Home
» Seni Budaya
» Peletakan Batu Pertama Gedung Pusat Kebudayaan Tionghoa Indonesia: Bandung adalah rumah milik bersama
Thursday, January 23, 2020
Kota Bandung dari dulu terkenal sebagai kota kreatif, kota mode, barometer musik Indonesia, kota pelajar, kota perjuangan, juga sebagai Kota Budaya.
Penduduknya yang someah hade ka semah (well come, ramah kepada pendatang) membuat masyarakat Bandung sangat toleran terhadap keberagaman. Maka berbagai budaya pun tumbuh subur saling menghargai, termasuk budaya Tionghoa dapat hidup berdampingan dengan aman di Kota Kembang ini. Hampir tiap tahun digelar Pawai Cap Go Meh menampilkan iring-iringan ragam kesenian tradisional Tionghoa, seperti atraksi barongsay, liong, juga kesenian Sunda diikutsertakan mengitari Kota Badung. Dan sebentar lagi Kota Bandung pun akan punya Gedung Pusat Kebudayaan Tionghoa, yang pertama di Indonesia.
Hal ini terungkap ketika pada hari Minggu (19 Januari 2020) Walikota Bandung, Oded M. Danial terlihat sedang meletakan Batu Pertama gedung tersebut di Jl. Suryani Dalam No. 99 Bandung.
Walikota berharap hadirnya Gedung Pusat Kebudayaan Tionghoa ini menjadi pusat pengembangan budaya, karena Bandung merupakan rumah milik bersama, lintas ras, lintas agama dan bisa mendukung visi Kota Bandung yang unggul, sejahtera dan agamis.
Mang Oded, untuk mendukung visi Kota Bandung yang unggul, sejahtera dan agamis |
“Dan saya banyak diskusi dengan Pak Herman Widjaja, Ketua Yayasan Dana Sosial Priangan (YDSP), disamping budaya Tionghoa, ke depannya bisa berkolaborasi dengan budaya asli Bandung (Sunda) serta budaya lainnya hingga bisa menjadi pendorong industri pariwisata Kota Bandung. Dan beliau sampaikan ketika pergi ke Sea Games, Wushu kita lemah, nah nanti gedung ini juga bisa dijadikan pengembangan Olahraga Wushu”, demikian kata Mang Oded.
Untuk itulah wali kota mengajak seluruh masyarakat yang hadir baik itu seniman, budayawan, pengusaha, pemerintah dan semua instrument lainnya untuk bekerja sama menjaga nilai toleransi.
Untuk itu Mang Oded akan mengadakan Pawai Budaya Lintas Agama pada bulan Februari ini. Acara yang pertama kalinya di Indonesia dan diikuti oleh semua agama yang disahkan di Indonesia ini, diharapkan akan melahirkan kondusivitas keberagaman di Kota Bandung. “Akan menjadi ruang bersama dan kita jaga bersama, tentunya dengan dana swadaya”, pungkasnya.
Sementara itu, Herman Widjaja, Ketua Yayasan Dana Sosial Priangan (YDSP) mengatakan, Gedung Pusat Kebudayaan Tionghoa ini dilengkapi dengan fasilitas yang menunjang terhadap minat dan pengembangan budaya seperti perpustakaan, pelatihan kaligrafi, xiang ci, taichi, wushu, dan lainnya. ”Kami ingin menghasilkan beragam kegiatan positif“, katanya serius.
Menurut Herman, kebudayaan yang dipelihara dapat menghasilkan prestasi yang baik. “Contohnya, Pelajar yang intensif berlatih xiangie dan wushu, kemampuan intelektualnya berkembang dengan baik. Bahkan beberapa anak dan santri yang diikutsertakan juga dalam kompetisi nasional berhasil meraih prestasi, “ katanya bangga.
Dalam acara tersebut turut hadir sejumlah tokoh Jawa Barat. Di antaranya Ceu Popong, Rektor ISBI Bandung Dr. Hj. Een Herdiani, S.Sen., M.Hum, Guru Besar FSRD ITB, Prof. Dr. Setiawan Sabana, MFA. Dekan FSRD ISBI Bandung Dr. Supriatna, S.Sn., M.Sn, perwakilan tokoh nasional Tionghoa Ted Siong. Kapolrestabes Bandung Kombes Pol. Irman Sugema, serta Dandim 0618/BS Kol. Herry Subagyo.
Jaipongan dari ISBI Bandung ikut meramaikan acara |
Acara diramaikan dengan penampilan Barongsay dan Taichi, juga berbagai tarian Sunda dari ISBI Bandung. Hal ini menandakan "Keberagaman" dan Rektor ISBI Bandung Dr. Een Herdiani pun menyambut baik adanya Pusat Kebudayaan Tionghoa tesebut. “Selain masyarakat bisa mengetahui kebudayaan, mereka juga sebagai bukti bahwa masyarakat kita mempunyai toleransi yang tinggi “, demikian katanya.
Harus Bersinergi Dengan Budaya Lokal
Keberadaan Pusat Kebudayaan Tionghoa Indonesia di Bandung kata Prof. Dr. Setiawan Sabana, MFA, itu adalah aspirasi sejumlah tokoh Tionghoa yang dapat restu dari walikota, Ceu Popong pun hadir dalam peletakan batu pertama. “Ya silakan saja, kita lihat dengan kaca mata positif dulu bahwa di Bandung akan berdiri Pusat Kebudayaan Tionghoa, walau sebenarnya sebelum itu di Bandung ada semacam pusat-pusat kebudayaan Tionghoa dalam bentuk kecil yang tempatnya biasanya di Kelenteng dan Vihara. Orang-orang Tionghoa yang ada di Bandung punya berbagai latar belakang agama dan keperecayaan seperti khong hu chu, budha, tao, juga ada yang beragama Kristen dan Islam seiring berdirinya masjid lautze di Jalan Tamblong No. 27 Kota Bandung”, demikian katanya.
Prof. Setiawan Sabana, harus ada Pusat Kajian Budaya Tionghoa |
Jadi bahwa masyarakat Tionghoa dengan segala kegiatannya dari mulai bisnis sampai masalah gerak-gerik budaya ditambah dengan adanya Pecinan itu artinya adanya gerakan/inisiatif memperkenalkan/ mengembangkan lebih lanjut kebudayaannya, imbuhnya.
“Tapi saya mengusulkan di dalam institusi itu harus ada Pusat Kajian Budaya Tionghoa, yang di dalamnya ada pemikiran kritis tentang budaya Tionghoa dari para akademisi/intelektual yang kurang lebih punya pengetahuan cukup banyak untuk berdiskusi tentang itu, jadi tidak satu arah, sehingga sampai pada satu pemahaman yang sifatnya kritis hasil diskusi.
Jadi ya, itu tentu ada konsep seperti itu tapi saya mah selalu menghimbau (dalam sambutan peletakan batu pertama) teman, seniman, budayawan, mari kita berkumpul berdiskusi tentang ini secara kritis lewat hasil penelitian supaya orang teh paham kenapa mereka aktif berbisnis sedangkan orang-orang kita kurang, itu pasti ada latar belakang budayanya, jadi tidak ada istilah menuding, jadi ada ilmu”, paparnya.
Orang Tionghoa juga, kata Kang Wawan, kudu nyunda dan apa yang dilakukan Bu Cucu yang memberikan workshop ke pesantren-pesantren sangat terpuji juga mengundang tokoh pesantren dan menyuruh memimpin doa ketika peletakan batu pertama. Jadi harus ada aktivis di kedua belah pihak, praktisi dan pemikir, yang bisa menandingi berbagai pemikiran-pemikiran mereka.
“Ya, ceuk akang teh intina tadi tea, kudu ada pusat kajian, misalnya nanti ada latihan kung fu ya, di sana harus juga ada silat Cimande juga misalnya, begitu juga kalau ada Barongsay ya, harus ada kesenian Sunda yang mendampinginya, jadi istilahnya satu banding satu, supaya menarik dan tidak eksklusivitas berlebihan, tapi harus demi kebersamaan”, katanya serius.
Budaya Tionghoa ini, kata Kang Wawan (sapaan akrabnya), di Seni Rupa ITB banyak dikaji secara akademis. Dari mulai untuk Skripsi (S1) Sarjana, Tesis (S2) Magister juga Disertasi (S3) untuk Program Doktoral. Penelitian tentang seni rupa Tionghoa dari mulai model Lasem sampai Arsitektur. Begitu juga di Unpad dan seluruh perguruan tinggi di Indonesia terkait dengan Lasem dengan tokoh-tokoh yang sudah menjadi garda bangsawan, seperti di Solo.
“Saya juga punya mahasiswa S3, Cucu Widjaja (Kakak Herman Widjaja) yang tengah meneliti tentang perempuan Tionghoa yang tidak pernah menikah dan berkaki kecil (lotus feet, tradisi Tiongkok Kuno mengikat jari-jari dan telapak kakinya agar mengecil membentuk bunga teratai sebagai lambang status) di daerah Caringin Bandung. Perempuan Tionghoa kelompok Caichi tersebut kini punya sekolah umum”, terangnya.
Jadi, kata Kang Wawan, banyak hal yang kita ketahui yang sebenarnya di belakang itu, ada orang-orang Tionghoanya, misalnya Walisongo. Laksamana Cheng Ho, termasuk seniman, budayawan, juga prestasi yang mencolok di bidang olahraga badminton, dan semua itu rupanya diakomodasi oleh institusi tersebut dalam wadah museum di Jalan Nana Rohana Bandung. Memang ada museum prestasi seperti Rudi Hartono dan konon museum–museum dan pusat-pusat kebudayaan Tionghoa yang skupnya lebih kecil dan berserakan tersebut nantinya akan dipindahkan ke Pusat Kebudayaan Tionghoa Indonesia tersebut. “Ini merupakan langkah besar yang tidak bisa dibendung, apalagi walikota mengapresiasi”, paparnya.
Kang Wawan juga mengatakan dalam “Mengais-ngais Cina di Sunda”, banyak bahasa Sunda yang berasal (dapat diseimbangkan) dari bahasa Cina, contohnya “Ngawuluku” (membajak sawah dengan wuluku). Nga itu kata kerja Wuluku, Wu= Lima, Lu=bajak sedangkan Ku= adalah jenis padi-padian. Artinya, “lima jenis padi-padian yang harus dibajak dulu sebelum dituai”. Begitu pun perintah petani yang membajak sawah ke kerbau yang mengatakan “Kia..Kia”, itu artinya "gerakkan", "kerjakan".
Tahu Sumedang yang dirintis kelompok Bongkeng Cina, kata “Tahu” pun berasal dari bahasa Cina Tauhu. Makanan seperti itu akan kita temukan juga di Jepang dan Cina dengan nama sama “tauhu”, tapi cara masaknya dengan direbus bukan digoreng seperti di kita.
“Jadi betapa banyak dan sudah sejak lama kontribusi peradaban China di Nusantra ini sampai-sampai mahasiswa saya juga membuat disertasi tentang kedatangan orang-orang Tiongkok ke Asia Tenggara termasuk ke Indonesia”, demikian pungkas Guru Besar Seni Rupa ITB. (Asep GP)***
Peletakan Batu Pertama Gedung Pusat Kebudayaan Tionghoa Indonesia: Bandung adalah rumah milik bersama
Posted by
Tatarjabar.com on Thursday, January 23, 2020
Kota Bandung dari dulu terkenal sebagai kota kreatif, kota mode, barometer musik Indonesia, kota pelajar, kota perjuangan, juga sebagai Kota Budaya.
Penduduknya yang someah hade ka semah (well come, ramah kepada pendatang) membuat masyarakat Bandung sangat toleran terhadap keberagaman. Maka berbagai budaya pun tumbuh subur saling menghargai, termasuk budaya Tionghoa dapat hidup berdampingan dengan aman di Kota Kembang ini. Hampir tiap tahun digelar Pawai Cap Go Meh menampilkan iring-iringan ragam kesenian tradisional Tionghoa, seperti atraksi barongsay, liong, juga kesenian Sunda diikutsertakan mengitari Kota Badung. Dan sebentar lagi Kota Bandung pun akan punya Gedung Pusat Kebudayaan Tionghoa, yang pertama di Indonesia.
Hal ini terungkap ketika pada hari Minggu (19 Januari 2020) Walikota Bandung, Oded M. Danial terlihat sedang meletakan Batu Pertama gedung tersebut di Jl. Suryani Dalam No. 99 Bandung.
Walikota berharap hadirnya Gedung Pusat Kebudayaan Tionghoa ini menjadi pusat pengembangan budaya, karena Bandung merupakan rumah milik bersama, lintas ras, lintas agama dan bisa mendukung visi Kota Bandung yang unggul, sejahtera dan agamis.
Mang Oded, untuk mendukung visi Kota Bandung yang unggul, sejahtera dan agamis |
“Dan saya banyak diskusi dengan Pak Herman Widjaja, Ketua Yayasan Dana Sosial Priangan (YDSP), disamping budaya Tionghoa, ke depannya bisa berkolaborasi dengan budaya asli Bandung (Sunda) serta budaya lainnya hingga bisa menjadi pendorong industri pariwisata Kota Bandung. Dan beliau sampaikan ketika pergi ke Sea Games, Wushu kita lemah, nah nanti gedung ini juga bisa dijadikan pengembangan Olahraga Wushu”, demikian kata Mang Oded.
Untuk itulah wali kota mengajak seluruh masyarakat yang hadir baik itu seniman, budayawan, pengusaha, pemerintah dan semua instrument lainnya untuk bekerja sama menjaga nilai toleransi.
Untuk itu Mang Oded akan mengadakan Pawai Budaya Lintas Agama pada bulan Februari ini. Acara yang pertama kalinya di Indonesia dan diikuti oleh semua agama yang disahkan di Indonesia ini, diharapkan akan melahirkan kondusivitas keberagaman di Kota Bandung. “Akan menjadi ruang bersama dan kita jaga bersama, tentunya dengan dana swadaya”, pungkasnya.
Sementara itu, Herman Widjaja, Ketua Yayasan Dana Sosial Priangan (YDSP) mengatakan, Gedung Pusat Kebudayaan Tionghoa ini dilengkapi dengan fasilitas yang menunjang terhadap minat dan pengembangan budaya seperti perpustakaan, pelatihan kaligrafi, xiang ci, taichi, wushu, dan lainnya. ”Kami ingin menghasilkan beragam kegiatan positif“, katanya serius.
Menurut Herman, kebudayaan yang dipelihara dapat menghasilkan prestasi yang baik. “Contohnya, Pelajar yang intensif berlatih xiangie dan wushu, kemampuan intelektualnya berkembang dengan baik. Bahkan beberapa anak dan santri yang diikutsertakan juga dalam kompetisi nasional berhasil meraih prestasi, “ katanya bangga.
Dalam acara tersebut turut hadir sejumlah tokoh Jawa Barat. Di antaranya Ceu Popong, Rektor ISBI Bandung Dr. Hj. Een Herdiani, S.Sen., M.Hum, Guru Besar FSRD ITB, Prof. Dr. Setiawan Sabana, MFA. Dekan FSRD ISBI Bandung Dr. Supriatna, S.Sn., M.Sn, perwakilan tokoh nasional Tionghoa Ted Siong. Kapolrestabes Bandung Kombes Pol. Irman Sugema, serta Dandim 0618/BS Kol. Herry Subagyo.
Jaipongan dari ISBI Bandung ikut meramaikan acara |
Acara diramaikan dengan penampilan Barongsay dan Taichi, juga berbagai tarian Sunda dari ISBI Bandung. Hal ini menandakan "Keberagaman" dan Rektor ISBI Bandung Dr. Een Herdiani pun menyambut baik adanya Pusat Kebudayaan Tionghoa tesebut. “Selain masyarakat bisa mengetahui kebudayaan, mereka juga sebagai bukti bahwa masyarakat kita mempunyai toleransi yang tinggi “, demikian katanya.
Harus Bersinergi Dengan Budaya Lokal
Keberadaan Pusat Kebudayaan Tionghoa Indonesia di Bandung kata Prof. Dr. Setiawan Sabana, MFA, itu adalah aspirasi sejumlah tokoh Tionghoa yang dapat restu dari walikota, Ceu Popong pun hadir dalam peletakan batu pertama. “Ya silakan saja, kita lihat dengan kaca mata positif dulu bahwa di Bandung akan berdiri Pusat Kebudayaan Tionghoa, walau sebenarnya sebelum itu di Bandung ada semacam pusat-pusat kebudayaan Tionghoa dalam bentuk kecil yang tempatnya biasanya di Kelenteng dan Vihara. Orang-orang Tionghoa yang ada di Bandung punya berbagai latar belakang agama dan keperecayaan seperti khong hu chu, budha, tao, juga ada yang beragama Kristen dan Islam seiring berdirinya masjid lautze di Jalan Tamblong No. 27 Kota Bandung”, demikian katanya.
Prof. Setiawan Sabana, harus ada Pusat Kajian Budaya Tionghoa |
Jadi bahwa masyarakat Tionghoa dengan segala kegiatannya dari mulai bisnis sampai masalah gerak-gerik budaya ditambah dengan adanya Pecinan itu artinya adanya gerakan/inisiatif memperkenalkan/ mengembangkan lebih lanjut kebudayaannya, imbuhnya.
“Tapi saya mengusulkan di dalam institusi itu harus ada Pusat Kajian Budaya Tionghoa, yang di dalamnya ada pemikiran kritis tentang budaya Tionghoa dari para akademisi/intelektual yang kurang lebih punya pengetahuan cukup banyak untuk berdiskusi tentang itu, jadi tidak satu arah, sehingga sampai pada satu pemahaman yang sifatnya kritis hasil diskusi.
Jadi ya, itu tentu ada konsep seperti itu tapi saya mah selalu menghimbau (dalam sambutan peletakan batu pertama) teman, seniman, budayawan, mari kita berkumpul berdiskusi tentang ini secara kritis lewat hasil penelitian supaya orang teh paham kenapa mereka aktif berbisnis sedangkan orang-orang kita kurang, itu pasti ada latar belakang budayanya, jadi tidak ada istilah menuding, jadi ada ilmu”, paparnya.
Orang Tionghoa juga, kata Kang Wawan, kudu nyunda dan apa yang dilakukan Bu Cucu yang memberikan workshop ke pesantren-pesantren sangat terpuji juga mengundang tokoh pesantren dan menyuruh memimpin doa ketika peletakan batu pertama. Jadi harus ada aktivis di kedua belah pihak, praktisi dan pemikir, yang bisa menandingi berbagai pemikiran-pemikiran mereka.
“Ya, ceuk akang teh intina tadi tea, kudu ada pusat kajian, misalnya nanti ada latihan kung fu ya, di sana harus juga ada silat Cimande juga misalnya, begitu juga kalau ada Barongsay ya, harus ada kesenian Sunda yang mendampinginya, jadi istilahnya satu banding satu, supaya menarik dan tidak eksklusivitas berlebihan, tapi harus demi kebersamaan”, katanya serius.
Budaya Tionghoa ini, kata Kang Wawan (sapaan akrabnya), di Seni Rupa ITB banyak dikaji secara akademis. Dari mulai untuk Skripsi (S1) Sarjana, Tesis (S2) Magister juga Disertasi (S3) untuk Program Doktoral. Penelitian tentang seni rupa Tionghoa dari mulai model Lasem sampai Arsitektur. Begitu juga di Unpad dan seluruh perguruan tinggi di Indonesia terkait dengan Lasem dengan tokoh-tokoh yang sudah menjadi garda bangsawan, seperti di Solo.
“Saya juga punya mahasiswa S3, Cucu Widjaja (Kakak Herman Widjaja) yang tengah meneliti tentang perempuan Tionghoa yang tidak pernah menikah dan berkaki kecil (lotus feet, tradisi Tiongkok Kuno mengikat jari-jari dan telapak kakinya agar mengecil membentuk bunga teratai sebagai lambang status) di daerah Caringin Bandung. Perempuan Tionghoa kelompok Caichi tersebut kini punya sekolah umum”, terangnya.
Jadi, kata Kang Wawan, banyak hal yang kita ketahui yang sebenarnya di belakang itu, ada orang-orang Tionghoanya, misalnya Walisongo. Laksamana Cheng Ho, termasuk seniman, budayawan, juga prestasi yang mencolok di bidang olahraga badminton, dan semua itu rupanya diakomodasi oleh institusi tersebut dalam wadah museum di Jalan Nana Rohana Bandung. Memang ada museum prestasi seperti Rudi Hartono dan konon museum–museum dan pusat-pusat kebudayaan Tionghoa yang skupnya lebih kecil dan berserakan tersebut nantinya akan dipindahkan ke Pusat Kebudayaan Tionghoa Indonesia tersebut. “Ini merupakan langkah besar yang tidak bisa dibendung, apalagi walikota mengapresiasi”, paparnya.
Kang Wawan juga mengatakan dalam “Mengais-ngais Cina di Sunda”, banyak bahasa Sunda yang berasal (dapat diseimbangkan) dari bahasa Cina, contohnya “Ngawuluku” (membajak sawah dengan wuluku). Nga itu kata kerja Wuluku, Wu= Lima, Lu=bajak sedangkan Ku= adalah jenis padi-padian. Artinya, “lima jenis padi-padian yang harus dibajak dulu sebelum dituai”. Begitu pun perintah petani yang membajak sawah ke kerbau yang mengatakan “Kia..Kia”, itu artinya "gerakkan", "kerjakan".
Tahu Sumedang yang dirintis kelompok Bongkeng Cina, kata “Tahu” pun berasal dari bahasa Cina Tauhu. Makanan seperti itu akan kita temukan juga di Jepang dan Cina dengan nama sama “tauhu”, tapi cara masaknya dengan direbus bukan digoreng seperti di kita.
“Jadi betapa banyak dan sudah sejak lama kontribusi peradaban China di Nusantra ini sampai-sampai mahasiswa saya juga membuat disertasi tentang kedatangan orang-orang Tiongkok ke Asia Tenggara termasuk ke Indonesia”, demikian pungkas Guru Besar Seni Rupa ITB. (Asep GP)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment