihara siklus tahunan pertanian mulai dari Ngaseuk (menanam pertama di ladang), mipit (memanen pertama), Nganyaran (memulai nasi pertama) dan Seren Taun (pesta akhir tahun/pesta panen yang di dalamnya berkaitan juga dengan sensus penduduk, penghitungan hasil pertanian, serta menggelar kesenian tradisional dan syukuran kepada Alloh SWT atas hasil yang didapat. Jadi dengan adanya semua itu jangan heran kalau di Kasepuhan Ciptagelar ada 157 jenis padi buhun/lokal yang masih ditanam dan dikonsumsi hingga kini, seperti Angsana Sri Kuning, Jidah, Tampeuy Beureum, Tampeuy Hideung, Sunli, Ketan Alean, Ketan Hideung, Ketan Bodas, Si Denok dan berbagai macam Cere (Cere adalah jenis padi selain Padi Biasa dan Padi Ketan).
Penanaman padi berdasarkan adat ini kata Hikmat, tidak akan berlangsung dan tidak berpengaruh kalau tidak dikelola oleh suatu kepemimpinan adat. Di Cipta Gelar ketahanan pangan ini dikelola oleh suatu pertahanan adat budaya, organisasinya semua mengacu pada pertanian padi yang di dalamnya banyak aturan, larangan, perintah dan arahan, yang semuanya itu sesuai alam mereka, sesuai dengan keadaan dan kebutuhan akan pangan, “Inilah yang seharusnya kita pertahankan walau di sisi lain masyarakat mereka pun memiliki persoalan- persoalan tataguna lahan, kepemilikan hak guna, dan lain-lain, dengan instansi pemerintah terkait.
Namun untuk menghadapi permasalahan-permasalahan ini, tidak bisa begitu saja pihak-pihak terkait “Menghancurkan”, menghilangkan mereka karena banyak juga tawar menawar atau semacam kontraktual internal sendiri antara pihak adat dan pemerintah. Intinya bagaimanapun pemerintah masih mengakui dan ini dibuktikan tahun ini juga dengan keluarnya pengakuan kegiatan Seren Taun sebagai Warisan Tak Benda,
Cuplikan di atas, kata Hikmat, adalah salah satu penggambaran pemunculan tanaman padi berdasarkan cerita rakyat. Tanaman padi (Oryza Sativa) merupakan tanaman pangan di Indonesia, di mana baik luas lahan ataupun jumlah produksinya memiliki angka cukup besar jika kita hitung. Berdasarkan penggolongan padi secara taksonomi, dari spesies Oryza Sativa ini terdapat ribuan varietas yang satu sama lain mempunyai ciri- ciri khas tersendiri. Berdasarkan persamaannya, varietas padi digolongkan menjadi: Golongan Indica (umum ditanam di daerah tropis), dan golongan Yaponica (umum ditanam di luar daerah tropis). Varietas Indica di Indonesia umum disebut “cere” atau “cempo”.
Bercocok tanam padi di Indonesia, sudah menjadi bagian utama bagi kehidupan sebagian besar masyarakat pedesaan. Sejak ratusan tahun yang lalu, kaum petani pedesaan kita, telah membudidayakan tanaman padi sampai menjadi suatu tanaman bernilai tinggi hingga telah menjadi sumber pangan utama di beberapa tempat penghasil beras wilayah nusantara ini; tanaman padi bahkan “mengalami” perolehan status lain sebagai tanaman non-komoditi selama beberapa masa, sehingga tidak diperjualbelikan dalam pesar bebas; akan tetapi mempunyai arti penting dalam kompleksitas sistem budaya masyarakat, seperti misalnya pada masyarakat Jawa/Sunda, bercocok tanam padi lebih merupakan keharusan daripada menguntungkan (perolehan keuntungan ). Jadi jangan heran kalau di Kasepuhan Cipta Gelar dan Sirnaresmi, padi tidak boleh diperjualbelikan.
Peninggalan sejarah telah membuktikan keberadaan padi di Indonesia pada masa lampau. Karena nilai yang tinggi dan sesuai dengan agama pada waktu itu, kepada padi diberikan arti yang mistis, yaitu berasal dari Dewi Sri, istri Batara Wisnu.
Dalam “perjalanan hidup” yang berabad-abad lamanya, tanaman padi telah mengalami perkembangan mendasar, khususnya dalam perubahan fungsi ekonomi padi dari tanaman non-komoditi menjadi tanaman komoditi. Di Jawa, perubahan ini membawa dampak pada permasalahan budaya, termasuk masyarakat petani Jawa/Sunda yang mempunyai keterikatan religius dengan padi .
Tanaman padi sejak dulu sudah biasa mereka perlakukan sedemikian tertib. Mereka tanam dengan bacaan-bacaan demi keselamatan, keamanan dan kesuburan padi, dimana hal itu berlangsung dan berkembang berdasarkan pengetahuan masyarakat setempat yang berakar dari adanya kepercayaan terhadap padi – yang telah disebutkan di atas sebagai tanaman “titipan Batara Guru” dan dipercayai berasal dari tubuh Nyi Pohaci Sang Hyang Sri untuk kemudian dipelihara dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan kehidupan masyarakat, sehingga memunculkan personifikasi atas tanaman padi sebagai seorang “manusia” yang juga harus diperlakukan dengan hati-hati. Dalam pelaksanaan penanaman, begitu sopannya para petani ini misalnya dapat dilihat dalam pemanenan. Ani-ani (Sunda: Etem) adalah alat potong padi yang dibuat untuk memetik satu persatu tangkai padi, yang meskipun memakan waktu lama, tetapi itulah cara yang lebih “sopan” dibandingkan dengan penebasan padi sekarang ini dengan sabit/arit yang memakan waktu lebih cepat; meskipun sebenarnya, ada pula alasan logis bahwa tanaman padi varietas lama/lokal pohonnya lebih tinggi dibandingkan dengan varietas-varietas padi baru yang lebih pendek (sehingga) tidak lagi mempergunakan Ani-ani.
Fenomena praktik pemanenan tanaman padi di beberapa tempat sekarang ini, telah menjadi indikasi dari perubahan perilaku “kita” atas padi.
“Kesopanan yang dahulu terpelihara telah memudar berganti dengan perlakuan secara “bebas” atas padi (sehingga “mungkin” pula banyak buruh petani bekerja sambil berdendang lagu pop/dangdut paling “trend” saat ini).
Dua macam perubahan lain yaitu, yang pertama adalah terjadinya pergeseran atas pandangan terhadap sosok Nyi Pohaci Sang Hyang Sri pada masyarakat petani pada umumnya dari suatu sistem kepercayaan menjadi suatu folklore. Sedangkan yang kedua adalah berkurang varietas padi lokal yang lahannya semakin menyempit.
Bisa-bisa varietas padi lokal Pandanwangi di Cianjur yang terkenal harum dan gurih pun akan berkurang bahkan punah akibat alih penyempitan lahan/alih fungsi lahan yang serampangan ini”. Pungkas Hikmat. (Asep GP)***
Pare Buhun (Padi Lokal Tradisional) Tergerus Zaman
Posted by
Tatarjabar.com on Friday, January 17, 2020
Sebagaimana diketahui pada tanggal 3-4 Desember 2019 Program Studi Pascasarjana Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unpad dan Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) Pengurus Daerah Jawa Barat bekerjasama dengan Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengadakan Seminar dan FGD tentang “Inisiatif dan Perencanaan Pendirian Museum Kedaulatan Pangan Jawa Barat” yang berlangsung di Kampus Pascasarjana FISIP Unpad, Jalan Bukit Dago Utara No. 25 Kota Bandung.
Hikmat Nasrullah Latief, S.Sos 5 |
Kata panitia, pelestarian dan keberlanjutan budaya dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan perlu dilakukan, antara lain melalui inisiatif perencanaan pendirian museum kedaulatan pangan. Mengacu pada Peraturan pemerintah (PP) No. 66 Tahun 2015 Museum adalah lembaga yang berfungsi melindungi, mengembangkan, memanfaatkan koleksi dan mengomunikasikannya kepada masyarakat. Pengertian museum di sini meliputi museum in-situ, yaitu museum dalam arti natural di tempat asal, dan ex-situ, museum buatan. Dalam hal ini Museum Kedaulatan Pangan dapat mengkombinasikan keduanya yang mencakup proses produksi, distribusi dan konsumsi pangan.
Inisiatif perencanaan dan pendirian Museum Kedaulatan Pangan Sunda (Jawa Barat) ini diharapkan tidak sekadar menambah diversifikasi permuseuman di Indonesia. Dipilihnya museum dengan tema kedaulatan pangan bertolak dari argumentasi bahwa ketersediaan pangan, kecukupan gizi dan ketercapaian tumbuh kembang yang optimal merupakan isu krusial sebagian besar penduduk Indonesia. Pendirian Museum Kedaulatan Pangan ditujukan untuk memberikan layanan pendidikan, kepentingan sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi, kebudayaan, dan/atau pariwisata, terkait dengan kedaulatan pangan.
Melihat kaum akademisi dan pemerintah duduk bersama dalam satu ruangan seminar, tentu ada hal yang penting mesti dibicarakan, dicarikan solusinya. Sedangkan dalam hal pangan, saat ini ketahanan pangan kita sangat rapuh bahkan terancam bobol kalau melihat kenyataan dimana-mana terjadi alih fungsi lahan yang serampangan. Tanah pertanian berubah jadi pabrik-pabrik, perumahan dan sebagainya. Ini sungguh ironis, bagaimana anak-cucu kita nanti bisa memenuhi kebutuhan pangannya. Haruskah Negara agraris yang terkenal subur makmur gepah ripah loh jinawi rea ketan rea keton ini menjadi Negara pengimpor beras.
Kebetulan wartawan bertemu dengan salah seorang panitia kegiatan tersebut, Hikmat Nasrullah Latief, pada suatu kesempatan di Bandung. Hikmat yang sekarang menjadi guru Sosiologi di SMA Taruna Bakti Bandung dan Asisten Dosen Ilmu Sosial Budaya Dasar di Poltekkes Kebidanan Bandung, adalah Pengurus Asosiasi Antropologi Indonesia Pengda Jabar 2016-2021, juga Pemerhati Budaya khususnya pada Kelompok Adat Kasepuhan Gunung Halimun Jabar-Banten. Selain itu alumni Antropologi Unpad (Angkatan 90 lulus tahun 1997) pernah menjadi Staf INRIK (Indonesia Resources- centre for Indigenius Knowledge), kini menjadi Puslit Sistem Pengetahuan Lokal Unpad dan hingga kini aktif di dalam berbagai penelitian lintas bidang.
Menurut Hikmat, Negara dalam kancah globalisasi memang banyak tantangannya, banyak perkembangan-perkembangan dan membuat orang jadi konsumtif bahkan yang lebih parah tidak mengenal atau meninggalkan budayanya.
Tapi syukurlah kata Hikmat, masih ada sekelompok orang yang hingga kini masih mempertahankan tradisi, keraifan lokal, warisan karuhun/leluhur yaitu Kampung Adat/Kasepuhan yang kebetulan di Jawa Barat hampir ada di setiap kabupaten bahkan kota. Contohnya Kasepuhan Cipta Gelar, dalam hal budaya pangan sudah ratusan tahun membuat sistem pertahanan dan ketahanan pangan dengan memakai serta mempertahankan adat yang mereka percayai. Intinya mereka memelihara siklus tahunan pertanian mulai dari Ngaseuk (menanam pertama di ladang), mipit (memanen pertama), Nganyaran (memulai nasi pertama) dan Seren Taun (pesta akhir tahun/pesta panen yang di dalamnya berkaitan juga dengan sensus penduduk, penghitungan hasil pertanian, serta menggelar kesenian tradisional dan syukuran kepada Alloh SWT atas hasil yang didapat. Jadi dengan adanya semua itu jangan heran kalau di Kasepuhan Ciptagelar ada 157 jenis padi buhun/lokal yang masih ditanam dan dikonsumsi hingga kini, seperti Angsana Sri Kuning, Jidah, Tampeuy Beureum, Tampeuy Hideung, Sunli, Ketan Alean, Ketan Hideung, Ketan Bodas, Si Denok dan berbagai macam Cere (Cere adalah jenis padi selain Padi Biasa dan Padi Ketan).
Penanaman padi berdasarkan adat ini kata Hikmat, tidak akan berlangsung dan tidak berpengaruh kalau tidak dikelola oleh suatu kepemimpinan adat. Di Cipta Gelar ketahanan pangan ini dikelola oleh suatu pertahanan adat budaya, organisasinya semua mengacu pada pertanian padi yang di dalamnya banyak aturan, larangan, perintah dan arahan, yang semuanya itu sesuai alam mereka, sesuai dengan keadaan dan kebutuhan akan pangan, “Inilah yang seharusnya kita pertahankan walau di sisi lain masyarakat mereka pun memiliki persoalan- persoalan tataguna lahan, kepemilikan hak guna, dan lain-lain, dengan instansi pemerintah terkait.
Namun untuk menghadapi permasalahan-permasalahan ini, tidak bisa begitu saja pihak-pihak terkait “Menghancurkan”, menghilangkan mereka karena banyak juga tawar menawar atau semacam kontraktual internal sendiri antara pihak adat dan pemerintah. Intinya bagaimanapun pemerintah masih mengakui dan ini dibuktikan tahun ini juga dengan keluarnya pengakuan kegiatan Seren Taun sebagai Warisan Tak Benda,
Cuplikan di atas, kata Hikmat, adalah salah satu penggambaran pemunculan tanaman padi berdasarkan cerita rakyat. Tanaman padi (Oryza Sativa) merupakan tanaman pangan di Indonesia, di mana baik luas lahan ataupun jumlah produksinya memiliki angka cukup besar jika kita hitung. Berdasarkan penggolongan padi secara taksonomi, dari spesies Oryza Sativa ini terdapat ribuan varietas yang satu sama lain mempunyai ciri- ciri khas tersendiri. Berdasarkan persamaannya, varietas padi digolongkan menjadi: Golongan Indica (umum ditanam di daerah tropis), dan golongan Yaponica (umum ditanam di luar daerah tropis). Varietas Indica di Indonesia umum disebut “cere” atau “cempo”.
Bercocok tanam padi di Indonesia, sudah menjadi bagian utama bagi kehidupan sebagian besar masyarakat pedesaan. Sejak ratusan tahun yang lalu, kaum petani pedesaan kita, telah membudidayakan tanaman padi sampai menjadi suatu tanaman bernilai tinggi hingga telah menjadi sumber pangan utama di beberapa tempat penghasil beras wilayah nusantara ini; tanaman padi bahkan “mengalami” perolehan status lain sebagai tanaman non-komoditi selama beberapa masa, sehingga tidak diperjualbelikan dalam pesar bebas; akan tetapi mempunyai arti penting dalam kompleksitas sistem budaya masyarakat, seperti misalnya pada masyarakat Jawa/Sunda, bercocok tanam padi lebih merupakan keharusan daripada menguntungkan (perolehan keuntungan ). Jadi jangan heran kalau di Kasepuhan Cipta Gelar dan Sirnaresmi, padi tidak boleh diperjualbelikan.
Peninggalan sejarah telah membuktikan keberadaan padi di Indonesia pada masa lampau. Karena nilai yang tinggi dan sesuai dengan agama pada waktu itu, kepada padi diberikan arti yang mistis, yaitu berasal dari Dewi Sri, istri Batara Wisnu.
Dalam “perjalanan hidup” yang berabad-abad lamanya, tanaman padi telah mengalami perkembangan mendasar, khususnya dalam perubahan fungsi ekonomi padi dari tanaman non-komoditi menjadi tanaman komoditi. Di Jawa, perubahan ini membawa dampak pada permasalahan budaya, termasuk masyarakat petani Jawa/Sunda yang mempunyai keterikatan religius dengan padi .
Tanaman padi sejak dulu sudah biasa mereka perlakukan sedemikian tertib. Mereka tanam dengan bacaan-bacaan demi keselamatan, keamanan dan kesuburan padi, dimana hal itu berlangsung dan berkembang berdasarkan pengetahuan masyarakat setempat yang berakar dari adanya kepercayaan terhadap padi – yang telah disebutkan di atas sebagai tanaman “titipan Batara Guru” dan dipercayai berasal dari tubuh Nyi Pohaci Sang Hyang Sri untuk kemudian dipelihara dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan kehidupan masyarakat, sehingga memunculkan personifikasi atas tanaman padi sebagai seorang “manusia” yang juga harus diperlakukan dengan hati-hati. Dalam pelaksanaan penanaman, begitu sopannya para petani ini misalnya dapat dilihat dalam pemanenan. Ani-ani (Sunda: Etem) adalah alat potong padi yang dibuat untuk memetik satu persatu tangkai padi, yang meskipun memakan waktu lama, tetapi itulah cara yang lebih “sopan” dibandingkan dengan penebasan padi sekarang ini dengan sabit/arit yang memakan waktu lebih cepat; meskipun sebenarnya, ada pula alasan logis bahwa tanaman padi varietas lama/lokal pohonnya lebih tinggi dibandingkan dengan varietas-varietas padi baru yang lebih pendek (sehingga) tidak lagi mempergunakan Ani-ani.
Fenomena praktik pemanenan tanaman padi di beberapa tempat sekarang ini, telah menjadi indikasi dari perubahan perilaku “kita” atas padi.
“Kesopanan yang dahulu terpelihara telah memudar berganti dengan perlakuan secara “bebas” atas padi (sehingga “mungkin” pula banyak buruh petani bekerja sambil berdendang lagu pop/dangdut paling “trend” saat ini).
Dua macam perubahan lain yaitu, yang pertama adalah terjadinya pergeseran atas pandangan terhadap sosok Nyi Pohaci Sang Hyang Sri pada masyarakat petani pada umumnya dari suatu sistem kepercayaan menjadi suatu folklore. Sedangkan yang kedua adalah berkurang varietas padi lokal yang lahannya semakin menyempit.
Bisa-bisa varietas padi lokal Pandanwangi di Cianjur yang terkenal harum dan gurih pun akan berkurang bahkan punah akibat alih penyempitan lahan/alih fungsi lahan yang serampangan ini”. Pungkas Hikmat. (Asep GP)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment