Home
» Sosial Politik
» Yudi Nurul Ihsan : Perikanan Sebagai Kunci Pemulihan Ekonomi Yang Tepat Di Masa Krisis Pandemi
Monday, November 30, 2020
Ngawangkong atau ngobrol tentang kekayaan laut Indonesia dengan Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unpad, Dr. sc. agr. Yudi Nurul Ihsan, S.Pi., M.Si, suatu sore di kampus Unpad, menjadikan hati kembali optimis menatap jauh ke depan. Kelak Indonesia bisa kembali sejahtera dan berjaya, juga bisa keluar dari krisis akibat pandemi Covid-19. Pak Dekan mengingatkan kita bahwa Indonesia adalah Negara Maritim terluas di dunia dengan potensi perikanan dan kelautan yang paling besar di dunia.
Indonesia memang merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia dengan 2/3 wilayahnya merupakan wilayah lautan.
Sebagai Negara kepulauan yang utuh sesuai dengan Bab IV UNCLOS 1982 atau ketetapan Konvensi Hukum Laut PBB, dengan luas laut yang begitu besar terdiri dari luas Perairan Nusantara 3,1 juta km2 ditambah dengan kawasan Zone Ekonomi Ekslusif seluas 2,7 juta km2 (RI, 2003), sehingga Luas Total Perairannya menjadi sekitar 5,8 juta km2 serta memiliki Panjang Garis Pantai sekitar 81.000 km, membuat potensi maritim Indonesia sangat beragam dan kekayaan maritim yang melimpah ruah ini milik bangsa kita.
Termasuk milik para nelayan kecil yang menangkap benur atau benih lobster. Kebetulan tentang benur ini terkait dengan kejadian yang sedang hangat sekarang yaitu OTT KPK terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo terkait izin ekspor benih lobster/benur.
Terkait dengan hal ini, menurut Yudi Nurul Ihsan, dari sisi kebijakan sebetulnya usaha nelayan untuk menangkap benih lobster itu tidak salah dan perlu diapresiasi. Jadi menurut Yudi, Permen No. 12 Tahun 2020 yang menggantikan permen sebelumnya di zaman Menteri Susi, itu adalah kebijakan yang progresif di zaman Menteri Edhy Prabowo.
“Kenapa? Di zaman Bu Susi ada peraturan menteri yang melarang penangkapan benur lobster, jadi jangan kan mengekspor dan membesarkan lobster, menangkap benur saja dilarang. Kemudian ketika Pa Edi jadi menteri keluar permen baru yang membolehkan nelayan menangkap benur lobster karena di kita banyak nelayan yang menggantungkan kehidupannya menangkap lobster, jadi waktu zaman Bu Susi banyak nelayan yang kehilangan mata pencahariannya“, kata Yudi.
Hasil Keramba Unpad di Pangandaran |
Nah, apakah penangkapan benur lobster itu akan mengganggu ekologi atau tidak? Kalau kita atur dengan aturan bagus dengan menerapkan sistem kuota penangkapan itu tidak masalah dan kata Yudi, lobster ini di Indonesia istimewa, karena Indonesia menjadi pusat lobster dunia. Dengan wilayahnya yang sangat stategis Indonesia menjadi perangkap lobster di alam – umumnya lobster itu memijah (bertelur) di bumi bagian selatan seperti di Australia, Crismast Island.
Lalu, benurnya terbawa arus ke arah utara sampai kemudian masuk ke wilayah perairan kita di wilayah Timur Sumatera dan perairan Selatan Pulau Jawa dan terperangkap di situ. “Jadi kalau mencari benur lobster ya di perairan Indonesia. Vietnam pun berhasil mengembangkan budidaya lobster karena mendapatkan benur dari Indonesia, termasuk semua Negara Asean (Thailand)“, jelas Yudi bangga.
Tapi sampai sekarang belum ada yang menghitung secara pasti berapa populasi/stok benur yang ada di Indonesia. “Tapi secara umum kurang lebih sekitar 4 Miliyar benur/tahun“, imbuhnya.
Jadi kata Yudi, kalau kita membuat peraturan yang membolehkan menangkap benur sekitar 25-50% belum mengganggu populasinya di alam dan seandainya benur lobster tidak diambil nelayan lebih rugi, mereka akan mati baik dimakan ikan dan predator lannya atau mati secara alami. Karena benur survival ratenya (bertahan hidup hingga berkembang biak) di alam sekitar 0,01% kecil sekali, tapi kalau kita ambil lalu dibesarkan itu survival rate nya akan tinggi bisa sampai 50-60%, di Vietnam sudah sampai 60-70%. “Maka idealnya benur lobster itu kita mabil saja dari alam dengan pengaturan kuota tadi kemudian kita budidayakan di dalam negeri, nanti setelah mencapai ukuran konsumsi baru kita ekspor“, paparnya.
Masalahnya karena selama 5 tahun terakhir kita tidak dibolehkan menangkap benur maka studi atau upaya untuk melakukan budidaya lobster tidak ada, sehingga ketika benur itu boleh ditangkap nelayan kita tidak siap untuk membudidayakan. Terakhir di Lombok survival rate budidayanya hanya 30%, itu terlalu kecil sementara di sisi lain nelayan perlu mendapat nilai ekonomi dari benur lobster.
“Nah selama kita belum siap membudidayakan lobster, sambil kita berjalan membangun infrastruktur budidaya lobster, maka Pa Edhy (Edhy Prabowo) membuat kebijakan boleh mengekspor ke Vietnam dengan catatan perusahaan yang mengekspor lobster itu harus membuat persiapan infrastruktur untuk melakukan budidaya di dalam negeri. Di Permen No. 12 Pasal nomer 5 seperti itu. Jadi perusahaan yang mendapat ijin ekspor benur lobster itu adalah perusahaan yang juga menyiapkan infrastruktur budidaya lobster atau yang kedua bisa juga kalau tidak diekspor kita undang investor misalnya dari Vietnam untuk melakukan budidaya di dalam negeri, sekaligus transfer teknologi ke kita dengan kemudahan investasi apalagi ada UU Cipta Kerja itu sangat memungkinkan“, katanya pasti.
Jadi kata Yudi, sekali lagi, dari segi kebijakan tidak ada masalah penangkapan benur itu, bahkan harus diapresiasi karena nelayan mendapat keuntungan dari sumber daya alam yang kita miliki, “Kesalahannya karena nilai ekonominya begitu besar kemudian ada upaya monopoli, kemudian masuk suap dsb, tapi itu kan di luar konteks kebijakan, itu sudah masuk ke ranah individu“, jelasnya.
Vietnam Belajar Budidaya Ikan Dari Orang Sunda
Hal lain di perikanan dan kelautan, dengan pasti Pak Dekan yang tahun 2018 pernah mengumpulkan Ahli Kelautan se-Asia-Pasifik di Bandung ini mengatakan bahwa, Indonesia adalah Negara dengan potensi perikanan dan kelautan terbesar di dunia, bahkan ketika Vietnam baru merdeka, Vietnam belajar membudidayakan ikan itu ke indonesia khususnya ke Jawa Barat.
Syahdan, ketika Vietnam baru merdeka, para ilmuwannya dikumpulkan untuk memberdayakan banyak sungai yang ada di Vietnam agar memberi nilai ekonomi untuk membangun Negara yang baru merdeka. Nah, setelah para ilmuwan Vietnam mengadakan riset, mereka berkesimpuilan bahwa Vietnam harus mengutus ahli perikanannya ke Jawa Barat - Indoesia, karena Jawa Barat berhasil memanfaatkan sungai-sungainya untuk membudidayakan ikan air tawar, sehingga memberikan nilai ekonomi bagi masyarakatnya.
Jadi Orang Vietnam berani jauh-jauh datang ke Jabar untuk belajar membudidayakan ikan mas, nila, gurame, bahkan termasuk belajar kultur orang Sunda. Jadi kalau sekarang kita ke tempat budidaya ikan di Vietnam kita akan melihat sikap keseharian orang-orang Vietnam di sana mirip dengan orang Sunda, mereka someah hade ka semah (ramah kepada tamu/pendatang), dan ketika ditanya kenapa seperti itu, mereka dengan tegas mengatakan karena belajar budaya Sunda. Hebat!
Lalu, benurnya terbawa arus ke arah utara sampai kemudian masuk ke wilayah perairan kita di wilayah Timur Sumatera dan perairan Selatan Pulau Jawa dan terperangkap di situ. “Jadi kalau mencari benur lobster ya di perairan Indonesia. Vietnam pun berhasil mengembangkan budidaya lobster karena mendapatkan benur dari Indonesia, termasuk semua Negara Asean (Thailand)“, jelas Yudi bangga.
Tapi sampai sekarang belum ada yang menghitung secara pasti berapa populasi/stok benur yang ada di Indonesia. “Tapi secara umum kurang lebih sekitar 4 Miliyar benur/tahun“, imbuhnya.
Jadi kata Yudi, kalau kita membuat peraturan yang membolehkan menangkap benur sekitar 25-50% belum mengganggu populasinya di alam dan seandainya benur lobster tidak diambil nelayan lebih rugi, mereka akan mati baik dimakan ikan dan predator lannya atau mati secara alami. Karena benur survival ratenya (bertahan hidup hingga berkembang biak) di alam sekitar 0,01% kecil sekali, tapi kalau kita ambil lalu dibesarkan itu survival rate nya akan tinggi bisa sampai 50-60%, di Vietnam sudah sampai 60-70%. “Maka idealnya benur lobster itu kita mabil saja dari alam dengan pengaturan kuota tadi kemudian kita budidayakan di dalam negeri, nanti setelah mencapai ukuran konsumsi baru kita ekspor“, paparnya.
Masalahnya karena selama 5 tahun terakhir kita tidak dibolehkan menangkap benur maka studi atau upaya untuk melakukan budidaya lobster tidak ada, sehingga ketika benur itu boleh ditangkap nelayan kita tidak siap untuk membudidayakan. Terakhir di Lombok survival rate budidayanya hanya 30%, itu terlalu kecil sementara di sisi lain nelayan perlu mendapat nilai ekonomi dari benur lobster.
“Nah selama kita belum siap membudidayakan lobster, sambil kita berjalan membangun infrastruktur budidaya lobster, maka Pa Edhy (Edhy Prabowo) membuat kebijakan boleh mengekspor ke Vietnam dengan catatan perusahaan yang mengekspor lobster itu harus membuat persiapan infrastruktur untuk melakukan budidaya di dalam negeri. Di Permen No. 12 Pasal nomer 5 seperti itu. Jadi perusahaan yang mendapat ijin ekspor benur lobster itu adalah perusahaan yang juga menyiapkan infrastruktur budidaya lobster atau yang kedua bisa juga kalau tidak diekspor kita undang investor misalnya dari Vietnam untuk melakukan budidaya di dalam negeri, sekaligus transfer teknologi ke kita dengan kemudahan investasi apalagi ada UU Cipta Kerja itu sangat memungkinkan“, katanya pasti.
Jadi kata Yudi, sekali lagi, dari segi kebijakan tidak ada masalah penangkapan benur itu, bahkan harus diapresiasi karena nelayan mendapat keuntungan dari sumber daya alam yang kita miliki, “Kesalahannya karena nilai ekonominya begitu besar kemudian ada upaya monopoli, kemudian masuk suap dsb, tapi itu kan di luar konteks kebijakan, itu sudah masuk ke ranah individu“, jelasnya.
Vietnam Belajar Budidaya Ikan Dari Orang Sunda
Hal lain di perikanan dan kelautan, dengan pasti Pak Dekan yang tahun 2018 pernah mengumpulkan Ahli Kelautan se-Asia-Pasifik di Bandung ini mengatakan bahwa, Indonesia adalah Negara dengan potensi perikanan dan kelautan terbesar di dunia, bahkan ketika Vietnam baru merdeka, Vietnam belajar membudidayakan ikan itu ke indonesia khususnya ke Jawa Barat.
Syahdan, ketika Vietnam baru merdeka, para ilmuwannya dikumpulkan untuk memberdayakan banyak sungai yang ada di Vietnam agar memberi nilai ekonomi untuk membangun Negara yang baru merdeka. Nah, setelah para ilmuwan Vietnam mengadakan riset, mereka berkesimpuilan bahwa Vietnam harus mengutus ahli perikanannya ke Jawa Barat - Indoesia, karena Jawa Barat berhasil memanfaatkan sungai-sungainya untuk membudidayakan ikan air tawar, sehingga memberikan nilai ekonomi bagi masyarakatnya.
Jadi Orang Vietnam berani jauh-jauh datang ke Jabar untuk belajar membudidayakan ikan mas, nila, gurame, bahkan termasuk belajar kultur orang Sunda. Jadi kalau sekarang kita ke tempat budidaya ikan di Vietnam kita akan melihat sikap keseharian orang-orang Vietnam di sana mirip dengan orang Sunda, mereka someah hade ka semah (ramah kepada tamu/pendatang), dan ketika ditanya kenapa seperti itu, mereka dengan tegas mengatakan karena belajar budaya Sunda. Hebat!
Dan setetelah belajar ke kita, ke orang-orang Sunda, Vietnam pernah menjadi Negara pengekspor Ikan Nila terbesar di dunia dan sekarang terbalik, kita yang belajar budidaya ikan ke Vietnam.Sungguh ironis.
“Mereka orang Vietnam itu kuncinya fokus. Setelah tahu bahwa sungai bisa dibudidayakan – fokus terhadap prioritas sampai berhasil. Dan kita mau tidak mau punya pengalaman seperti itu harus membangun industri perikanan yang kuat karena selama 5 tahun terakhir upaya untuk membangun industri perikanan yang kuat itu nyaris tidak ada“, kata Yudi.
Lalu dalam menghadapi pandemi Covid -19, pemerintah perlu pemulihan ekonomi yang tepat. “Saya berani mengatakan bahwa perikanan adalah kunci pemulihan ekonomi khususnya Perikanan Tangkap. Kalau mengandalkan pertanian membutuhkan proses, tanam dulu, memelihara, baru panen itu pun kalau berhasil, di manufaktur juga sama ada proses – tapi kalau perikanan tangkap hari ini nelayan pergi ke laut, hari ini nelayan dapat ikan, hari ini nelayan menjual ikan, hari ini mendapatkan nilai ekonomi. Jadi untuk pemulihan ekonomi yang cepat, pertama harus kita dorong industri perikanan tangkap sesegera mungkin artinya pelabuhan dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang baik kemudian kita kelola dengan sistem intiplasma, jadi kita dorong nelayan kecil untuk menangkap ikan kemudian ada industri besar yang siap menampung hasil tangakapan nelayan kecil. Ini pendekatan model ekonomi kerakyatan harus dikembangkan karena nelayan Indonesia 70% adalah nelayan kecil", jelas Yudi.
Kalau infrastruktur kurang, begitu tangkapannya banyak akan mubazir, karena ikan ini produk yang mudah busuk dan lumbung ikan nasional terutama di di Indonesia Bagian Timur ini perlu dioptimalkan dari mulai armada pengangkut ikannya dari timur ke barat dan ini bisa mendukung program pelautnya Presiden Jokowi.
Setelah perikanan tangkap dioptimalkan baru masuk ke sektor pertanian, perkebunan, kemudian ke perikanan budidaya digenjot, tapi kita tetap harus punya fokus dan prioritas. Kita punya potensi di udang kita genjot perikanan budidaya udang, udang-udang yang premium itu dari kita. Yang kedua, kita juga genjot budidaya lobster, ini memang butuh waktu. Karena kita di lobster tidak siap belum mengarah ke situ, tapi paling tidak di ikan laut kita sudah punya kemampuan membudidayakan Udang Paname. Ketiga, kita membangun industri pengolahan ikan karena ke depan masyakarat itu tren nya frozen food masakan yang siap saji dan ikan itu adalah makanan yang punya nila gizi yang cukup tinggi untuk menambah imunitas, kecerdasan, dsb. Nah kalau kita sudah bisa mendata kemampuan produksi ikan kita dari perikanan tangkap, perikanan budi daya kita bisa menghitung kira-kira kita bisa menyiapkan industri pengolahan ikan sebesar apa. Demikian papar Yudi.
Foto Istimewa |
Kalau itu sudah berhasil, lanjut Yudi, maka nilai tambah dari sektor perikanan akan cukup besar, produk-produk pangan dari Indonesia begitu masuk jepang itu langsung habis, langsung diserap oleh pasar. Kasus ini terjadi di produk udang jadi ada perushaan besar di Indonesia sampai tidak punya produk untuk dijual di dalam negeri karena untuk ekspor saja masih kekurangan bahan baku begitu produk masuk ke jepang itu langsung habis karena kualitasnya cukup bagus.
“Nah kalau kita sudah punya bahan baku cukup kuat dari perikanan budidaya perikanan tangkap, maka industri pengolahan ikan pun akan berkembang cukup baik. Tapi selama ini kita tidak mengarah membangun industri perikanan seperti itu, kita cenderung menjual barang mentah, bahan baku, jadi mengolahnya di luar negeri“, sesalnya.
Jadi kata Yudi, itu akan berhasil kalau kita punya sistem logistik yang baik karena ikan mudah busuk dan kunci dari sistem logistik adalah penyiapan sarana dan prasarana seperti Mesin ABF (Air Blast Freezer) pembeku ikan dan chest freezer - penyimpan ikan. Pelabuhan dilengkapi dengan alat seperti itu membuat produk ikan dari laut, baik perikanan tangkap dan budidaya bisa disimpan berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Dan Alhamdulillah kita sudah punya, kata Yudi.
“Jadi bicara perikan itu tidak hanya lobster saja tapi bagaimana kita membangun industri dari hulu ke hilir, baik itu perikanan tangkap yang harus jadi kunci pemulihan ekonomi, kemudian perikanan budidaya dan hilirnya adalah kita membangun industri pengolahan perikanan karena tren ke depan adalah produk siap saji, frozen food. Itu harus kita siap“, jelas Yudi.
Kesimpulannya kata Yudi, pemerintah harus menyiapkan program-program yang bertujuan untuk pemulihan ekonomi dari sektor perikanan dengan cepat, kedua program-program yang berdasarkan pada distribusi kesejahteraan yang merata, dan ketiga program-program yang bisa menjaga keberlanjutan sumber daya alam.
“Ketiga itu saja percepatan pemulihan ekonomi, distribusi hasil ekonomi secara adil dan merata, dan ketiga keberlanjutan artinya lingkungan ekosistem terjaga. Kalau bisa demikian industi perikanan akan maju", demikian pungkas Dokter Marine Biogeochemistry, Christian Albrechts Universitaet zu Kiel, Germany. (Asep GP - Anto Ramadhan)***
Yudi Nurul Ihsan : Perikanan Sebagai Kunci Pemulihan Ekonomi Yang Tepat Di Masa Krisis Pandemi
Posted by
Tatarjabar.com on Monday, November 30, 2020
Ngawangkong atau ngobrol tentang kekayaan laut Indonesia dengan Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unpad, Dr. sc. agr. Yudi Nurul Ihsan, S.Pi., M.Si, suatu sore di kampus Unpad, menjadikan hati kembali optimis menatap jauh ke depan. Kelak Indonesia bisa kembali sejahtera dan berjaya, juga bisa keluar dari krisis akibat pandemi Covid-19. Pak Dekan mengingatkan kita bahwa Indonesia adalah Negara Maritim terluas di dunia dengan potensi perikanan dan kelautan yang paling besar di dunia.
Indonesia memang merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia dengan 2/3 wilayahnya merupakan wilayah lautan.
Sebagai Negara kepulauan yang utuh sesuai dengan Bab IV UNCLOS 1982 atau ketetapan Konvensi Hukum Laut PBB, dengan luas laut yang begitu besar terdiri dari luas Perairan Nusantara 3,1 juta km2 ditambah dengan kawasan Zone Ekonomi Ekslusif seluas 2,7 juta km2 (RI, 2003), sehingga Luas Total Perairannya menjadi sekitar 5,8 juta km2 serta memiliki Panjang Garis Pantai sekitar 81.000 km, membuat potensi maritim Indonesia sangat beragam dan kekayaan maritim yang melimpah ruah ini milik bangsa kita.
Termasuk milik para nelayan kecil yang menangkap benur atau benih lobster. Kebetulan tentang benur ini terkait dengan kejadian yang sedang hangat sekarang yaitu OTT KPK terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo terkait izin ekspor benih lobster/benur.
Terkait dengan hal ini, menurut Yudi Nurul Ihsan, dari sisi kebijakan sebetulnya usaha nelayan untuk menangkap benih lobster itu tidak salah dan perlu diapresiasi. Jadi menurut Yudi, Permen No. 12 Tahun 2020 yang menggantikan permen sebelumnya di zaman Menteri Susi, itu adalah kebijakan yang progresif di zaman Menteri Edhy Prabowo.
“Kenapa? Di zaman Bu Susi ada peraturan menteri yang melarang penangkapan benur lobster, jadi jangan kan mengekspor dan membesarkan lobster, menangkap benur saja dilarang. Kemudian ketika Pa Edi jadi menteri keluar permen baru yang membolehkan nelayan menangkap benur lobster karena di kita banyak nelayan yang menggantungkan kehidupannya menangkap lobster, jadi waktu zaman Bu Susi banyak nelayan yang kehilangan mata pencahariannya“, kata Yudi.
Hasil Keramba Unpad di Pangandaran |
Nah, apakah penangkapan benur lobster itu akan mengganggu ekologi atau tidak? Kalau kita atur dengan aturan bagus dengan menerapkan sistem kuota penangkapan itu tidak masalah dan kata Yudi, lobster ini di Indonesia istimewa, karena Indonesia menjadi pusat lobster dunia. Dengan wilayahnya yang sangat stategis Indonesia menjadi perangkap lobster di alam – umumnya lobster itu memijah (bertelur) di bumi bagian selatan seperti di Australia, Crismast Island.
Lalu, benurnya terbawa arus ke arah utara sampai kemudian masuk ke wilayah perairan kita di wilayah Timur Sumatera dan perairan Selatan Pulau Jawa dan terperangkap di situ. “Jadi kalau mencari benur lobster ya di perairan Indonesia. Vietnam pun berhasil mengembangkan budidaya lobster karena mendapatkan benur dari Indonesia, termasuk semua Negara Asean (Thailand)“, jelas Yudi bangga.
Tapi sampai sekarang belum ada yang menghitung secara pasti berapa populasi/stok benur yang ada di Indonesia. “Tapi secara umum kurang lebih sekitar 4 Miliyar benur/tahun“, imbuhnya.
Jadi kata Yudi, kalau kita membuat peraturan yang membolehkan menangkap benur sekitar 25-50% belum mengganggu populasinya di alam dan seandainya benur lobster tidak diambil nelayan lebih rugi, mereka akan mati baik dimakan ikan dan predator lannya atau mati secara alami. Karena benur survival ratenya (bertahan hidup hingga berkembang biak) di alam sekitar 0,01% kecil sekali, tapi kalau kita ambil lalu dibesarkan itu survival rate nya akan tinggi bisa sampai 50-60%, di Vietnam sudah sampai 60-70%. “Maka idealnya benur lobster itu kita mabil saja dari alam dengan pengaturan kuota tadi kemudian kita budidayakan di dalam negeri, nanti setelah mencapai ukuran konsumsi baru kita ekspor“, paparnya.
Masalahnya karena selama 5 tahun terakhir kita tidak dibolehkan menangkap benur maka studi atau upaya untuk melakukan budidaya lobster tidak ada, sehingga ketika benur itu boleh ditangkap nelayan kita tidak siap untuk membudidayakan. Terakhir di Lombok survival rate budidayanya hanya 30%, itu terlalu kecil sementara di sisi lain nelayan perlu mendapat nilai ekonomi dari benur lobster.
“Nah selama kita belum siap membudidayakan lobster, sambil kita berjalan membangun infrastruktur budidaya lobster, maka Pa Edhy (Edhy Prabowo) membuat kebijakan boleh mengekspor ke Vietnam dengan catatan perusahaan yang mengekspor lobster itu harus membuat persiapan infrastruktur untuk melakukan budidaya di dalam negeri. Di Permen No. 12 Pasal nomer 5 seperti itu. Jadi perusahaan yang mendapat ijin ekspor benur lobster itu adalah perusahaan yang juga menyiapkan infrastruktur budidaya lobster atau yang kedua bisa juga kalau tidak diekspor kita undang investor misalnya dari Vietnam untuk melakukan budidaya di dalam negeri, sekaligus transfer teknologi ke kita dengan kemudahan investasi apalagi ada UU Cipta Kerja itu sangat memungkinkan“, katanya pasti.
Jadi kata Yudi, sekali lagi, dari segi kebijakan tidak ada masalah penangkapan benur itu, bahkan harus diapresiasi karena nelayan mendapat keuntungan dari sumber daya alam yang kita miliki, “Kesalahannya karena nilai ekonominya begitu besar kemudian ada upaya monopoli, kemudian masuk suap dsb, tapi itu kan di luar konteks kebijakan, itu sudah masuk ke ranah individu“, jelasnya.
Vietnam Belajar Budidaya Ikan Dari Orang Sunda
Hal lain di perikanan dan kelautan, dengan pasti Pak Dekan yang tahun 2018 pernah mengumpulkan Ahli Kelautan se-Asia-Pasifik di Bandung ini mengatakan bahwa, Indonesia adalah Negara dengan potensi perikanan dan kelautan terbesar di dunia, bahkan ketika Vietnam baru merdeka, Vietnam belajar membudidayakan ikan itu ke indonesia khususnya ke Jawa Barat.
Syahdan, ketika Vietnam baru merdeka, para ilmuwannya dikumpulkan untuk memberdayakan banyak sungai yang ada di Vietnam agar memberi nilai ekonomi untuk membangun Negara yang baru merdeka. Nah, setelah para ilmuwan Vietnam mengadakan riset, mereka berkesimpuilan bahwa Vietnam harus mengutus ahli perikanannya ke Jawa Barat - Indoesia, karena Jawa Barat berhasil memanfaatkan sungai-sungainya untuk membudidayakan ikan air tawar, sehingga memberikan nilai ekonomi bagi masyarakatnya.
Jadi Orang Vietnam berani jauh-jauh datang ke Jabar untuk belajar membudidayakan ikan mas, nila, gurame, bahkan termasuk belajar kultur orang Sunda. Jadi kalau sekarang kita ke tempat budidaya ikan di Vietnam kita akan melihat sikap keseharian orang-orang Vietnam di sana mirip dengan orang Sunda, mereka someah hade ka semah (ramah kepada tamu/pendatang), dan ketika ditanya kenapa seperti itu, mereka dengan tegas mengatakan karena belajar budaya Sunda. Hebat!
Lalu, benurnya terbawa arus ke arah utara sampai kemudian masuk ke wilayah perairan kita di wilayah Timur Sumatera dan perairan Selatan Pulau Jawa dan terperangkap di situ. “Jadi kalau mencari benur lobster ya di perairan Indonesia. Vietnam pun berhasil mengembangkan budidaya lobster karena mendapatkan benur dari Indonesia, termasuk semua Negara Asean (Thailand)“, jelas Yudi bangga.
Tapi sampai sekarang belum ada yang menghitung secara pasti berapa populasi/stok benur yang ada di Indonesia. “Tapi secara umum kurang lebih sekitar 4 Miliyar benur/tahun“, imbuhnya.
Jadi kata Yudi, kalau kita membuat peraturan yang membolehkan menangkap benur sekitar 25-50% belum mengganggu populasinya di alam dan seandainya benur lobster tidak diambil nelayan lebih rugi, mereka akan mati baik dimakan ikan dan predator lannya atau mati secara alami. Karena benur survival ratenya (bertahan hidup hingga berkembang biak) di alam sekitar 0,01% kecil sekali, tapi kalau kita ambil lalu dibesarkan itu survival rate nya akan tinggi bisa sampai 50-60%, di Vietnam sudah sampai 60-70%. “Maka idealnya benur lobster itu kita mabil saja dari alam dengan pengaturan kuota tadi kemudian kita budidayakan di dalam negeri, nanti setelah mencapai ukuran konsumsi baru kita ekspor“, paparnya.
Masalahnya karena selama 5 tahun terakhir kita tidak dibolehkan menangkap benur maka studi atau upaya untuk melakukan budidaya lobster tidak ada, sehingga ketika benur itu boleh ditangkap nelayan kita tidak siap untuk membudidayakan. Terakhir di Lombok survival rate budidayanya hanya 30%, itu terlalu kecil sementara di sisi lain nelayan perlu mendapat nilai ekonomi dari benur lobster.
“Nah selama kita belum siap membudidayakan lobster, sambil kita berjalan membangun infrastruktur budidaya lobster, maka Pa Edhy (Edhy Prabowo) membuat kebijakan boleh mengekspor ke Vietnam dengan catatan perusahaan yang mengekspor lobster itu harus membuat persiapan infrastruktur untuk melakukan budidaya di dalam negeri. Di Permen No. 12 Pasal nomer 5 seperti itu. Jadi perusahaan yang mendapat ijin ekspor benur lobster itu adalah perusahaan yang juga menyiapkan infrastruktur budidaya lobster atau yang kedua bisa juga kalau tidak diekspor kita undang investor misalnya dari Vietnam untuk melakukan budidaya di dalam negeri, sekaligus transfer teknologi ke kita dengan kemudahan investasi apalagi ada UU Cipta Kerja itu sangat memungkinkan“, katanya pasti.
Jadi kata Yudi, sekali lagi, dari segi kebijakan tidak ada masalah penangkapan benur itu, bahkan harus diapresiasi karena nelayan mendapat keuntungan dari sumber daya alam yang kita miliki, “Kesalahannya karena nilai ekonominya begitu besar kemudian ada upaya monopoli, kemudian masuk suap dsb, tapi itu kan di luar konteks kebijakan, itu sudah masuk ke ranah individu“, jelasnya.
Vietnam Belajar Budidaya Ikan Dari Orang Sunda
Hal lain di perikanan dan kelautan, dengan pasti Pak Dekan yang tahun 2018 pernah mengumpulkan Ahli Kelautan se-Asia-Pasifik di Bandung ini mengatakan bahwa, Indonesia adalah Negara dengan potensi perikanan dan kelautan terbesar di dunia, bahkan ketika Vietnam baru merdeka, Vietnam belajar membudidayakan ikan itu ke indonesia khususnya ke Jawa Barat.
Syahdan, ketika Vietnam baru merdeka, para ilmuwannya dikumpulkan untuk memberdayakan banyak sungai yang ada di Vietnam agar memberi nilai ekonomi untuk membangun Negara yang baru merdeka. Nah, setelah para ilmuwan Vietnam mengadakan riset, mereka berkesimpuilan bahwa Vietnam harus mengutus ahli perikanannya ke Jawa Barat - Indoesia, karena Jawa Barat berhasil memanfaatkan sungai-sungainya untuk membudidayakan ikan air tawar, sehingga memberikan nilai ekonomi bagi masyarakatnya.
Jadi Orang Vietnam berani jauh-jauh datang ke Jabar untuk belajar membudidayakan ikan mas, nila, gurame, bahkan termasuk belajar kultur orang Sunda. Jadi kalau sekarang kita ke tempat budidaya ikan di Vietnam kita akan melihat sikap keseharian orang-orang Vietnam di sana mirip dengan orang Sunda, mereka someah hade ka semah (ramah kepada tamu/pendatang), dan ketika ditanya kenapa seperti itu, mereka dengan tegas mengatakan karena belajar budaya Sunda. Hebat!
Dan setetelah belajar ke kita, ke orang-orang Sunda, Vietnam pernah menjadi Negara pengekspor Ikan Nila terbesar di dunia dan sekarang terbalik, kita yang belajar budidaya ikan ke Vietnam.Sungguh ironis.
“Mereka orang Vietnam itu kuncinya fokus. Setelah tahu bahwa sungai bisa dibudidayakan – fokus terhadap prioritas sampai berhasil. Dan kita mau tidak mau punya pengalaman seperti itu harus membangun industri perikanan yang kuat karena selama 5 tahun terakhir upaya untuk membangun industri perikanan yang kuat itu nyaris tidak ada“, kata Yudi.
Lalu dalam menghadapi pandemi Covid -19, pemerintah perlu pemulihan ekonomi yang tepat. “Saya berani mengatakan bahwa perikanan adalah kunci pemulihan ekonomi khususnya Perikanan Tangkap. Kalau mengandalkan pertanian membutuhkan proses, tanam dulu, memelihara, baru panen itu pun kalau berhasil, di manufaktur juga sama ada proses – tapi kalau perikanan tangkap hari ini nelayan pergi ke laut, hari ini nelayan dapat ikan, hari ini nelayan menjual ikan, hari ini mendapatkan nilai ekonomi. Jadi untuk pemulihan ekonomi yang cepat, pertama harus kita dorong industri perikanan tangkap sesegera mungkin artinya pelabuhan dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang baik kemudian kita kelola dengan sistem intiplasma, jadi kita dorong nelayan kecil untuk menangkap ikan kemudian ada industri besar yang siap menampung hasil tangakapan nelayan kecil. Ini pendekatan model ekonomi kerakyatan harus dikembangkan karena nelayan Indonesia 70% adalah nelayan kecil", jelas Yudi.
Kalau infrastruktur kurang, begitu tangkapannya banyak akan mubazir, karena ikan ini produk yang mudah busuk dan lumbung ikan nasional terutama di di Indonesia Bagian Timur ini perlu dioptimalkan dari mulai armada pengangkut ikannya dari timur ke barat dan ini bisa mendukung program pelautnya Presiden Jokowi.
Setelah perikanan tangkap dioptimalkan baru masuk ke sektor pertanian, perkebunan, kemudian ke perikanan budidaya digenjot, tapi kita tetap harus punya fokus dan prioritas. Kita punya potensi di udang kita genjot perikanan budidaya udang, udang-udang yang premium itu dari kita. Yang kedua, kita juga genjot budidaya lobster, ini memang butuh waktu. Karena kita di lobster tidak siap belum mengarah ke situ, tapi paling tidak di ikan laut kita sudah punya kemampuan membudidayakan Udang Paname. Ketiga, kita membangun industri pengolahan ikan karena ke depan masyakarat itu tren nya frozen food masakan yang siap saji dan ikan itu adalah makanan yang punya nila gizi yang cukup tinggi untuk menambah imunitas, kecerdasan, dsb. Nah kalau kita sudah bisa mendata kemampuan produksi ikan kita dari perikanan tangkap, perikanan budi daya kita bisa menghitung kira-kira kita bisa menyiapkan industri pengolahan ikan sebesar apa. Demikian papar Yudi.
Foto Istimewa |
Kalau itu sudah berhasil, lanjut Yudi, maka nilai tambah dari sektor perikanan akan cukup besar, produk-produk pangan dari Indonesia begitu masuk jepang itu langsung habis, langsung diserap oleh pasar. Kasus ini terjadi di produk udang jadi ada perushaan besar di Indonesia sampai tidak punya produk untuk dijual di dalam negeri karena untuk ekspor saja masih kekurangan bahan baku begitu produk masuk ke jepang itu langsung habis karena kualitasnya cukup bagus.
“Nah kalau kita sudah punya bahan baku cukup kuat dari perikanan budidaya perikanan tangkap, maka industri pengolahan ikan pun akan berkembang cukup baik. Tapi selama ini kita tidak mengarah membangun industri perikanan seperti itu, kita cenderung menjual barang mentah, bahan baku, jadi mengolahnya di luar negeri“, sesalnya.
Jadi kata Yudi, itu akan berhasil kalau kita punya sistem logistik yang baik karena ikan mudah busuk dan kunci dari sistem logistik adalah penyiapan sarana dan prasarana seperti Mesin ABF (Air Blast Freezer) pembeku ikan dan chest freezer - penyimpan ikan. Pelabuhan dilengkapi dengan alat seperti itu membuat produk ikan dari laut, baik perikanan tangkap dan budidaya bisa disimpan berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Dan Alhamdulillah kita sudah punya, kata Yudi.
“Jadi bicara perikan itu tidak hanya lobster saja tapi bagaimana kita membangun industri dari hulu ke hilir, baik itu perikanan tangkap yang harus jadi kunci pemulihan ekonomi, kemudian perikanan budidaya dan hilirnya adalah kita membangun industri pengolahan perikanan karena tren ke depan adalah produk siap saji, frozen food. Itu harus kita siap“, jelas Yudi.
Kesimpulannya kata Yudi, pemerintah harus menyiapkan program-program yang bertujuan untuk pemulihan ekonomi dari sektor perikanan dengan cepat, kedua program-program yang berdasarkan pada distribusi kesejahteraan yang merata, dan ketiga program-program yang bisa menjaga keberlanjutan sumber daya alam.
“Ketiga itu saja percepatan pemulihan ekonomi, distribusi hasil ekonomi secara adil dan merata, dan ketiga keberlanjutan artinya lingkungan ekosistem terjaga. Kalau bisa demikian industi perikanan akan maju", demikian pungkas Dokter Marine Biogeochemistry, Christian Albrechts Universitaet zu Kiel, Germany. (Asep GP - Anto Ramadhan)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment