Home
» Seni Budaya
» Mengintip Penutupan “Pameran Religiusitas Dalam Seni Rupa Kontemporer Nusantara”
Saturday, November 14, 2020
Prof. Wawan, karya seni tertinggi itu adalah haru |
Tangis itu bukan hanya kehilangan dan kesakitan. Ketika kita mendengar sebuah lagu, apa pun lagunya, tiba-tiba kita terdiam dan sesak dada lalu berlinang air mata atau seorang seniman membuat sebuah pameran, sukses, dan ketika berakhir ditutup dengan air mata haru bahagia. Ya mungkin saja, “Karya seni tertinggi itu adalah haru”, seperti yang dan dirasa dan diaku Prof. Dr. Setiawan Sabana, MFA. Dimana pun Guru Besar Seni Rupa ITB ini mengaku kerap berlinang air mata kalau tiba-tiba teringat masa lalu atau larut dalam suasana. Kang Wawan ketika sedang berpidato, memberi kata sambutan misalnya, dia tiba-tiba terdiam seribu basa, hanya terisak, menangis, sudah itu kembali berkata-kata lagi sambil tersedu.
Hal itu terlihat ketika ketika sedang memberi komentar dalam pembukaan pameran seni yang digagasnya, “ Religiusitas Dalam Seni Rupa Kontemporer Nusantara”, yang merupakan Pameran Istiqlal Dalam Bentuk Baru yang digelar secara webinar dari tanggal 29 Oktober hinga 9 November 2020. Tak hanya itu, ketika penutupan pun (9/11/2020), dia terlihat sedang mengusap air matanya dengan tisu, sementara di hadapannya laptopnya menyala, sedang mengikuti webinar. Ah...hati seniman memang sehalus sutra. Terlebih menghayati suasana pameran yang religius, penuh kontemplasi, perenungan, ngajidiri.
Hal tersebut dirasakan juga oleh Wawan Ajen (Dr. Wawan Gunawan, S.Sn.Mn) yang merenungkan kembali apa yang sudah dilakukan dalam karya bersama ini dari mengalir tak tahu arahnya kemana, hingga tiba-tiba seperti ada yang menggiring pada sesuatu yang sangat luar biasa.
“Ada perenungan-perenungan tidak hanya raganya saja, tapi rasanya juga direnungkan, juga rasionya direnungkan dan ruh yang paling penting, itu lah yg menyatu dalam sebuah kerukunan,” kata Dalang Wayang Ajen ini, pasti.
Jadi menurut Wawan, esensi dalam pertunjukan wayang itu, dalam purwa ada tauhid dzikir, bagaimana menyimpan kata-kata, meleburkan kalimat tauhid dalam sebuah pertunjukan wayang menghadirkan kalimat tauhid dimana pun, kapan pun hadirkan Laa Ilaaha illallah dalam hati jiwa raga.
Mari kita besarkan Kenusantaraan jadi markas besar berkreasi kita |
“inilah perenungan saya. Dalam kegiatan pameran virtual ini, ini menuju pada sesuatu yang Maha Virtual. Dalam konsep inilah esensi dari virtual yang Maha Virtual, dalam arti melahirkan sesuatu yang spiritual,” kata Wawan yang sebelumnya ngebut dalam hitungan menit sepulang rapat dari Jakarta ke Bekasi agar bisa hadir dalam webinar yang diselenggarakan Prof. Setiawan Sabana.
Tatarjabar.com
November 14, 2020
CB Blogger
Indonesia“Saya tadi padat rapat di Jakarta, tapi saya ingin hadir di webinar Pak Wawan, hanya dalam hitungan menit sampai rumah di Bekasi langsung saya pegang Gunungan dan Wayang, saya ingin melakukannya di sanggar saya bukan dimanapun, “ katanya semangat sekali, tak lama terdengar dia berteriak, Tutup Lawang Sigotaka .
Prof. Wawan sendiri sebagai penggagas dan kurator acara ini mengaku yang mengesankan adalah puncaknya, religiusitas, dari pertama hanya sebuah kertas diwawaas jadi suatu yang spiritual hingga sampai pada ritual yang bebas bahkan bukan hanya diikuti oleh seniman yang muslim tapi Kenusantaraan, ada Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, konghucu, toleransi berkeyakinan yang mengingatkan bahwa kita orang Nusantara bukan bule-barat. “Marilah kita membesarkan Kenusantaraan ini jadi markas besar berkreasi kita“, katanya pasti.
Hal yang menarik di acara ini, setelah diperdengarkan lagu “Tuhan” dari Bimbo, acara dipungkas dengan doa’ dan panitia memilih Wayan Mudra dari Bali yang tentu saja beragama Hindu untuk memimpin doa. Awalnya Wayan jengah sekali bahkan menyilakan yang lain, tapi panitia keukeuh, akhirnya beliau bersedia lalu memimpin doa dengan bahasa Indonesia. Duhai…contoh toleransi beragama di Nusantara.
Seperti diketahui (lihat tatarjabar.com: ”Religiusitas Dalam Seni Rupa Kontemporer Nusantara - Prof. Setiawan Sabana Gelar Pameran Istiqlal Dalam Bentuk Baru”), Kang Wawan mengatakan bahwa pameran “Religiusitas Dalam Seni Rupa Kontemporer Nusantara” ini Judulnya merujuk pada kesejarahan Festival Istiqlal tahun 91 dan 95. Sebuah pameran besar, Festival Kebudayaan Indonesia Bernafaskan Islam di masa Orde Baru yang diinisiasi oleh Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Joop Ave. Di pameran akbar ini, Kang Wawan dipercaya jadi Koordinator Seni Rupa Modern. Disini digelar juga yang sifatnya pertunjukkan, pentas dan seminar-seminar kebudayaan.
Prof. Wawan sendiri sebagai penggagas dan kurator acara ini mengaku yang mengesankan adalah puncaknya, religiusitas, dari pertama hanya sebuah kertas diwawaas jadi suatu yang spiritual hingga sampai pada ritual yang bebas bahkan bukan hanya diikuti oleh seniman yang muslim tapi Kenusantaraan, ada Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, konghucu, toleransi berkeyakinan yang mengingatkan bahwa kita orang Nusantara bukan bule-barat. “Marilah kita membesarkan Kenusantaraan ini jadi markas besar berkreasi kita“, katanya pasti.
Hal yang menarik di acara ini, setelah diperdengarkan lagu “Tuhan” dari Bimbo, acara dipungkas dengan doa’ dan panitia memilih Wayan Mudra dari Bali yang tentu saja beragama Hindu untuk memimpin doa. Awalnya Wayan jengah sekali bahkan menyilakan yang lain, tapi panitia keukeuh, akhirnya beliau bersedia lalu memimpin doa dengan bahasa Indonesia. Duhai…contoh toleransi beragama di Nusantara.
Seperti diketahui (lihat tatarjabar.com: ”Religiusitas Dalam Seni Rupa Kontemporer Nusantara - Prof. Setiawan Sabana Gelar Pameran Istiqlal Dalam Bentuk Baru”), Kang Wawan mengatakan bahwa pameran “Religiusitas Dalam Seni Rupa Kontemporer Nusantara” ini Judulnya merujuk pada kesejarahan Festival Istiqlal tahun 91 dan 95. Sebuah pameran besar, Festival Kebudayaan Indonesia Bernafaskan Islam di masa Orde Baru yang diinisiasi oleh Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Joop Ave. Di pameran akbar ini, Kang Wawan dipercaya jadi Koordinator Seni Rupa Modern. Disini digelar juga yang sifatnya pertunjukkan, pentas dan seminar-seminar kebudayaan.
Spiritulitas Kertas di Galeri Seni 10 karya Kang Wawan |
Sedangkan dalam Festival Istiqlal bentuk baru ini menghadirkan para pembicara dalam public lecture seperti Dr. Acep Iwan Saidi (Kang AIS), Prof. Dr. Ignatius Bambang Sugiarto, Prof. Dr. Rudy Harjanto, M.Sn, Dr. Sirajuddin. Dr. Opan Syafari Hasyim, Dr. Djulijati Prambudi, M.Sn, dan Dr. Wawan Gunawan, S.Sn.Mn., (Wawan Ajen), dan peserta seminar bertemakan keagamaan ini sudah tercatat ada 90 dari seluruh Nusantara ditambah Malaysia dan Philipina.
Dalam pameran tersebut Kang Wawan (Prof. Setiawan Sabana) menggelar pameran tunggal, sebagai ruh pameran, kali ini judulnya “Di Atas Langit Ada Kertas” sedangkan peserta yang lain mengelar pameran dengan judulnya masing-masing yang mengacu pada tema besar “Religiusitas Dalam Seni Rupa Kontemporer Nusantara”.
Kegiatan selanjutnya, Senin, 16 November 2020 mulai 18.30-20.30, Kang Wawan akan menggelar ”Jelajah Nusantara – Kreatifitas Dalam Budaya Cirebon”, dengan para Pembicara Kang Wawan sendiri, “Cirebon yang Saya Ketahui” dan Dr. R. Achmad Opan Safari, M.Hum , “Cirebon yang saya Alami”, serta moderator Agus Cahyana, M.Sn.
Serta tanggal 12 Desember 2020 webinar tentang kriya kerjasama dengan ISI Bali, “Inovasi Pada Kriya Era Digital”, plus pameran tunggalnya tentang kriya yang ada di Garasi Seni yang berbahan kertas - Kriya Kertas. (Asep GP.)***
Dalam pameran tersebut Kang Wawan (Prof. Setiawan Sabana) menggelar pameran tunggal, sebagai ruh pameran, kali ini judulnya “Di Atas Langit Ada Kertas” sedangkan peserta yang lain mengelar pameran dengan judulnya masing-masing yang mengacu pada tema besar “Religiusitas Dalam Seni Rupa Kontemporer Nusantara”.
Kegiatan selanjutnya, Senin, 16 November 2020 mulai 18.30-20.30, Kang Wawan akan menggelar ”Jelajah Nusantara – Kreatifitas Dalam Budaya Cirebon”, dengan para Pembicara Kang Wawan sendiri, “Cirebon yang Saya Ketahui” dan Dr. R. Achmad Opan Safari, M.Hum , “Cirebon yang saya Alami”, serta moderator Agus Cahyana, M.Sn.
Serta tanggal 12 Desember 2020 webinar tentang kriya kerjasama dengan ISI Bali, “Inovasi Pada Kriya Era Digital”, plus pameran tunggalnya tentang kriya yang ada di Garasi Seni yang berbahan kertas - Kriya Kertas. (Asep GP.)***
Mengintip Penutupan “Pameran Religiusitas Dalam Seni Rupa Kontemporer Nusantara”
Posted by
Tatarjabar.com on Saturday, November 14, 2020
Prof. Wawan, karya seni tertinggi itu adalah haru |
Tangis itu bukan hanya kehilangan dan kesakitan. Ketika kita mendengar sebuah lagu, apa pun lagunya, tiba-tiba kita terdiam dan sesak dada lalu berlinang air mata atau seorang seniman membuat sebuah pameran, sukses, dan ketika berakhir ditutup dengan air mata haru bahagia. Ya mungkin saja, “Karya seni tertinggi itu adalah haru”, seperti yang dan dirasa dan diaku Prof. Dr. Setiawan Sabana, MFA. Dimana pun Guru Besar Seni Rupa ITB ini mengaku kerap berlinang air mata kalau tiba-tiba teringat masa lalu atau larut dalam suasana. Kang Wawan ketika sedang berpidato, memberi kata sambutan misalnya, dia tiba-tiba terdiam seribu basa, hanya terisak, menangis, sudah itu kembali berkata-kata lagi sambil tersedu.
Hal itu terlihat ketika ketika sedang memberi komentar dalam pembukaan pameran seni yang digagasnya, “ Religiusitas Dalam Seni Rupa Kontemporer Nusantara”, yang merupakan Pameran Istiqlal Dalam Bentuk Baru yang digelar secara webinar dari tanggal 29 Oktober hinga 9 November 2020. Tak hanya itu, ketika penutupan pun (9/11/2020), dia terlihat sedang mengusap air matanya dengan tisu, sementara di hadapannya laptopnya menyala, sedang mengikuti webinar. Ah...hati seniman memang sehalus sutra. Terlebih menghayati suasana pameran yang religius, penuh kontemplasi, perenungan, ngajidiri.
Hal tersebut dirasakan juga oleh Wawan Ajen (Dr. Wawan Gunawan, S.Sn.Mn) yang merenungkan kembali apa yang sudah dilakukan dalam karya bersama ini dari mengalir tak tahu arahnya kemana, hingga tiba-tiba seperti ada yang menggiring pada sesuatu yang sangat luar biasa.
“Ada perenungan-perenungan tidak hanya raganya saja, tapi rasanya juga direnungkan, juga rasionya direnungkan dan ruh yang paling penting, itu lah yg menyatu dalam sebuah kerukunan,” kata Dalang Wayang Ajen ini, pasti.
Jadi menurut Wawan, esensi dalam pertunjukan wayang itu, dalam purwa ada tauhid dzikir, bagaimana menyimpan kata-kata, meleburkan kalimat tauhid dalam sebuah pertunjukan wayang menghadirkan kalimat tauhid dimana pun, kapan pun hadirkan Laa Ilaaha illallah dalam hati jiwa raga.
Mari kita besarkan Kenusantaraan jadi markas besar berkreasi kita |
“inilah perenungan saya. Dalam kegiatan pameran virtual ini, ini menuju pada sesuatu yang Maha Virtual. Dalam konsep inilah esensi dari virtual yang Maha Virtual, dalam arti melahirkan sesuatu yang spiritual,” kata Wawan yang sebelumnya ngebut dalam hitungan menit sepulang rapat dari Jakarta ke Bekasi agar bisa hadir dalam webinar yang diselenggarakan Prof. Setiawan Sabana.
“Saya tadi padat rapat di Jakarta, tapi saya ingin hadir di webinar Pak Wawan, hanya dalam hitungan menit sampai rumah di Bekasi langsung saya pegang Gunungan dan Wayang, saya ingin melakukannya di sanggar saya bukan dimanapun, “ katanya semangat sekali, tak lama terdengar dia berteriak, Tutup Lawang Sigotaka .
Prof. Wawan sendiri sebagai penggagas dan kurator acara ini mengaku yang mengesankan adalah puncaknya, religiusitas, dari pertama hanya sebuah kertas diwawaas jadi suatu yang spiritual hingga sampai pada ritual yang bebas bahkan bukan hanya diikuti oleh seniman yang muslim tapi Kenusantaraan, ada Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, konghucu, toleransi berkeyakinan yang mengingatkan bahwa kita orang Nusantara bukan bule-barat. “Marilah kita membesarkan Kenusantaraan ini jadi markas besar berkreasi kita“, katanya pasti.
Hal yang menarik di acara ini, setelah diperdengarkan lagu “Tuhan” dari Bimbo, acara dipungkas dengan doa’ dan panitia memilih Wayan Mudra dari Bali yang tentu saja beragama Hindu untuk memimpin doa. Awalnya Wayan jengah sekali bahkan menyilakan yang lain, tapi panitia keukeuh, akhirnya beliau bersedia lalu memimpin doa dengan bahasa Indonesia. Duhai…contoh toleransi beragama di Nusantara.
Seperti diketahui (lihat tatarjabar.com: ”Religiusitas Dalam Seni Rupa Kontemporer Nusantara - Prof. Setiawan Sabana Gelar Pameran Istiqlal Dalam Bentuk Baru”), Kang Wawan mengatakan bahwa pameran “Religiusitas Dalam Seni Rupa Kontemporer Nusantara” ini Judulnya merujuk pada kesejarahan Festival Istiqlal tahun 91 dan 95. Sebuah pameran besar, Festival Kebudayaan Indonesia Bernafaskan Islam di masa Orde Baru yang diinisiasi oleh Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Joop Ave. Di pameran akbar ini, Kang Wawan dipercaya jadi Koordinator Seni Rupa Modern. Disini digelar juga yang sifatnya pertunjukkan, pentas dan seminar-seminar kebudayaan.
Prof. Wawan sendiri sebagai penggagas dan kurator acara ini mengaku yang mengesankan adalah puncaknya, religiusitas, dari pertama hanya sebuah kertas diwawaas jadi suatu yang spiritual hingga sampai pada ritual yang bebas bahkan bukan hanya diikuti oleh seniman yang muslim tapi Kenusantaraan, ada Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, konghucu, toleransi berkeyakinan yang mengingatkan bahwa kita orang Nusantara bukan bule-barat. “Marilah kita membesarkan Kenusantaraan ini jadi markas besar berkreasi kita“, katanya pasti.
Hal yang menarik di acara ini, setelah diperdengarkan lagu “Tuhan” dari Bimbo, acara dipungkas dengan doa’ dan panitia memilih Wayan Mudra dari Bali yang tentu saja beragama Hindu untuk memimpin doa. Awalnya Wayan jengah sekali bahkan menyilakan yang lain, tapi panitia keukeuh, akhirnya beliau bersedia lalu memimpin doa dengan bahasa Indonesia. Duhai…contoh toleransi beragama di Nusantara.
Seperti diketahui (lihat tatarjabar.com: ”Religiusitas Dalam Seni Rupa Kontemporer Nusantara - Prof. Setiawan Sabana Gelar Pameran Istiqlal Dalam Bentuk Baru”), Kang Wawan mengatakan bahwa pameran “Religiusitas Dalam Seni Rupa Kontemporer Nusantara” ini Judulnya merujuk pada kesejarahan Festival Istiqlal tahun 91 dan 95. Sebuah pameran besar, Festival Kebudayaan Indonesia Bernafaskan Islam di masa Orde Baru yang diinisiasi oleh Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Joop Ave. Di pameran akbar ini, Kang Wawan dipercaya jadi Koordinator Seni Rupa Modern. Disini digelar juga yang sifatnya pertunjukkan, pentas dan seminar-seminar kebudayaan.
Spiritulitas Kertas di Galeri Seni 10 karya Kang Wawan |
Sedangkan dalam Festival Istiqlal bentuk baru ini menghadirkan para pembicara dalam public lecture seperti Dr. Acep Iwan Saidi (Kang AIS), Prof. Dr. Ignatius Bambang Sugiarto, Prof. Dr. Rudy Harjanto, M.Sn, Dr. Sirajuddin. Dr. Opan Syafari Hasyim, Dr. Djulijati Prambudi, M.Sn, dan Dr. Wawan Gunawan, S.Sn.Mn., (Wawan Ajen), dan peserta seminar bertemakan keagamaan ini sudah tercatat ada 90 dari seluruh Nusantara ditambah Malaysia dan Philipina.
Dalam pameran tersebut Kang Wawan (Prof. Setiawan Sabana) menggelar pameran tunggal, sebagai ruh pameran, kali ini judulnya “Di Atas Langit Ada Kertas” sedangkan peserta yang lain mengelar pameran dengan judulnya masing-masing yang mengacu pada tema besar “Religiusitas Dalam Seni Rupa Kontemporer Nusantara”.
Kegiatan selanjutnya, Senin, 16 November 2020 mulai 18.30-20.30, Kang Wawan akan menggelar ”Jelajah Nusantara – Kreatifitas Dalam Budaya Cirebon”, dengan para Pembicara Kang Wawan sendiri, “Cirebon yang Saya Ketahui” dan Dr. R. Achmad Opan Safari, M.Hum , “Cirebon yang saya Alami”, serta moderator Agus Cahyana, M.Sn.
Serta tanggal 12 Desember 2020 webinar tentang kriya kerjasama dengan ISI Bali, “Inovasi Pada Kriya Era Digital”, plus pameran tunggalnya tentang kriya yang ada di Garasi Seni yang berbahan kertas - Kriya Kertas. (Asep GP.)***
Dalam pameran tersebut Kang Wawan (Prof. Setiawan Sabana) menggelar pameran tunggal, sebagai ruh pameran, kali ini judulnya “Di Atas Langit Ada Kertas” sedangkan peserta yang lain mengelar pameran dengan judulnya masing-masing yang mengacu pada tema besar “Religiusitas Dalam Seni Rupa Kontemporer Nusantara”.
Kegiatan selanjutnya, Senin, 16 November 2020 mulai 18.30-20.30, Kang Wawan akan menggelar ”Jelajah Nusantara – Kreatifitas Dalam Budaya Cirebon”, dengan para Pembicara Kang Wawan sendiri, “Cirebon yang Saya Ketahui” dan Dr. R. Achmad Opan Safari, M.Hum , “Cirebon yang saya Alami”, serta moderator Agus Cahyana, M.Sn.
Serta tanggal 12 Desember 2020 webinar tentang kriya kerjasama dengan ISI Bali, “Inovasi Pada Kriya Era Digital”, plus pameran tunggalnya tentang kriya yang ada di Garasi Seni yang berbahan kertas - Kriya Kertas. (Asep GP.)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment