Home
» Seni Budaya
» Religiusitas Dalam Seni Rupa Kontemporer Nusantara : Pameran Istiqlal Dalam Bentuk Baru
Friday, November 6, 2020
Prof. Setiawan Sabana, selama ini kita dipengaruhi dunia-lupa Nusantara |
Itulah Prof. Dr. Setiawan Sabana, MFA. Guru Besar Seni Rupa ITB ini walau usianya sudah mulai senja dan ketika dunia dalam cengkeraman virus Corona tetapi tambah rajin membuat karya dan menggelar pameran seni.
Kelebihan lainnya, dengan segala kreativitas dan kecerdasannya membuat jalan seni tidak pernah ada yang buntu. Buktinya ketika gagal menggelar Festival di Istiqlal karena terhalang Covid-19, dia bersama dua seniman kahot (senior) lainnya, Abdul Djalil Pirous dan Arsono serta Hilman Sapriadi (Ketua Pelaksana), berhasil menggelar Festival Istiqlal dalam bentuk baru dengan nama “Religiuisitas Dalam Seni Rupa Kontemporer Nusantara”.
Pameran Virtual yang digelar dari tanggal 27 Oktober – 9 November 2020 ini sukses mewadahi 90-an peserta dari seluruh Nusantara termasuk seniman dari negeri jiran (tetangga).
Oleh karena itu tak heran kalau Sang Maestro Kertas yang sudah melanglang buana ke seantro dunia ini, dengan terbata-bata dan sedu-sedan bersimbah air mata mengomentari acara yang digagasnya, dengan terharu bahagia.
Bersama Tim Elang |
“Saya terharu … tapi bukan hanya oleh kreativitas masing- masing yang saya kira itu pasti selalu menetas pada seorang seniman, tapi keharuan saya kepada bagaimana tidak mudahnya selama ini kita bisa jalan-jalan ke Nusantara baik semasa atau selama masa pandemi ini.
Dan pameran dalam bentuk virtual ini memberi kesempatan kepada kita bersilaturahim dalam konteks kenusantaraan lewat seni, dan mestinya hal ini menjadikan kita semua warga nusantara punya keinginan yang kuat untuk memberikan semangat pada kebudayaan, seni dan kesenimanan Nusantara dan menyebarkan keharumannya hingga ke Asia Tenggara, Asia bahkan dunia, “ katanya sambil terbata-bata.
Masih diiringi sedu-sedan itu, Kang Wawan mengingatkan. “Kita selama ini dipengaruhi dunia tapi lupa punya Nusantara. Mulai saat ini saya mulai dari diri pribadi…..ingin menjadikan Nusantara ini sebagai markas besar untuk kita berkreasi menuju kemajuan negeri ini, Indonesia negeriku tercinta, “ katanya menggelegar di akhir bicaranya, penuh semangat.
Sebelumnya kepada wartawan kang Wawan (sapaan akrab Prof. Setiawan Sabana) mengatakan, Pameran “Religiuisitas Dalam Seni Rupa Kontemporer Nusantara” ini Judulnya merujuk pada kesejarahan Festival Istiqlal tahun 91 dan 95 sebuah pameran besar, Festival Kebudayaan Indonesia Bernafaskan Islam di masa Orde Baru yang diinisiasi oleh Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Joop Ave. Di pameran akbar ini Kang Wawan dipercaya jadi Koordinator Seni Rupa Modern. Di sini digelar juga yang sifatnya pertunjukkan, pentas dan seminar-seminar kebudayaan.
Religiusitas di sini, kata Kang Wawan, tentu saja melibatkan semua keyakinan yang ada dan diakui di Nusantara sebagai keberagaman dengan perbandingan peserta Islam 80-90%, sedangkan peserta yang beragama lainnya 20 orang.
Festival Istiqlal dalam bentuk baru ini menghadirkan juga para pembicara dalam public lecture seperti Dr. Acep Iwan Saidi (Kang AIS), Prof. Dr. Ignatius Bambang Sugiarto, Prof. Dr. Rudy Harjanto, M.Sn, Dr. Sirajuddin. Dr. Opan Syafari Hasyim, Dr. Djulijati Prambudi, M.Sn, dan Dr. Wawan Gunawan, S.Sn.Mn., (Wawan Ajen), dan peserta seminar bertemakan keagamaan ini sudah tercatat ada 90 dari seluruh Nusantara ditambah Malaysia dan Philipina.
Dan seperti biasa, dalam pameran sekarang pun Kang Wawan menggelar pameran tunggal, sebagai ruh pameran, kali ini judulnya “Di Atas Langit Ada Kertas” sedangkan peserta yang lain mengelar pameran dengan judulnya masing-masing yang mengacu pada tema besar “Religiusitas Dalam Seni Rupa Kontemporer Nusantara”.
Spiritualitas Kertas di Garasi Seni 10 Bandung |
Sementara AD Pirous dalam sambutannya mengatakan, jauh sebelum pandemi Covid-19 mencengkram, saudara Setiawan Sabana berkunjung ke rumah sekedar ngobrol aneka topik ringan, mulai dari hal kampus Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB hingga perkembangan seni (seni rupa) yang kian terpengaruh oleh teknologi/media baru. “Kami ngobrol di Ruang Studio Lukis di Serambi Pirous, “ kenang AD.
Tidak terlalu diatur-atur pembicaraan beralih ke topik seputar Festival Istiqlal 1 (1991) dan Festifal Istiqlal 2 (1995).
Singkat cerita, waktu itu tergagas untuk mengadakan Festival Kebudayaan Indonesia Bernafaskan Islam versi baru – semangat baru.
“Berbekal diskusi tentang Festiva Istiqlal itu, saya menghubungi Pa Arsono, pematung senior yang semasa Festival Istiqlal terlibat penuh dengan event monumental tersebut. Maka terjadilah diskusi lebih lanjut sebagai upaya untuk merealisasikan event tersebut. Akhirnya persiapan ke arah itu menjadi serius sehingga muncul judul pameran seperti yang sudah saya sebutkan“, jelas AD.
Tapi Konsep filosofisnya, kata AD, bukan lagi Kebudayaan Indonesia Bernafaskan Islam, tapi mengakomodasi perupa-perupa dari berbagai keyakinan agama, untuk merefleksikan keberadaan nafas-nafas keagamaan dalam berkesenian.
“Salut kepada para penggagas dan tim panitia yang berhasil mempersiapkan pameran Virtual ini. Semoga cita-cita mulia ini dapat membangun satu nafas kesenian yang berakar pada keyakinan beragama yang saling hadir dengan damai di rantau Nusantara. Semoga pameran berjalan sukses hingga selesai“, pungkasnya. (AGP)***
Religiusitas Dalam Seni Rupa Kontemporer Nusantara : Pameran Istiqlal Dalam Bentuk Baru
Posted by
Tatarjabar.com on Friday, November 6, 2020
Prof. Setiawan Sabana, selama ini kita dipengaruhi dunia-lupa Nusantara |
Itulah Prof. Dr. Setiawan Sabana, MFA. Guru Besar Seni Rupa ITB ini walau usianya sudah mulai senja dan ketika dunia dalam cengkeraman virus Corona tetapi tambah rajin membuat karya dan menggelar pameran seni.
Kelebihan lainnya, dengan segala kreativitas dan kecerdasannya membuat jalan seni tidak pernah ada yang buntu. Buktinya ketika gagal menggelar Festival di Istiqlal karena terhalang Covid-19, dia bersama dua seniman kahot (senior) lainnya, Abdul Djalil Pirous dan Arsono serta Hilman Sapriadi (Ketua Pelaksana), berhasil menggelar Festival Istiqlal dalam bentuk baru dengan nama “Religiuisitas Dalam Seni Rupa Kontemporer Nusantara”.
Pameran Virtual yang digelar dari tanggal 27 Oktober – 9 November 2020 ini sukses mewadahi 90-an peserta dari seluruh Nusantara termasuk seniman dari negeri jiran (tetangga).
Oleh karena itu tak heran kalau Sang Maestro Kertas yang sudah melanglang buana ke seantro dunia ini, dengan terbata-bata dan sedu-sedan bersimbah air mata mengomentari acara yang digagasnya, dengan terharu bahagia.
Bersama Tim Elang |
“Saya terharu … tapi bukan hanya oleh kreativitas masing- masing yang saya kira itu pasti selalu menetas pada seorang seniman, tapi keharuan saya kepada bagaimana tidak mudahnya selama ini kita bisa jalan-jalan ke Nusantara baik semasa atau selama masa pandemi ini.
Dan pameran dalam bentuk virtual ini memberi kesempatan kepada kita bersilaturahim dalam konteks kenusantaraan lewat seni, dan mestinya hal ini menjadikan kita semua warga nusantara punya keinginan yang kuat untuk memberikan semangat pada kebudayaan, seni dan kesenimanan Nusantara dan menyebarkan keharumannya hingga ke Asia Tenggara, Asia bahkan dunia, “ katanya sambil terbata-bata.
Masih diiringi sedu-sedan itu, Kang Wawan mengingatkan. “Kita selama ini dipengaruhi dunia tapi lupa punya Nusantara. Mulai saat ini saya mulai dari diri pribadi…..ingin menjadikan Nusantara ini sebagai markas besar untuk kita berkreasi menuju kemajuan negeri ini, Indonesia negeriku tercinta, “ katanya menggelegar di akhir bicaranya, penuh semangat.
Sebelumnya kepada wartawan kang Wawan (sapaan akrab Prof. Setiawan Sabana) mengatakan, Pameran “Religiuisitas Dalam Seni Rupa Kontemporer Nusantara” ini Judulnya merujuk pada kesejarahan Festival Istiqlal tahun 91 dan 95 sebuah pameran besar, Festival Kebudayaan Indonesia Bernafaskan Islam di masa Orde Baru yang diinisiasi oleh Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Joop Ave. Di pameran akbar ini Kang Wawan dipercaya jadi Koordinator Seni Rupa Modern. Di sini digelar juga yang sifatnya pertunjukkan, pentas dan seminar-seminar kebudayaan.
Religiusitas di sini, kata Kang Wawan, tentu saja melibatkan semua keyakinan yang ada dan diakui di Nusantara sebagai keberagaman dengan perbandingan peserta Islam 80-90%, sedangkan peserta yang beragama lainnya 20 orang.
Festival Istiqlal dalam bentuk baru ini menghadirkan juga para pembicara dalam public lecture seperti Dr. Acep Iwan Saidi (Kang AIS), Prof. Dr. Ignatius Bambang Sugiarto, Prof. Dr. Rudy Harjanto, M.Sn, Dr. Sirajuddin. Dr. Opan Syafari Hasyim, Dr. Djulijati Prambudi, M.Sn, dan Dr. Wawan Gunawan, S.Sn.Mn., (Wawan Ajen), dan peserta seminar bertemakan keagamaan ini sudah tercatat ada 90 dari seluruh Nusantara ditambah Malaysia dan Philipina.
Dan seperti biasa, dalam pameran sekarang pun Kang Wawan menggelar pameran tunggal, sebagai ruh pameran, kali ini judulnya “Di Atas Langit Ada Kertas” sedangkan peserta yang lain mengelar pameran dengan judulnya masing-masing yang mengacu pada tema besar “Religiusitas Dalam Seni Rupa Kontemporer Nusantara”.
Spiritualitas Kertas di Garasi Seni 10 Bandung |
Sementara AD Pirous dalam sambutannya mengatakan, jauh sebelum pandemi Covid-19 mencengkram, saudara Setiawan Sabana berkunjung ke rumah sekedar ngobrol aneka topik ringan, mulai dari hal kampus Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB hingga perkembangan seni (seni rupa) yang kian terpengaruh oleh teknologi/media baru. “Kami ngobrol di Ruang Studio Lukis di Serambi Pirous, “ kenang AD.
Tidak terlalu diatur-atur pembicaraan beralih ke topik seputar Festival Istiqlal 1 (1991) dan Festifal Istiqlal 2 (1995).
Singkat cerita, waktu itu tergagas untuk mengadakan Festival Kebudayaan Indonesia Bernafaskan Islam versi baru – semangat baru.
“Berbekal diskusi tentang Festiva Istiqlal itu, saya menghubungi Pa Arsono, pematung senior yang semasa Festival Istiqlal terlibat penuh dengan event monumental tersebut. Maka terjadilah diskusi lebih lanjut sebagai upaya untuk merealisasikan event tersebut. Akhirnya persiapan ke arah itu menjadi serius sehingga muncul judul pameran seperti yang sudah saya sebutkan“, jelas AD.
Tapi Konsep filosofisnya, kata AD, bukan lagi Kebudayaan Indonesia Bernafaskan Islam, tapi mengakomodasi perupa-perupa dari berbagai keyakinan agama, untuk merefleksikan keberadaan nafas-nafas keagamaan dalam berkesenian.
“Salut kepada para penggagas dan tim panitia yang berhasil mempersiapkan pameran Virtual ini. Semoga cita-cita mulia ini dapat membangun satu nafas kesenian yang berakar pada keyakinan beragama yang saling hadir dengan damai di rantau Nusantara. Semoga pameran berjalan sukses hingga selesai“, pungkasnya. (AGP)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment