Saturday, January 11, 2020
Dongeng kehidupan seniman, baik seniman akademik maupun seniman otodidak dimana pun terasa nyeni, unik, eksentrik, dan perjuangannya yang ulet bisa menjadi suri teladan balarea (semua orang).
Seperti riwayat Dr. Supriatna, S.Sn., M.Sn. Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain ISBI Bandung, ti ngungkuak nepi ka ngungkueuk, dari kelas rakyat menjadi pejabat.
Ketika sekolah di SD Ciroyom Bandung, sepulang sekolah, Supriatna kecil sering memperhatikan tetangganya melukis becak dengan cat Avian atau cap Kuda Terbang memakai teknik totol dan ciprat. Biasanya gambar yang dominan di spakbor becak atau sandaran duduk penumpang. Berupa lukisan perempuan cantik atau pemandangan, berikut nama perusahaan angkutan becak tersebut. Misalnya Euis, Jaga Jaya, Gunung Kawi, Gunung Jati, Sejahtera dan sebagainya. Supriatna mencoba menirunya di rumah atau ketika istirahat sekolah sambil sembunyi-sembunyi. Karena waktu itu Supriatna sangat pemalu dan hasil gambarnya sering diolok-olok temannya. Tapi kebiasaan menggambar tersebut berlanjut hingga sekolah di SMPN 1 Bandung (Angkatan 80) dan di SMAN 4 Bandung (Angkatan 83), malah ketika lulus SMA taun 86, Supriatna ikut tes dan diterima di Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB, Jurusan Seni Murni hingga lulus tahun 96. Padahal waktu itu oleh orang tuanya disuruh memilih Jurusan Sejarah IKIP (UPI) Bandung sebab dia pun diterima di sana. Kemudian Supriatna melanjutkan ke S2 jurusan dan fakultas yang sama di ITB dan lulus tahun 99. Tahun 2000 bergabung dengan ISBI Bandung (dulu masih STSI), kebetulan di sana ada Jurusan Seni Rupa. Setahun kemudian Supriatna resmi jadi pegawai STSI. Karir Supriatna termasuk cemerlang. Tahun 2003 dipercaya jadi Kaprodi (Ketua Prodi/Jurusan). Supriatna juga di tahun 2008 kembali menimba Ilmu Komunikasi Seni di S3 Pascasarjana Unpad serta lulus 2013 dengan disertasi: “Komunikasi Visual Kuda Renggong”. Akhirnya tahun 2019 dipercaya jadi Dekan FSRD ISBI Bandung (Dekan pertamanya Pak Anis Sujana 2016).
Tentu saja karirnya di ISBI yang gemilang itu tidak gampang diraihnya. Supriatna harus beradaptasi, menyesuaikan ilmu seni rupa yang dia dapat di ITB dan seni rupa yang ada di ISBI Bandung yang memang beda. Di ITB Supriatna belajar Seni Murni. Dimana kalau melukis payung, membuat keramik, grafis, hasil dari ekpresi murni bukan seni pakai, bukan kriya bukan desain, tapi sungguh murni dari ungkapan diri senimannya.
Sedangkan di ISBI, seni rupanya, kriya seni tapi dasarnya lebih ke pertunjukan. Sebab awalnya memang ISBI itu mengarah ke seni pertunjukan, tari, teater, karawitan. Jadi, kriya seninya berbeda dengan seni kriya di ISI Yogya, membuat kerajinan dan sebagainya. Tapi di ISBI Bandung diarahkan ke pertunjukan, umpamanya membuat zirah (baju pelindung untuk perang) panah, setting, dan properti lainnya. “Jadi saya harus belajar lagi dari nol, tapi kersaning Alloh SWT, dua tahun sebelum gabung dengan ISBI, saya ikut grup teater Kang Diyanto, Kang Tisna Sanjaya, selain itu saya juga pernah ngajar teater di SMA Bina Dharma dan itu mendorong saya untuk membaca buku teater dan praktiknya, ya alhamdulilah ketika bergabung dengan ISBI tidak terlalu planga-plongo, ditambah saya banyak kenal dengan pemaen tetaer ISBI Bandung, Tonny Broer (sekarang jadi Doktor), Gabriel, Aendra Medita (praktisi media), itu adalah sahabat baik saya”, kata Supriatna, mengingat masa lalunya.
Gabungan Birokrat dan Seniman
Ketika menjadi Kaprodi Kriya Seni, Supriatna berinovasi mendirikan Program Sarjana (S1) Seni Rupa Murni. Setelah menyusun proposal dengan Pak Andi (Alm), alhamdulillah berkah perjuangan tahun 2010 keluar SK dari Kemenristek serta setahun kemudian keluar mandat dari dikti untuk mengadakan program D4 Studi Tatarias Busana. Jadi dengan begitu di Seni Rupa ISBI Bandung ada D3 Kriya Seni, S1 Seni Murni dan D4 Tatarias Busana. “Tatarias Busana itu sebetulnya desain mode, tapi karena dikti meminta namanya Tatarias Busana, ya ga apa-apa. Jadi Fakultas Seni Rupa dan Desain ISBI itu genap terdiri dari Seni Murni, Kriya dan Desain”, demikian terangnya.
Selain jadi birokrat pimpinan di ISBI Bandung, Supriatna juga tetap sebagai Seniman. Aliran lukisannya, terserah Kurator saja, katanya. Sebab dia tidak mau terikat oleh satu gaya. Kalau di ITB gambarnya rada-rada abstrak-ekspresif, non piguratif, lebih condong ke tarikan kuas, tapi ketika bergabung dengan ISBI, yang atmosfirnya Sunda, atmosfir pertunjukan, jadi bentuknya kembali lagi ke bangun piguratif, kebanyakan lukisan Penari.
Supriatna mengaku kalau memperhatikan perempuan, penuh misteri dan selamanya menarik hati. Kadang bisa sensual, bisa juga sakral menjelma jadi seorang ibu yang harus dihormati dan dilindungi, apalagi kalau penari yang gemulai bak bidadari yang melambaikan tangan. Nah, penari yang menjadi objek lukisan Supriatna adalah ketika sedang berdandan sebelum pementasan. Menyisir rambut, membetulkan kain, sampur, selendang dan sebagainya. Kalau sudah menari itu sudah ekspresif, tidak natural lagi. Lukisan Penari karyanya pernah dipamerkan di China, judulnya “Sebelum Menari”.
“Jadi lukisan saya sekarang terpengaruh oleh lingkungan ISBI, agak bergeser. Teman-teman pun pada bertanya, kenapa menjadi rubah 90 derajat. Tapi yaitu tadi, saya tidak mau terikat oleh satu gaya. Walaupun menghilangkan ciri khas/brand, membuat bingung apresiator kemana arahnya, tapi buat saya seni itu bukan untuk orang lain, tapi untuk kepuasan diri sendiri”, katanya tegas. Istilahnya makan kangkung tiap hari lama-kelamaan jadi bosan. Supriatna ingin terus mengasah kreativitasnya dengan gambar anatomi yang bagus, proporsi yang baik dan rupa-rupa warna. Dan kalau yang ngerti dan jeli sama lukisan mah tidak akan tertipu oleh coretan. Dari goresannya aja pasti ketahuan siapa pelukisnya, ada ciri khasnya masing-masing walau berganti nama sekalipun. Hal itu dialami Supriatna ketika berkunjung Hotel De La Rosa di Lembang. Ketika masuk ke sweet room dia kaget kenapa lukisannya bisa ada di situ. Lukisan tersebut dibuat tahun 91, karya tingkat akhir semasa kuliah di FSRD ITB, lengkap dengan tandatangannya “Prie”. Supriatna waktu itu sempat menitikan air matanya, seperti seorang bapak/ibu bertemu anaknya yang telah lama hilang. Karena lukisan itu curahan hati. Ketika sadar Supriatna teringat, lukisan tersebut yang dia jual di tahun 90-an. Ketika itu lukisan lagi booming-boomingnya. Hanya ketika Supriatna memegang, meraba, memeriksa lukisannya dengan teliti ternyata lukisan tersebut adalah repronya dan ketika ditanyakan ke petugas hotel, ternyata lukisan tersebut dibeli bosnya di Bali.
Supriatna yang lukisannya banyak dikoleksi kolektor dari Jepang dan Malaysia, juga pernah work shop di Washington DC Amerika. Ribuan karyanya tersebar di teman-temannya, di saudara, malah ada yang dikoleksi oleh Aom Koesman (Suargi). Kadang-kadang beres melukis dan dikasih pigura lukisannya langsung dipinjam teman-temannya dan tak kembali, sebagian lagi ketemu setelah sepuluh tahun ketika berkunjung ke rumah temannya.
Karya lukisnya sudah dipamerkan di seluruh Nusantara dan Mancanagara. Maklum ISBI (dari zaman STSI) rutin ikut Festival Kesenian Indonesia yang digelar dua tahun sakali. Jadi, Supriatna bisa ikut keliling Nusantara, seperti ke Padangpanjang, Surabaya, Yogya, Solo, Bali dan sebagainya.
Di luar negeri, pamerannya sampai ke Jepang, Malaysia dan China. Malah sudah ada tawaran ke Paris dan London Inggris. Tahun 2020, Supriatna ke Bangladesh karena yang mereka undang adalah dosen yang merangkap jadi seniman.
Mahasiswa Seni Rupa dan Desain ISBI Bandung sekarang berjumlah 300 orang. Sebetulnya penuh sesak juga untuk ukuran kampus yang kecil, kata Supriatna. Idealnya tiap kelas diisi 30 mahasiswa. Tapi oleh karena harus memenuhi student boddy jadi kampus BHP (Badan Hukum Pendidikan) jadi 40 mahasiswa per-angkatan dikali 3 jurusan-plus 10. Jadinya penuh sesak. “Akibatnya anak-anak tingkat satu kalau membuat patung mereka terpaksa harus di teras ruangan/koridor. Tapi biarkan saja, hitung-hitung melatih mental dan melatih mereka berinteraksi langsung dengan objek. Ya nanti kalau kampus di Bandung Barat sudah rampung mah bisa leluasa”, kata Supriatna penuh harapan.
Lulusan FSRD ISBI Bandung, kata Supriatna, sama dengan lulusan FSRD ITB, jadi “Seniman” (Sarjana Seni), hanya bedanya ITB terkait dengan konsep teknologi kekinian, hal yang up to date, sedangkan di ISBI Supriatna mencoba merancangnya, ilmunya tetap dari Barat tapi kajiannya dari Timur. Umpamanya membuat lukisan kaca memakai media Komputer. “Jadi membuat karya dengan teori Barat tapi dengan tidak meninggalkan akar budaya kita”, demikian pungkas Pak Dekan. (Asep GP)***
BOX
Supriatna dilahirkan di Bandung 26 Juli 1967. "Anak Kolong", lahir dari keluarga Tentara/TNI AD. Bapaknya Lettu Sukarya BA, orang Bandung pituin/asli. Seorang Pejuang dan ketika meninggal sedang menjabat Ketua LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia) Kota Bandung. Ibunya Siti Maemunah yang suka membatik dinikahi bapaknya ketika sedang bergerilya ke daerah Buah Dua Sumedang. Ketika kecil, putra ke enam dari tujuh bersaudara itu tugasnya menyemir sepatu bapaknya. Tempat tinggalnya semasa itu di Babakan Damai (sekarang Kebon Jukut). Disebut Babakan Damai sebab tanah tersebut hasil merebut dari Chin Hin lalu dijadikan Perumahan Tentara Pembebasan Persabet (Persatuan Bebas Tugas).
Tatarjabar.com January 11, 2020 CB Blogger IndonesiaTahun 88 di masa kuliah di FSRD ITB mendirikan Kelompok Pelukis Muda Bandung (KPMB) bareng Edi Sugiharto (sekarang dosen Itenas), Rizal Safari (Guru kesenian SMKN 8 Bandung), serta Tisna. KPMB sejaman dengan Gerbong dan SOS (Sanggar Olah Seni Siliwangi) yang pada tahun 2000 mengadakan perlawanan kepada pelukis kolot, seniman moyan, seniman akademik yang selalu berpameran eksklusif seolah penguasa. KPMB beranggotakan mahasiswa UPI, ITB, sanggar lukis, pembinanya Pa Anang Sumarna ( Diparda, Alm). Supriatna juga bergabung dengan Neo Gong Art Desain and Craft Movement, pergerakan seni, desain, dan craft pimpinan Pa Sobur, yang betujuan membuat gerakan pembaruan seni rupa, baik seni murni, desain, atau craft.
Supriatna dari Seni Rupa ITB ke Seni Rupa ISBI Bandung
Posted by
Tatarjabar.com on Saturday, January 11, 2020
Dongeng kehidupan seniman, baik seniman akademik maupun seniman otodidak dimana pun terasa nyeni, unik, eksentrik, dan perjuangannya yang ulet bisa menjadi suri teladan balarea (semua orang).
Seperti riwayat Dr. Supriatna, S.Sn., M.Sn. Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain ISBI Bandung, ti ngungkuak nepi ka ngungkueuk, dari kelas rakyat menjadi pejabat.
Ketika sekolah di SD Ciroyom Bandung, sepulang sekolah, Supriatna kecil sering memperhatikan tetangganya melukis becak dengan cat Avian atau cap Kuda Terbang memakai teknik totol dan ciprat. Biasanya gambar yang dominan di spakbor becak atau sandaran duduk penumpang. Berupa lukisan perempuan cantik atau pemandangan, berikut nama perusahaan angkutan becak tersebut. Misalnya Euis, Jaga Jaya, Gunung Kawi, Gunung Jati, Sejahtera dan sebagainya. Supriatna mencoba menirunya di rumah atau ketika istirahat sekolah sambil sembunyi-sembunyi. Karena waktu itu Supriatna sangat pemalu dan hasil gambarnya sering diolok-olok temannya. Tapi kebiasaan menggambar tersebut berlanjut hingga sekolah di SMPN 1 Bandung (Angkatan 80) dan di SMAN 4 Bandung (Angkatan 83), malah ketika lulus SMA taun 86, Supriatna ikut tes dan diterima di Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB, Jurusan Seni Murni hingga lulus tahun 96. Padahal waktu itu oleh orang tuanya disuruh memilih Jurusan Sejarah IKIP (UPI) Bandung sebab dia pun diterima di sana. Kemudian Supriatna melanjutkan ke S2 jurusan dan fakultas yang sama di ITB dan lulus tahun 99. Tahun 2000 bergabung dengan ISBI Bandung (dulu masih STSI), kebetulan di sana ada Jurusan Seni Rupa. Setahun kemudian Supriatna resmi jadi pegawai STSI. Karir Supriatna termasuk cemerlang. Tahun 2003 dipercaya jadi Kaprodi (Ketua Prodi/Jurusan). Supriatna juga di tahun 2008 kembali menimba Ilmu Komunikasi Seni di S3 Pascasarjana Unpad serta lulus 2013 dengan disertasi: “Komunikasi Visual Kuda Renggong”. Akhirnya tahun 2019 dipercaya jadi Dekan FSRD ISBI Bandung (Dekan pertamanya Pak Anis Sujana 2016).
Tentu saja karirnya di ISBI yang gemilang itu tidak gampang diraihnya. Supriatna harus beradaptasi, menyesuaikan ilmu seni rupa yang dia dapat di ITB dan seni rupa yang ada di ISBI Bandung yang memang beda. Di ITB Supriatna belajar Seni Murni. Dimana kalau melukis payung, membuat keramik, grafis, hasil dari ekpresi murni bukan seni pakai, bukan kriya bukan desain, tapi sungguh murni dari ungkapan diri senimannya.
Sedangkan di ISBI, seni rupanya, kriya seni tapi dasarnya lebih ke pertunjukan. Sebab awalnya memang ISBI itu mengarah ke seni pertunjukan, tari, teater, karawitan. Jadi, kriya seninya berbeda dengan seni kriya di ISI Yogya, membuat kerajinan dan sebagainya. Tapi di ISBI Bandung diarahkan ke pertunjukan, umpamanya membuat zirah (baju pelindung untuk perang) panah, setting, dan properti lainnya. “Jadi saya harus belajar lagi dari nol, tapi kersaning Alloh SWT, dua tahun sebelum gabung dengan ISBI, saya ikut grup teater Kang Diyanto, Kang Tisna Sanjaya, selain itu saya juga pernah ngajar teater di SMA Bina Dharma dan itu mendorong saya untuk membaca buku teater dan praktiknya, ya alhamdulilah ketika bergabung dengan ISBI tidak terlalu planga-plongo, ditambah saya banyak kenal dengan pemaen tetaer ISBI Bandung, Tonny Broer (sekarang jadi Doktor), Gabriel, Aendra Medita (praktisi media), itu adalah sahabat baik saya”, kata Supriatna, mengingat masa lalunya.
Gabungan Birokrat dan Seniman
Ketika menjadi Kaprodi Kriya Seni, Supriatna berinovasi mendirikan Program Sarjana (S1) Seni Rupa Murni. Setelah menyusun proposal dengan Pak Andi (Alm), alhamdulillah berkah perjuangan tahun 2010 keluar SK dari Kemenristek serta setahun kemudian keluar mandat dari dikti untuk mengadakan program D4 Studi Tatarias Busana. Jadi dengan begitu di Seni Rupa ISBI Bandung ada D3 Kriya Seni, S1 Seni Murni dan D4 Tatarias Busana. “Tatarias Busana itu sebetulnya desain mode, tapi karena dikti meminta namanya Tatarias Busana, ya ga apa-apa. Jadi Fakultas Seni Rupa dan Desain ISBI itu genap terdiri dari Seni Murni, Kriya dan Desain”, demikian terangnya.
Selain jadi birokrat pimpinan di ISBI Bandung, Supriatna juga tetap sebagai Seniman. Aliran lukisannya, terserah Kurator saja, katanya. Sebab dia tidak mau terikat oleh satu gaya. Kalau di ITB gambarnya rada-rada abstrak-ekspresif, non piguratif, lebih condong ke tarikan kuas, tapi ketika bergabung dengan ISBI, yang atmosfirnya Sunda, atmosfir pertunjukan, jadi bentuknya kembali lagi ke bangun piguratif, kebanyakan lukisan Penari.
Supriatna mengaku kalau memperhatikan perempuan, penuh misteri dan selamanya menarik hati. Kadang bisa sensual, bisa juga sakral menjelma jadi seorang ibu yang harus dihormati dan dilindungi, apalagi kalau penari yang gemulai bak bidadari yang melambaikan tangan. Nah, penari yang menjadi objek lukisan Supriatna adalah ketika sedang berdandan sebelum pementasan. Menyisir rambut, membetulkan kain, sampur, selendang dan sebagainya. Kalau sudah menari itu sudah ekspresif, tidak natural lagi. Lukisan Penari karyanya pernah dipamerkan di China, judulnya “Sebelum Menari”.
“Jadi lukisan saya sekarang terpengaruh oleh lingkungan ISBI, agak bergeser. Teman-teman pun pada bertanya, kenapa menjadi rubah 90 derajat. Tapi yaitu tadi, saya tidak mau terikat oleh satu gaya. Walaupun menghilangkan ciri khas/brand, membuat bingung apresiator kemana arahnya, tapi buat saya seni itu bukan untuk orang lain, tapi untuk kepuasan diri sendiri”, katanya tegas. Istilahnya makan kangkung tiap hari lama-kelamaan jadi bosan. Supriatna ingin terus mengasah kreativitasnya dengan gambar anatomi yang bagus, proporsi yang baik dan rupa-rupa warna. Dan kalau yang ngerti dan jeli sama lukisan mah tidak akan tertipu oleh coretan. Dari goresannya aja pasti ketahuan siapa pelukisnya, ada ciri khasnya masing-masing walau berganti nama sekalipun. Hal itu dialami Supriatna ketika berkunjung Hotel De La Rosa di Lembang. Ketika masuk ke sweet room dia kaget kenapa lukisannya bisa ada di situ. Lukisan tersebut dibuat tahun 91, karya tingkat akhir semasa kuliah di FSRD ITB, lengkap dengan tandatangannya “Prie”. Supriatna waktu itu sempat menitikan air matanya, seperti seorang bapak/ibu bertemu anaknya yang telah lama hilang. Karena lukisan itu curahan hati. Ketika sadar Supriatna teringat, lukisan tersebut yang dia jual di tahun 90-an. Ketika itu lukisan lagi booming-boomingnya. Hanya ketika Supriatna memegang, meraba, memeriksa lukisannya dengan teliti ternyata lukisan tersebut adalah repronya dan ketika ditanyakan ke petugas hotel, ternyata lukisan tersebut dibeli bosnya di Bali.
Supriatna yang lukisannya banyak dikoleksi kolektor dari Jepang dan Malaysia, juga pernah work shop di Washington DC Amerika. Ribuan karyanya tersebar di teman-temannya, di saudara, malah ada yang dikoleksi oleh Aom Koesman (Suargi). Kadang-kadang beres melukis dan dikasih pigura lukisannya langsung dipinjam teman-temannya dan tak kembali, sebagian lagi ketemu setelah sepuluh tahun ketika berkunjung ke rumah temannya.
Karya lukisnya sudah dipamerkan di seluruh Nusantara dan Mancanagara. Maklum ISBI (dari zaman STSI) rutin ikut Festival Kesenian Indonesia yang digelar dua tahun sakali. Jadi, Supriatna bisa ikut keliling Nusantara, seperti ke Padangpanjang, Surabaya, Yogya, Solo, Bali dan sebagainya.
Di luar negeri, pamerannya sampai ke Jepang, Malaysia dan China. Malah sudah ada tawaran ke Paris dan London Inggris. Tahun 2020, Supriatna ke Bangladesh karena yang mereka undang adalah dosen yang merangkap jadi seniman.
Mahasiswa Seni Rupa dan Desain ISBI Bandung sekarang berjumlah 300 orang. Sebetulnya penuh sesak juga untuk ukuran kampus yang kecil, kata Supriatna. Idealnya tiap kelas diisi 30 mahasiswa. Tapi oleh karena harus memenuhi student boddy jadi kampus BHP (Badan Hukum Pendidikan) jadi 40 mahasiswa per-angkatan dikali 3 jurusan-plus 10. Jadinya penuh sesak. “Akibatnya anak-anak tingkat satu kalau membuat patung mereka terpaksa harus di teras ruangan/koridor. Tapi biarkan saja, hitung-hitung melatih mental dan melatih mereka berinteraksi langsung dengan objek. Ya nanti kalau kampus di Bandung Barat sudah rampung mah bisa leluasa”, kata Supriatna penuh harapan.
Lulusan FSRD ISBI Bandung, kata Supriatna, sama dengan lulusan FSRD ITB, jadi “Seniman” (Sarjana Seni), hanya bedanya ITB terkait dengan konsep teknologi kekinian, hal yang up to date, sedangkan di ISBI Supriatna mencoba merancangnya, ilmunya tetap dari Barat tapi kajiannya dari Timur. Umpamanya membuat lukisan kaca memakai media Komputer. “Jadi membuat karya dengan teori Barat tapi dengan tidak meninggalkan akar budaya kita”, demikian pungkas Pak Dekan. (Asep GP)***
BOX
Supriatna dilahirkan di Bandung 26 Juli 1967. "Anak Kolong", lahir dari keluarga Tentara/TNI AD. Bapaknya Lettu Sukarya BA, orang Bandung pituin/asli. Seorang Pejuang dan ketika meninggal sedang menjabat Ketua LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia) Kota Bandung. Ibunya Siti Maemunah yang suka membatik dinikahi bapaknya ketika sedang bergerilya ke daerah Buah Dua Sumedang. Ketika kecil, putra ke enam dari tujuh bersaudara itu tugasnya menyemir sepatu bapaknya. Tempat tinggalnya semasa itu di Babakan Damai (sekarang Kebon Jukut). Disebut Babakan Damai sebab tanah tersebut hasil merebut dari Chin Hin lalu dijadikan Perumahan Tentara Pembebasan Persabet (Persatuan Bebas Tugas).
Tahun 88 di masa kuliah di FSRD ITB mendirikan Kelompok Pelukis Muda Bandung (KPMB) bareng Edi Sugiharto (sekarang dosen Itenas), Rizal Safari (Guru kesenian SMKN 8 Bandung), serta Tisna. KPMB sejaman dengan Gerbong dan SOS (Sanggar Olah Seni Siliwangi) yang pada tahun 2000 mengadakan perlawanan kepada pelukis kolot, seniman moyan, seniman akademik yang selalu berpameran eksklusif seolah penguasa. KPMB beranggotakan mahasiswa UPI, ITB, sanggar lukis, pembinanya Pa Anang Sumarna ( Diparda, Alm). Supriatna juga bergabung dengan Neo Gong Art Desain and Craft Movement, pergerakan seni, desain, dan craft pimpinan Pa Sobur, yang betujuan membuat gerakan pembaruan seni rupa, baik seni murni, desain, atau craft.
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment