Wednesday, January 15, 2020
Menemui Profesor Setiawan Sabana di rumahnya Jalan Rebana 10 Bandung, mata kita akan disambut setumpuk kakapalan (kapal kertas) yang biasa diterbangkan anak-anak.
Bedanya kapal ini terbuat dari triplek yang dilapisi kertas daur ulang, artistik sekali. Di atas teras rumahnya juga tergantung bel angin dari berbagai Negara dan daerah di Indonesia, suaranya gemerincing bersahutan ditiup angin malam.
Kabarnya, inilah yang akan menghias pameran tunggalnya di galeri Nasional (Galanas) Indonesia yang akan digelar dari tanggal 23 April hingga 15 Mei 2020. Pameran yang akan berlangsung di bulan puasa hingga menjelang lebaran itu akan diisi dengan kegiatan ramadhan seperti buka puasa bersama, tarawehan, tadarusan, saur bersama, juga setiap dua minggu sekali akan diisi dengan acara musik Ramadhan seperti penampian Syam Bimbo, Syarif Maulana Muktie-Muktie, baca puisi, diskusi, workshop dan banyak lagi. Dan yang menarik, Gedung Galeri Nasional yang megah serta luas dan berada di depan Stasiun Gambir itu akan dirubah bak masjid dengan Tema “Diri dan Semesta”- Dari Garasi Untuk Negeri dan Galaksi. “Jadi saya sudah menyerahkan semuanya ke langit, sekarang hidup tinggal memperbanyak amal kebajikan”, demikian kata Kang Wawan.
Di pameran tunggalnya, Kang Wawan akan mengevaluasi lagi karya-karya lama, direvisi ke dalam konsep kekinian. Di sana juga akan ada buku katalog besar yang menceritakan kiprah berkesenian Sang Profesor Kertas, dari titik nol hingga sekarang, yang ditulis dalam tiga bahasa, Sunda, Indonesia dan Inggris.
Tanggal 9 November kemarin, Kang Wawan juga berpameran “2nd East Meets West” (Woodblock Print Joint Exhibition), bersama sahabatnya dari 5 negara, Judith Lokie (UK, Inggris), Mary Brodbeck (USA), Juhari Said (Malaya) serta Funasaka Yoshisuke (Jepang), di Tokyo Jepang selama dua minggu.
“Mangga kalebet”, suara lembut perempuan terdengar dari pintu garasi. Pintu pun terbuka bersamaan dengan munculnya wajah perempuan setengah baya berhijab, garis-garis kecantikannya masih kentara. Ya, itulah Garasi 10 yang terkenal sampai ke seluruh dunia, karena dari tempat sekecil ini dengan kamotekaran Guru Besar Seni Rupa ITB dibantu putra bungsunya seniman musik, Syarif Maulana, Seniman, budayawan, akademisi, peneliti terkenal dari Jawa Barat, luar Jawa Barat, Negara Sahabat dan Negara Barat pernah hadir di tempat ini, menggelar kabisanya masing-masing, workshop, juga membahas berbagai permasalahan seni dan budaya, tradisi dan modern hingga melahirkan motto, “Dari Garasi Untuk Negeri dan Galaksi”.
Eh, tapi siapa perempuan tadi, begitu ramah menyapa layaknya perempuan Sunda yang someah hade ka semah, dan tak lama “geksor” (baru duduk langsung dijamu) disuguhi teh pahit dan sepotong kue bolu….seperti kue pengantin…ah jangan-jangan…
Ah ternyata benar, Prof. Wawan memperkenalkan. “Ini istri saya”, katanya sambil tersenyum bahagia.
Nama perempuan itu Lilis Nuryati (50) yang dinikahinya tanggal 11 Desember 2019 di Kartikasari Ujung Berung. Mojang Bandung yang tinggal di Jalan Traktor Arcamanik, terah Cianjur, pilihan teman hidup mantan Dekan FSRD ITB ini adalah praktisi Shibori dan Ecoprint (Seni lukis berbahan dedaunan yang dicetak/ditetak di atas kain). Dalam pernikahan itu hadir dua pihak keluarga dan Syarif Maulana putra bungsu profesor yag turut menjadi wali.
Kata Kang Wawan (demikian ia akrab disapa), istrinya itu putra ketujuh dari beberapa bersaudara. Lilis adalah janda yang pada akhir bulan puasa 17 Mei 2018 ditinggal meninggal suaminya. Senasib dengan Kang Wawan yang ditinggal istrinya Elly Setiawan (Siti Muslihat, dosen Sastra Jepang FIB Unpad) pada tahun yang sama, di awal bulan puasa.
Niat menikah lagi, kata Kang Wawan, tentu saja hanya semata untuk ibadah. Biar hati tenteram dan khusuk dalam beribadah, ingin keluar dari suasana hati yang sepi dan gelisah. “Kemarin kalau usai berkegiatan atau pameran, menguji mahasiswa pasca sarjana di perguruan tinggi lain luar daerah, pulang ke rumah hanya berteman sepi sendirian, sekarang mah ada yang menemani, teman bercerita, ya ini adalah babak kedua hidup saya berkeluarga”, demikian kata Kang Wawan sambil tak lupa meminta doa dari semua. Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, warohmah kang. Aamiin. (Asep GP)***
Profesor Setiawan Sabana Menikah Lagi, Biar Hati Tenteram dan Khusuk dalam Beribadah
Posted by
Tatarjabar.com on Wednesday, January 15, 2020
Menemui Profesor Setiawan Sabana di rumahnya Jalan Rebana 10 Bandung, mata kita akan disambut setumpuk kakapalan (kapal kertas) yang biasa diterbangkan anak-anak.
Bedanya kapal ini terbuat dari triplek yang dilapisi kertas daur ulang, artistik sekali. Di atas teras rumahnya juga tergantung bel angin dari berbagai Negara dan daerah di Indonesia, suaranya gemerincing bersahutan ditiup angin malam.
Kabarnya, inilah yang akan menghias pameran tunggalnya di galeri Nasional (Galanas) Indonesia yang akan digelar dari tanggal 23 April hingga 15 Mei 2020. Pameran yang akan berlangsung di bulan puasa hingga menjelang lebaran itu akan diisi dengan kegiatan ramadhan seperti buka puasa bersama, tarawehan, tadarusan, saur bersama, juga setiap dua minggu sekali akan diisi dengan acara musik Ramadhan seperti penampian Syam Bimbo, Syarif Maulana Muktie-Muktie, baca puisi, diskusi, workshop dan banyak lagi. Dan yang menarik, Gedung Galeri Nasional yang megah serta luas dan berada di depan Stasiun Gambir itu akan dirubah bak masjid dengan Tema “Diri dan Semesta”- Dari Garasi Untuk Negeri dan Galaksi. “Jadi saya sudah menyerahkan semuanya ke langit, sekarang hidup tinggal memperbanyak amal kebajikan”, demikian kata Kang Wawan.
Di pameran tunggalnya, Kang Wawan akan mengevaluasi lagi karya-karya lama, direvisi ke dalam konsep kekinian. Di sana juga akan ada buku katalog besar yang menceritakan kiprah berkesenian Sang Profesor Kertas, dari titik nol hingga sekarang, yang ditulis dalam tiga bahasa, Sunda, Indonesia dan Inggris.
Tanggal 9 November kemarin, Kang Wawan juga berpameran “2nd East Meets West” (Woodblock Print Joint Exhibition), bersama sahabatnya dari 5 negara, Judith Lokie (UK, Inggris), Mary Brodbeck (USA), Juhari Said (Malaya) serta Funasaka Yoshisuke (Jepang), di Tokyo Jepang selama dua minggu.
“Mangga kalebet”, suara lembut perempuan terdengar dari pintu garasi. Pintu pun terbuka bersamaan dengan munculnya wajah perempuan setengah baya berhijab, garis-garis kecantikannya masih kentara. Ya, itulah Garasi 10 yang terkenal sampai ke seluruh dunia, karena dari tempat sekecil ini dengan kamotekaran Guru Besar Seni Rupa ITB dibantu putra bungsunya seniman musik, Syarif Maulana, Seniman, budayawan, akademisi, peneliti terkenal dari Jawa Barat, luar Jawa Barat, Negara Sahabat dan Negara Barat pernah hadir di tempat ini, menggelar kabisanya masing-masing, workshop, juga membahas berbagai permasalahan seni dan budaya, tradisi dan modern hingga melahirkan motto, “Dari Garasi Untuk Negeri dan Galaksi”.
Eh, tapi siapa perempuan tadi, begitu ramah menyapa layaknya perempuan Sunda yang someah hade ka semah, dan tak lama “geksor” (baru duduk langsung dijamu) disuguhi teh pahit dan sepotong kue bolu….seperti kue pengantin…ah jangan-jangan…
Ah ternyata benar, Prof. Wawan memperkenalkan. “Ini istri saya”, katanya sambil tersenyum bahagia.
Nama perempuan itu Lilis Nuryati (50) yang dinikahinya tanggal 11 Desember 2019 di Kartikasari Ujung Berung. Mojang Bandung yang tinggal di Jalan Traktor Arcamanik, terah Cianjur, pilihan teman hidup mantan Dekan FSRD ITB ini adalah praktisi Shibori dan Ecoprint (Seni lukis berbahan dedaunan yang dicetak/ditetak di atas kain). Dalam pernikahan itu hadir dua pihak keluarga dan Syarif Maulana putra bungsu profesor yag turut menjadi wali.
Kata Kang Wawan (demikian ia akrab disapa), istrinya itu putra ketujuh dari beberapa bersaudara. Lilis adalah janda yang pada akhir bulan puasa 17 Mei 2018 ditinggal meninggal suaminya. Senasib dengan Kang Wawan yang ditinggal istrinya Elly Setiawan (Siti Muslihat, dosen Sastra Jepang FIB Unpad) pada tahun yang sama, di awal bulan puasa.
Niat menikah lagi, kata Kang Wawan, tentu saja hanya semata untuk ibadah. Biar hati tenteram dan khusuk dalam beribadah, ingin keluar dari suasana hati yang sepi dan gelisah. “Kemarin kalau usai berkegiatan atau pameran, menguji mahasiswa pasca sarjana di perguruan tinggi lain luar daerah, pulang ke rumah hanya berteman sepi sendirian, sekarang mah ada yang menemani, teman bercerita, ya ini adalah babak kedua hidup saya berkeluarga”, demikian kata Kang Wawan sambil tak lupa meminta doa dari semua. Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, warohmah kang. Aamiin. (Asep GP)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment