Home
» Seni Budaya
» Prof. Dr. Setiawan Sabana, MFA : Refleksi Akhir Tahun Garasi Seni 10, Dari Garasi untuk Negeri, Bumi dan Galaksi
Wednesday, December 30, 2020
Prof. Setiawan Sabana -Berkarya Itu Harus Seperti Helaan Nafas |
Tidak jarang orang ingin berkreasi seni harus menyewa tempat atau gedung dengan harga selangit dan birokrasi yang berbelit-belit bahkan harus menunggu berdirinya gedung atau padepokan milik sendiri, tapi tidak untuk Prof. Dr. Setiawan Sabana, Guru Besar FSRD (Fakultas Seni Rupa dan Desain) ITB ini telah berhasil “pok-pek-prak” (bukan hanya wacana saja) menyulap garasi mobilnya menjadi “Bale Rancage” (tempat kreatifitas, tempat berkarya).
Pada tahun 2010, diawali dengan kegiatan Garage Sale yang ditiru dari kebiasaan para mahasiswa di Amerika seusai rampung kuliah menjual barang-barang bekas yang ada di apartemennya, kini kandang mobil di rumahnya yang kecil dan sederhana di Jl. Rebana 10 Turangga Bandung berkat tangan dinginnya terus berkembang, berubah fungsi jadi tempat diskusi, jadi kelas-kelas kegiatan non formal, tempat pergelaran musik, pameran, bazaar, pemutaran film independen, dsb, dan sudah terkenal hingga ke mancanegara.
Seniman, budayawan, akademisi terkenal dari Jawa Barat. Luar Jawa Barat dan Negara Barat pernah hadir di tempat ini. Sebut saja Dodong Kodir (Alm) dengan musik sampahnya yang mendunia, Bambang Sugiharto (Filsafat), Tjetjep Rohendi (akademisi), Cece Sobarna (akademisi FIB Unpad), Hawe Setiawan (budayawan Sunda), Mas Nanu Muda (Bah Nanu, Seniman), Acep Iwan Saidi (Kang Ais), Sarah Anais Andrieu, (Doktor Ilmu Antropologi Sosial dan Etnologi, peneliti Wayang Golek dari Perancis) begitu juga workshop Musik Spanyol, Keroncong Jempol Jentik, Musik Klasik, Pemutaran Film, Tembang Sunda, Jentreng–Tarawangsa Rancakalong Sumedang, dsb, hingga ke anak-anak balita yang berkreasi seni (Garasi Membina Generasi) pernah hadir di tempat ini.
Intinya Garasi Seni makin berkembang bahkan pernah jadi Mazhab Seni Bandung Selatan, sesuai letak Garasi Seni 10 yang berada di kawasan Buahbatu yang menurut Kang Wawan itu dianggap Bandung Selatan dengan batasnya rel kereta api. Karena dulu seni rupa ada di ITB yang terletak di bagian utara Kota Bandung sedangkan Garasi Seni 10 di Selatan dan Selatan dulu tempatnya para pejuang sedang Utara lebih ke Belandis sampai akhirnya jadi mazhab Dari Garasi Untuk Negeri, Bumi, dan Galaksi, dan menarik banyak orang.
Melawan Pandemi Dengan Seni
Sebelas tahun lebih Garasi Seni 10 tak henti mengepakkan sayapnya di jagat seni dengan mottonya yang terkenal, “Dari Garasi Untuk Negeri, Bumi dan Galaksi”, (bermanfaat untuk Negara, Bumi /internasional dan Galaksi/langitan-barokah), tapi kepak sayap itu tak urung harus juga hinggap ketika pandemi Covid-19 datang melanda dunia. Tapi sayap itu tak patah.
Dampak Covid-19 (Virus Corona), memang mengerikan sudah mengancam dan mengganggu aktivitas kehidupan dan penghidupan manusia, bahkan sudah banyak memakan korban jiwa manusia di seantero dunia. Tapi bagi orang-orang kreatif pandemi Corona ini tidak menjadikan halangan untuk melakukan kegiatan kebajikan seperti mengajar, menuntut ilmu, diskusi, berpameran, dan kegiatan lainnya, toh bisa memanfaatkan teknologi digital. Lewat Webinar.
Refleksi Akhir Tahun Garasi Seni |
Begitu juga bagi Prof. Setiawan Sabana semua itu tak jadi halangan untuk tetap aktif dan kreatif, walaupun dalam keadaaan terkurung tak bisa pergi kemana-mana karena pemerintah menerapkan lockdown (warga dilarang masuk ke suatu tempat karena kondisi darurat) atau social distancing (mengurangi ativitas di luar rumah dan interaksi dengan orang lain) untuk memutus rantai penyebaran Covid-19, tapi Guru Besar Seni Rupa ITB ini tetap aktif melakukan kegiatan yang ada tantangannya dan menyegarkan pikiran dan badan, menyibukan diri dengan hal yang positif intinya agar tetap sehat dan tidak stress.
Selain tetap berpameran (virtual), hampir tiap minggu Kang Wawan (sapaan akrabnya) menerima undangan untuk jadi “Pembicara” di webinar, dan dia tak bisa menolak apalagi diundang teman dekat seperti di webinar K-PAS Bandung yang merupakan Komunintas Peduli Anak Spesial (difabel), dimana Kang Wawan disana sebagai Penasehat.
“Pameran virtual seni di masa pandemi ini adalah dalam rangka bergerak, berkreasi terus biar tidak stress, jadi semacam terapi seni, sehingga masing-masing seniman terus berkarya. Sebab berkarya itu kan menyehatkan. Berkarya bersama silaturahim dengan teman-teman, kontak-kontak, yu.. kawan-kawan mari berkarya dalam pameran ini - maka terjadilah langkah-langkah terapeutik”, jelas Kang Wawan.
Lihatlah, memang di masa pandemi ini Kang Wawan semakin ngabret, setelah sukses menggelar Pameran bertajuk “Festival Kertas Sejagat: Semesta Kertas Dalam Renungan”, yang merupakan pameran virtual karya-karya seniman Indonesia lintas keilmuan (interdisiplin) dalam menyikapi kondisi terkini melalui medium kertas, di Garasi Seni 10, Jalan Rebana No. 10 - Turangga, Kota Bandung (10-14/5/2020), Kang Wawan pun pada tanggal 30 Juni 2020, bersama dua pembicara lainnya, Prof. Dr. Inajati Adrisijantiar (Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UGM) dan Drs. Indung Panca Putra, M. Hum (Ka. Subbag TU BPCB DIY) jadi narasumber di diskusi daring “Tantangan Pelestarian Cagar Budaya Masa Kini dan Yang Akan Datang”, yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Pelestarian Cagar Budaya D.I. Yogyakarta, memperingati 107 Tahun Hari Purbakala 14 Juni (1913-2020). Kang Wawan dalam kesempatan itu membedah “Cagar Seni Rupa Tantangannya Hari Ini dan Besok”.
Lalu setelah itu Guru Besar Seni Rupa ITB pun merancang pameran yang berlangsung dalam 3 bulan ke depannya secara berurutan di markas virtual yang sama, Garasi Seni 10.
Kang Wawan, tanggal 16 Agustus 2020 menggelar pameran virtual tentang “Buku Seni”. Temanya “Perjuangan” dikaitkan dengan perjuangan 17 Agustus 1945, tapi tidak hanya dikaitkan dengan semangat perjuangan merebut kemerdekaan saja, tapi perjuangan yang universal, perjuangan hidup, pembangunan, dsb. Pesertanya tercatat 40 orang, dari Bandung, Jakarta, Semarang, Bali, dll.
Selanjutnya pada tanggal 25 Sepetember 2020 – digelar pameran virtual “Kembang Kertas Sejagat Mewangi Nusantara”. Pameran berlangsung selama 2 minggu dan diikuti sekitar 100-an seniman perempuan (seniwati) dari seluruh Nusantara ditambah peserta tamu dari Malaysia, Spanyol dan Jepang yang berbicara tentang Nusantara lewat kembang dengan koordinatornya Dr. Esa Pandanwangi dari Universitas Kristen Maranatha.
Juga pada tanggal 29 Oktober 2020 digelar pameran “Religiuisitas Dalam Seni Rupa Kontemporer Nusantara”. Judulnya merujuk pada kesejarahan Festival Istiqlal tahun 91 dan 95 sebuah pameran besar, festival kebudayaan Indonesia bernafaskan Islam di masa Orde Baru yang diinisiasi oleh Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Joop Ave. Di pameran akbar ini Kang Wawan dipercaya jadi Koordinator Seni Rupa Modern. Di sini juga digelar juga yang sifatnya pertunjukkan, pentas dan seminar-seminar kebudayaan.
Sedianya pameran ini kalau tidak ada pandemi akan berlangsung di Galeri Nasional dari tanggal 21 April hingga 15 Mei 2020, tapi karena ada pandemi urung digelar. Tapi disinilah kelebihan kang Wawan, dengan segala kreativitas dan kecerdasannya membuat jalan seni tidak pernah ada yang terhenti. Buktinya ketika gagal menggelar Festival di Istiqlal karena terhalang Covid-19, dia bersama dua seniman kahot (senior) lainnya, Abdul Djalil Pirous (AD Pirous) dan Arsono serta Hilman Sapriadi (Ketua Pelaksana), berhasil menggelar Festival Istiqlal dalam bentuk baru dengan nama “Religiuisitas Dalam Seni Rupa Kontemporer Nusantara”.
Pameran Virtual yang digelar dari tanggal 29 Oktober – 9 November 2020 ini sukses mewadahi 90-an peserta dari seluruh Nusantara termasuk seniman dari negeri jiran (tetangga).
Kang Wawan juga pada tanggal 22 Desember 2020 diminta untuk jadi pembicara di Webinar Mengenal “Parabot Dapur (Tradisional) Urang Sunda” yang diselenggarakan oleh Museum Sribaduga bersama dua pembicara lainnya Dr. Ade Makmur dan Reni Nuraeni, Ph. D serta moderator Ardi Hardiansyah.
Kang Wawan mengaku, ketika ada tawaran itu sebenarnya mulanya agak ragu – bukan tidak mau, tapi bingung dari sisi apa harus berbicara tentang dapur, ya walau dulu ketika masih suka ke rumah neneknya setahun sekali ke Garut (Karangsari, Leuwigoong - Garut), dia masih bisa menyaksikan bagaimana rupa dapur orang Sunda zaman baheula.
Tapi dasar seniman kahot (kawakan), disamping menyiapkan materi seminar Sang Maestro Kertas ini pun setelah merenung sebentar langsung menyulap dapurnya jadi dapur tradisional zaman dulu. Kebetulan Kang Wawan punya beberapa koleksi Parabot Dapur zaman lawas seperti boboko (bakul nasi), tetenong (wadah tempat menyimpan lauk-pauk yang sudah dimasak), dan bakul tempat jamu-jamu juga hihid (kipas nasi terbuat dari anyaman bambu). “pokonya dapur modern dilatarbelakangi perabot dapur tradisional agar menarik “, jelas Kang Wawan.
Dijelaskan Kang Wawan, parabot dapur dalam seni rupa disebut kerajinan atau Kriya, jadi Kriya Parabot Dapur. Dulu pembuatan perabot dapur lebih banyak di kerjakan secara manual, pekerjaan tangan atau karajinan. Jadi Kang Wawan meninjaunya dari situ, kalau Dr. Ade Makmur lebih ke antropologinya serta Reni Nuraeni, Ph. D (Dosen Telkom University) menceritakan pengalamannya ketika menyaksikan rupa dapur zaman baheula punya eyangnya di kampung.
Jadi yang dibahas Kang Wawan masalah kriyanya bagaimana kriya lahir, kriya itu tergantung kepada lingkungan alam, tergantung pada teknologi sederhana misalnya dibuatnya hanya menggunakan golok lalu dianyam – dibuat dengan perkakas sederhana, namanya kerajinan perabot dapur
Selain tetap berpameran (virtual), hampir tiap minggu Kang Wawan (sapaan akrabnya) menerima undangan untuk jadi “Pembicara” di webinar, dan dia tak bisa menolak apalagi diundang teman dekat seperti di webinar K-PAS Bandung yang merupakan Komunintas Peduli Anak Spesial (difabel), dimana Kang Wawan disana sebagai Penasehat.
“Pameran virtual seni di masa pandemi ini adalah dalam rangka bergerak, berkreasi terus biar tidak stress, jadi semacam terapi seni, sehingga masing-masing seniman terus berkarya. Sebab berkarya itu kan menyehatkan. Berkarya bersama silaturahim dengan teman-teman, kontak-kontak, yu.. kawan-kawan mari berkarya dalam pameran ini - maka terjadilah langkah-langkah terapeutik”, jelas Kang Wawan.
Lihatlah, memang di masa pandemi ini Kang Wawan semakin ngabret, setelah sukses menggelar Pameran bertajuk “Festival Kertas Sejagat: Semesta Kertas Dalam Renungan”, yang merupakan pameran virtual karya-karya seniman Indonesia lintas keilmuan (interdisiplin) dalam menyikapi kondisi terkini melalui medium kertas, di Garasi Seni 10, Jalan Rebana No. 10 - Turangga, Kota Bandung (10-14/5/2020), Kang Wawan pun pada tanggal 30 Juni 2020, bersama dua pembicara lainnya, Prof. Dr. Inajati Adrisijantiar (Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UGM) dan Drs. Indung Panca Putra, M. Hum (Ka. Subbag TU BPCB DIY) jadi narasumber di diskusi daring “Tantangan Pelestarian Cagar Budaya Masa Kini dan Yang Akan Datang”, yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Pelestarian Cagar Budaya D.I. Yogyakarta, memperingati 107 Tahun Hari Purbakala 14 Juni (1913-2020). Kang Wawan dalam kesempatan itu membedah “Cagar Seni Rupa Tantangannya Hari Ini dan Besok”.
Lalu setelah itu Guru Besar Seni Rupa ITB pun merancang pameran yang berlangsung dalam 3 bulan ke depannya secara berurutan di markas virtual yang sama, Garasi Seni 10.
Kang Wawan, tanggal 16 Agustus 2020 menggelar pameran virtual tentang “Buku Seni”. Temanya “Perjuangan” dikaitkan dengan perjuangan 17 Agustus 1945, tapi tidak hanya dikaitkan dengan semangat perjuangan merebut kemerdekaan saja, tapi perjuangan yang universal, perjuangan hidup, pembangunan, dsb. Pesertanya tercatat 40 orang, dari Bandung, Jakarta, Semarang, Bali, dll.
Selanjutnya pada tanggal 25 Sepetember 2020 – digelar pameran virtual “Kembang Kertas Sejagat Mewangi Nusantara”. Pameran berlangsung selama 2 minggu dan diikuti sekitar 100-an seniman perempuan (seniwati) dari seluruh Nusantara ditambah peserta tamu dari Malaysia, Spanyol dan Jepang yang berbicara tentang Nusantara lewat kembang dengan koordinatornya Dr. Esa Pandanwangi dari Universitas Kristen Maranatha.
Juga pada tanggal 29 Oktober 2020 digelar pameran “Religiuisitas Dalam Seni Rupa Kontemporer Nusantara”. Judulnya merujuk pada kesejarahan Festival Istiqlal tahun 91 dan 95 sebuah pameran besar, festival kebudayaan Indonesia bernafaskan Islam di masa Orde Baru yang diinisiasi oleh Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Joop Ave. Di pameran akbar ini Kang Wawan dipercaya jadi Koordinator Seni Rupa Modern. Di sini juga digelar juga yang sifatnya pertunjukkan, pentas dan seminar-seminar kebudayaan.
Sedianya pameran ini kalau tidak ada pandemi akan berlangsung di Galeri Nasional dari tanggal 21 April hingga 15 Mei 2020, tapi karena ada pandemi urung digelar. Tapi disinilah kelebihan kang Wawan, dengan segala kreativitas dan kecerdasannya membuat jalan seni tidak pernah ada yang terhenti. Buktinya ketika gagal menggelar Festival di Istiqlal karena terhalang Covid-19, dia bersama dua seniman kahot (senior) lainnya, Abdul Djalil Pirous (AD Pirous) dan Arsono serta Hilman Sapriadi (Ketua Pelaksana), berhasil menggelar Festival Istiqlal dalam bentuk baru dengan nama “Religiuisitas Dalam Seni Rupa Kontemporer Nusantara”.
Pameran Virtual yang digelar dari tanggal 29 Oktober – 9 November 2020 ini sukses mewadahi 90-an peserta dari seluruh Nusantara termasuk seniman dari negeri jiran (tetangga).
Kang Wawan juga pada tanggal 22 Desember 2020 diminta untuk jadi pembicara di Webinar Mengenal “Parabot Dapur (Tradisional) Urang Sunda” yang diselenggarakan oleh Museum Sribaduga bersama dua pembicara lainnya Dr. Ade Makmur dan Reni Nuraeni, Ph. D serta moderator Ardi Hardiansyah.
Kang Wawan mengaku, ketika ada tawaran itu sebenarnya mulanya agak ragu – bukan tidak mau, tapi bingung dari sisi apa harus berbicara tentang dapur, ya walau dulu ketika masih suka ke rumah neneknya setahun sekali ke Garut (Karangsari, Leuwigoong - Garut), dia masih bisa menyaksikan bagaimana rupa dapur orang Sunda zaman baheula.
Tapi dasar seniman kahot (kawakan), disamping menyiapkan materi seminar Sang Maestro Kertas ini pun setelah merenung sebentar langsung menyulap dapurnya jadi dapur tradisional zaman dulu. Kebetulan Kang Wawan punya beberapa koleksi Parabot Dapur zaman lawas seperti boboko (bakul nasi), tetenong (wadah tempat menyimpan lauk-pauk yang sudah dimasak), dan bakul tempat jamu-jamu juga hihid (kipas nasi terbuat dari anyaman bambu). “pokonya dapur modern dilatarbelakangi perabot dapur tradisional agar menarik “, jelas Kang Wawan.
Dijelaskan Kang Wawan, parabot dapur dalam seni rupa disebut kerajinan atau Kriya, jadi Kriya Parabot Dapur. Dulu pembuatan perabot dapur lebih banyak di kerjakan secara manual, pekerjaan tangan atau karajinan. Jadi Kang Wawan meninjaunya dari situ, kalau Dr. Ade Makmur lebih ke antropologinya serta Reni Nuraeni, Ph. D (Dosen Telkom University) menceritakan pengalamannya ketika menyaksikan rupa dapur zaman baheula punya eyangnya di kampung.
Jadi yang dibahas Kang Wawan masalah kriyanya bagaimana kriya lahir, kriya itu tergantung kepada lingkungan alam, tergantung pada teknologi sederhana misalnya dibuatnya hanya menggunakan golok lalu dianyam – dibuat dengan perkakas sederhana, namanya kerajinan perabot dapur
Spiritualitas Seni Di Garasi Seni 10 |
Diceritakan juga bahwa secara seni itu ada yang disebut desainnya jadi harus fungsional, jadi bukan karya seni dalam arti murni tapi karya kriya atau disebut juga karya desain karena fungsional.
Begitu intinya, terus dicampur dengan informasi “Kemasan Tradisional”. Karena kata kang Wawan yang disebut dapur identik dengan makanan tradisional dan makanan tradisional Sunda kan ada leupeut, kupat, dsb yang terkait dengan perabot tadi.
Terus disebutkan juga Dapur di Masa Pandemi, jadi ruang kreativitas seorang ibu untuk kesehatan suami dan anak supaya tetap sehat, tetap hidup tertib dan berseri.
“Jadi walaupun di masa pandemi Ibu-ibu di dapur tetap menyiapkan makanan sehat dan bergizi agar keluarga sehat, tertib, dan berseri,” katanya pasti.
Refleksi Akhir Tahun
Dan pada akhir tahun 2020 ini Kang Wawan berpikir untuk mengadakan refleksi akhir tahun dengan menggelar diskusi, meminta pandangan atau komentar, kesan dan pesan, penilaian, dan saran ke depan dengan menghadirkan para pembicara yang tahu dan pernah terlibat dalam acara Garasi Seni 10, diantaranya : Prof. Endang Caturwati, Dr. Djuli Djatiprambudi, Dr. Ariesa Pandanwangi, Dr. Nuning Y. Damayanti, Dr. Supriatna, Drs. Hilman Syafriadi, M.Sn, Dr. Ismet Zaenal Effendi dan Kang Wawan sendiri serta moderator Agus Cahyana, M.Sn.
Menurut Endang Caturwati (Guru Besar ISBI Bandung) dalam acara bertopikkan “Berbakti untuk Garasi, Negeri, Bumi, dan Galaksi”, yang digelar Minggu (27/12/2020), Garasi Seni 10 adalah Garasi Multi Aksi yang dikelola oleh Guru Besar Seni Rupa ITB (Prof. Setiawan Sabana/Kang Wawan) yang memiliki komunitas seni dengan berbagai kegiatan yang melibatkan banyak orang untuk menjadi aktif, kreatif, dan produktif.
Kreativitas Kang Wawan, kata Endang, menjadi sumber inspirasi dan energi bagi rekan-rekan dan mahasiswanya. “Dia selalu berpikir kreatif dengan menciptakan berbagai kreativitas,” katanya pasti.
Begitu intinya, terus dicampur dengan informasi “Kemasan Tradisional”. Karena kata kang Wawan yang disebut dapur identik dengan makanan tradisional dan makanan tradisional Sunda kan ada leupeut, kupat, dsb yang terkait dengan perabot tadi.
Terus disebutkan juga Dapur di Masa Pandemi, jadi ruang kreativitas seorang ibu untuk kesehatan suami dan anak supaya tetap sehat, tetap hidup tertib dan berseri.
“Jadi walaupun di masa pandemi Ibu-ibu di dapur tetap menyiapkan makanan sehat dan bergizi agar keluarga sehat, tertib, dan berseri,” katanya pasti.
Refleksi Akhir Tahun
Dan pada akhir tahun 2020 ini Kang Wawan berpikir untuk mengadakan refleksi akhir tahun dengan menggelar diskusi, meminta pandangan atau komentar, kesan dan pesan, penilaian, dan saran ke depan dengan menghadirkan para pembicara yang tahu dan pernah terlibat dalam acara Garasi Seni 10, diantaranya : Prof. Endang Caturwati, Dr. Djuli Djatiprambudi, Dr. Ariesa Pandanwangi, Dr. Nuning Y. Damayanti, Dr. Supriatna, Drs. Hilman Syafriadi, M.Sn, Dr. Ismet Zaenal Effendi dan Kang Wawan sendiri serta moderator Agus Cahyana, M.Sn.
Menurut Endang Caturwati (Guru Besar ISBI Bandung) dalam acara bertopikkan “Berbakti untuk Garasi, Negeri, Bumi, dan Galaksi”, yang digelar Minggu (27/12/2020), Garasi Seni 10 adalah Garasi Multi Aksi yang dikelola oleh Guru Besar Seni Rupa ITB (Prof. Setiawan Sabana/Kang Wawan) yang memiliki komunitas seni dengan berbagai kegiatan yang melibatkan banyak orang untuk menjadi aktif, kreatif, dan produktif.
Kreativitas Kang Wawan, kata Endang, menjadi sumber inspirasi dan energi bagi rekan-rekan dan mahasiswanya. “Dia selalu berpikir kreatif dengan menciptakan berbagai kreativitas,” katanya pasti.
Rapat pun Bisa Di Atas Meja Pingpong |
Endang juga menyebut Kang Wawan sebagai Begawan Garasi dengan falsafah “Kalau mau jadi besar, maka besarkanlah orang lain”. Kang Wawan telah menemukan dirinya di rumahnya sendiri dengan mengelola garasi menjadi multi fungsi.
Garasi selain untuk tempat mobil, di tangan dinginnya berubah jadi tempat olahraga tenis meja/pingpong, juga ruang diskusi, workshop, pertunjukan dan pameran. Garasi menjadi tempat berkumpulnya berbagai insan seni dari berbagai daerah dan aktivitas kreatif. Garasi adalah ruang multi eksis dan multi aksi serta di masa pandemi Covid-19 menjadi ruang kreativitas bagi semua orang dengan aktivitas beragai kegiatan secara webinar. Demikian kata Endang.
Berkarya itu Harus Seperti Helaan Napas
Ya itulah Profesor Dr, Setiawan Sabana, MFA, itulah Kang Wawan, dosen, seniman, budayawan yang tak pernah diam dalam berkarya dan berdayaguna. Walau usianya di bulan Mei 2021 ini menjelang 70 tahun dia tetap sehat dan bergerak dan akan terus berkarya seperti helaan nafas, selama hayat dikandung badan. Maka tak heran pandemi pun dia lawan dengan seni, sebab berkarya seni menurutnya adalah terapi untuk tetap sehat, bahagia dan berseri.
Kang Wawan pun tak lupa tiap hari berolahraga, di rumahnya ada samsak untuk olahraga tinju, sepeda statis, dia pun bersama istrinya sholat subuh berjalan kaki ke masjid Al-Kautsar yang berjarak sekitar 50 meteran dari rumah, atau sore hari nyetir mobil di sekitar kompleks rumahnya Jalan Rebana 10 Bandung. Yang unik jago pingpong ini punya olahraga ciptaannya sendiri yang bisa dilakukan dengan menggunakan alat apa saja termasuk Alu (Halu alat penumbuk beras), bola-bola kecil untuk melatih motorik jari jemarinya atau merefleksi sendiri.
Garasi selain untuk tempat mobil, di tangan dinginnya berubah jadi tempat olahraga tenis meja/pingpong, juga ruang diskusi, workshop, pertunjukan dan pameran. Garasi menjadi tempat berkumpulnya berbagai insan seni dari berbagai daerah dan aktivitas kreatif. Garasi adalah ruang multi eksis dan multi aksi serta di masa pandemi Covid-19 menjadi ruang kreativitas bagi semua orang dengan aktivitas beragai kegiatan secara webinar. Demikian kata Endang.
Berkarya itu Harus Seperti Helaan Napas
Ya itulah Profesor Dr, Setiawan Sabana, MFA, itulah Kang Wawan, dosen, seniman, budayawan yang tak pernah diam dalam berkarya dan berdayaguna. Walau usianya di bulan Mei 2021 ini menjelang 70 tahun dia tetap sehat dan bergerak dan akan terus berkarya seperti helaan nafas, selama hayat dikandung badan. Maka tak heran pandemi pun dia lawan dengan seni, sebab berkarya seni menurutnya adalah terapi untuk tetap sehat, bahagia dan berseri.
Kang Wawan pun tak lupa tiap hari berolahraga, di rumahnya ada samsak untuk olahraga tinju, sepeda statis, dia pun bersama istrinya sholat subuh berjalan kaki ke masjid Al-Kautsar yang berjarak sekitar 50 meteran dari rumah, atau sore hari nyetir mobil di sekitar kompleks rumahnya Jalan Rebana 10 Bandung. Yang unik jago pingpong ini punya olahraga ciptaannya sendiri yang bisa dilakukan dengan menggunakan alat apa saja termasuk Alu (Halu alat penumbuk beras), bola-bola kecil untuk melatih motorik jari jemarinya atau merefleksi sendiri.
Kembang Kertas Sejagat Mewangi Nusantara Pameran bersama Sang istri |
Maka tak heran Kang Wawan tetap sehat dan bugar bahkan selama pandemi ini dia telah melahirkan 8 Sarjana Program Doktoral (S3), karena kegiatannya membimbing mahasiswa berjalan terus baik di kampus atau secara webinar hampir di segala waktu, pagi, siang dan sore bahkan hingga malam hari. Malah ada mahasiswa bimbingannya yang datang ke rumah untuk konsultasi Disertasi, tapi tentu saja dengan standar protokol kesehatan. Untuk menjaga kemungkinan.
“Kegiatan seni saya akan terus berlangsung dugi ka teu walakaya (hingga tidak berdaya). “Berkarya Itu Harus Seperti Helaan Nafas” – dugi ka teu walakaya- Berhenti kalau kita mati!”, demikian katanya pasti.
Dia juga mengajak, kita harus berusaha agar bisa berkontribusi menyumbangkan pangaweruh (Ilmu Pengetahuan. Kabisa) kita dalam bidang masing-masing kepada siapa pun sebagai amal.
“Intinya kita hidup itu harus bergerak lahir dan bathin, dunia – akhirat, jadi pikiran pun kalau dipakai terus, merancang ke depan, tidak akan kena penyakit pikun, tapi sebaliknya akan melahirkan sesuatu yang bermanfaat untuk kebajikan dan kita pun akan tetap sehat dan berseri karena hidup mendapat barokah dari Illahi”. Tutupnya. (Asep GP)***
Tatarjabar.com
December 30, 2020
CB Blogger
Indonesia“Kegiatan seni saya akan terus berlangsung dugi ka teu walakaya (hingga tidak berdaya). “Berkarya Itu Harus Seperti Helaan Nafas” – dugi ka teu walakaya- Berhenti kalau kita mati!”, demikian katanya pasti.
Dia juga mengajak, kita harus berusaha agar bisa berkontribusi menyumbangkan pangaweruh (Ilmu Pengetahuan. Kabisa) kita dalam bidang masing-masing kepada siapa pun sebagai amal.
“Intinya kita hidup itu harus bergerak lahir dan bathin, dunia – akhirat, jadi pikiran pun kalau dipakai terus, merancang ke depan, tidak akan kena penyakit pikun, tapi sebaliknya akan melahirkan sesuatu yang bermanfaat untuk kebajikan dan kita pun akan tetap sehat dan berseri karena hidup mendapat barokah dari Illahi”. Tutupnya. (Asep GP)***
Prof. Dr. Setiawan Sabana, MFA : Refleksi Akhir Tahun Garasi Seni 10, Dari Garasi untuk Negeri, Bumi dan Galaksi
Posted by
Tatarjabar.com on Wednesday, December 30, 2020
Prof. Setiawan Sabana -Berkarya Itu Harus Seperti Helaan Nafas |
Tidak jarang orang ingin berkreasi seni harus menyewa tempat atau gedung dengan harga selangit dan birokrasi yang berbelit-belit bahkan harus menunggu berdirinya gedung atau padepokan milik sendiri, tapi tidak untuk Prof. Dr. Setiawan Sabana, Guru Besar FSRD (Fakultas Seni Rupa dan Desain) ITB ini telah berhasil “pok-pek-prak” (bukan hanya wacana saja) menyulap garasi mobilnya menjadi “Bale Rancage” (tempat kreatifitas, tempat berkarya).
Pada tahun 2010, diawali dengan kegiatan Garage Sale yang ditiru dari kebiasaan para mahasiswa di Amerika seusai rampung kuliah menjual barang-barang bekas yang ada di apartemennya, kini kandang mobil di rumahnya yang kecil dan sederhana di Jl. Rebana 10 Turangga Bandung berkat tangan dinginnya terus berkembang, berubah fungsi jadi tempat diskusi, jadi kelas-kelas kegiatan non formal, tempat pergelaran musik, pameran, bazaar, pemutaran film independen, dsb, dan sudah terkenal hingga ke mancanegara.
Seniman, budayawan, akademisi terkenal dari Jawa Barat. Luar Jawa Barat dan Negara Barat pernah hadir di tempat ini. Sebut saja Dodong Kodir (Alm) dengan musik sampahnya yang mendunia, Bambang Sugiharto (Filsafat), Tjetjep Rohendi (akademisi), Cece Sobarna (akademisi FIB Unpad), Hawe Setiawan (budayawan Sunda), Mas Nanu Muda (Bah Nanu, Seniman), Acep Iwan Saidi (Kang Ais), Sarah Anais Andrieu, (Doktor Ilmu Antropologi Sosial dan Etnologi, peneliti Wayang Golek dari Perancis) begitu juga workshop Musik Spanyol, Keroncong Jempol Jentik, Musik Klasik, Pemutaran Film, Tembang Sunda, Jentreng–Tarawangsa Rancakalong Sumedang, dsb, hingga ke anak-anak balita yang berkreasi seni (Garasi Membina Generasi) pernah hadir di tempat ini.
Intinya Garasi Seni makin berkembang bahkan pernah jadi Mazhab Seni Bandung Selatan, sesuai letak Garasi Seni 10 yang berada di kawasan Buahbatu yang menurut Kang Wawan itu dianggap Bandung Selatan dengan batasnya rel kereta api. Karena dulu seni rupa ada di ITB yang terletak di bagian utara Kota Bandung sedangkan Garasi Seni 10 di Selatan dan Selatan dulu tempatnya para pejuang sedang Utara lebih ke Belandis sampai akhirnya jadi mazhab Dari Garasi Untuk Negeri, Bumi, dan Galaksi, dan menarik banyak orang.
Melawan Pandemi Dengan Seni
Sebelas tahun lebih Garasi Seni 10 tak henti mengepakkan sayapnya di jagat seni dengan mottonya yang terkenal, “Dari Garasi Untuk Negeri, Bumi dan Galaksi”, (bermanfaat untuk Negara, Bumi /internasional dan Galaksi/langitan-barokah), tapi kepak sayap itu tak urung harus juga hinggap ketika pandemi Covid-19 datang melanda dunia. Tapi sayap itu tak patah.
Dampak Covid-19 (Virus Corona), memang mengerikan sudah mengancam dan mengganggu aktivitas kehidupan dan penghidupan manusia, bahkan sudah banyak memakan korban jiwa manusia di seantero dunia. Tapi bagi orang-orang kreatif pandemi Corona ini tidak menjadikan halangan untuk melakukan kegiatan kebajikan seperti mengajar, menuntut ilmu, diskusi, berpameran, dan kegiatan lainnya, toh bisa memanfaatkan teknologi digital. Lewat Webinar.
Refleksi Akhir Tahun Garasi Seni |
Begitu juga bagi Prof. Setiawan Sabana semua itu tak jadi halangan untuk tetap aktif dan kreatif, walaupun dalam keadaaan terkurung tak bisa pergi kemana-mana karena pemerintah menerapkan lockdown (warga dilarang masuk ke suatu tempat karena kondisi darurat) atau social distancing (mengurangi ativitas di luar rumah dan interaksi dengan orang lain) untuk memutus rantai penyebaran Covid-19, tapi Guru Besar Seni Rupa ITB ini tetap aktif melakukan kegiatan yang ada tantangannya dan menyegarkan pikiran dan badan, menyibukan diri dengan hal yang positif intinya agar tetap sehat dan tidak stress.
Selain tetap berpameran (virtual), hampir tiap minggu Kang Wawan (sapaan akrabnya) menerima undangan untuk jadi “Pembicara” di webinar, dan dia tak bisa menolak apalagi diundang teman dekat seperti di webinar K-PAS Bandung yang merupakan Komunintas Peduli Anak Spesial (difabel), dimana Kang Wawan disana sebagai Penasehat.
“Pameran virtual seni di masa pandemi ini adalah dalam rangka bergerak, berkreasi terus biar tidak stress, jadi semacam terapi seni, sehingga masing-masing seniman terus berkarya. Sebab berkarya itu kan menyehatkan. Berkarya bersama silaturahim dengan teman-teman, kontak-kontak, yu.. kawan-kawan mari berkarya dalam pameran ini - maka terjadilah langkah-langkah terapeutik”, jelas Kang Wawan.
Lihatlah, memang di masa pandemi ini Kang Wawan semakin ngabret, setelah sukses menggelar Pameran bertajuk “Festival Kertas Sejagat: Semesta Kertas Dalam Renungan”, yang merupakan pameran virtual karya-karya seniman Indonesia lintas keilmuan (interdisiplin) dalam menyikapi kondisi terkini melalui medium kertas, di Garasi Seni 10, Jalan Rebana No. 10 - Turangga, Kota Bandung (10-14/5/2020), Kang Wawan pun pada tanggal 30 Juni 2020, bersama dua pembicara lainnya, Prof. Dr. Inajati Adrisijantiar (Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UGM) dan Drs. Indung Panca Putra, M. Hum (Ka. Subbag TU BPCB DIY) jadi narasumber di diskusi daring “Tantangan Pelestarian Cagar Budaya Masa Kini dan Yang Akan Datang”, yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Pelestarian Cagar Budaya D.I. Yogyakarta, memperingati 107 Tahun Hari Purbakala 14 Juni (1913-2020). Kang Wawan dalam kesempatan itu membedah “Cagar Seni Rupa Tantangannya Hari Ini dan Besok”.
Lalu setelah itu Guru Besar Seni Rupa ITB pun merancang pameran yang berlangsung dalam 3 bulan ke depannya secara berurutan di markas virtual yang sama, Garasi Seni 10.
Kang Wawan, tanggal 16 Agustus 2020 menggelar pameran virtual tentang “Buku Seni”. Temanya “Perjuangan” dikaitkan dengan perjuangan 17 Agustus 1945, tapi tidak hanya dikaitkan dengan semangat perjuangan merebut kemerdekaan saja, tapi perjuangan yang universal, perjuangan hidup, pembangunan, dsb. Pesertanya tercatat 40 orang, dari Bandung, Jakarta, Semarang, Bali, dll.
Selanjutnya pada tanggal 25 Sepetember 2020 – digelar pameran virtual “Kembang Kertas Sejagat Mewangi Nusantara”. Pameran berlangsung selama 2 minggu dan diikuti sekitar 100-an seniman perempuan (seniwati) dari seluruh Nusantara ditambah peserta tamu dari Malaysia, Spanyol dan Jepang yang berbicara tentang Nusantara lewat kembang dengan koordinatornya Dr. Esa Pandanwangi dari Universitas Kristen Maranatha.
Juga pada tanggal 29 Oktober 2020 digelar pameran “Religiuisitas Dalam Seni Rupa Kontemporer Nusantara”. Judulnya merujuk pada kesejarahan Festival Istiqlal tahun 91 dan 95 sebuah pameran besar, festival kebudayaan Indonesia bernafaskan Islam di masa Orde Baru yang diinisiasi oleh Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Joop Ave. Di pameran akbar ini Kang Wawan dipercaya jadi Koordinator Seni Rupa Modern. Di sini juga digelar juga yang sifatnya pertunjukkan, pentas dan seminar-seminar kebudayaan.
Sedianya pameran ini kalau tidak ada pandemi akan berlangsung di Galeri Nasional dari tanggal 21 April hingga 15 Mei 2020, tapi karena ada pandemi urung digelar. Tapi disinilah kelebihan kang Wawan, dengan segala kreativitas dan kecerdasannya membuat jalan seni tidak pernah ada yang terhenti. Buktinya ketika gagal menggelar Festival di Istiqlal karena terhalang Covid-19, dia bersama dua seniman kahot (senior) lainnya, Abdul Djalil Pirous (AD Pirous) dan Arsono serta Hilman Sapriadi (Ketua Pelaksana), berhasil menggelar Festival Istiqlal dalam bentuk baru dengan nama “Religiuisitas Dalam Seni Rupa Kontemporer Nusantara”.
Pameran Virtual yang digelar dari tanggal 29 Oktober – 9 November 2020 ini sukses mewadahi 90-an peserta dari seluruh Nusantara termasuk seniman dari negeri jiran (tetangga).
Kang Wawan juga pada tanggal 22 Desember 2020 diminta untuk jadi pembicara di Webinar Mengenal “Parabot Dapur (Tradisional) Urang Sunda” yang diselenggarakan oleh Museum Sribaduga bersama dua pembicara lainnya Dr. Ade Makmur dan Reni Nuraeni, Ph. D serta moderator Ardi Hardiansyah.
Kang Wawan mengaku, ketika ada tawaran itu sebenarnya mulanya agak ragu – bukan tidak mau, tapi bingung dari sisi apa harus berbicara tentang dapur, ya walau dulu ketika masih suka ke rumah neneknya setahun sekali ke Garut (Karangsari, Leuwigoong - Garut), dia masih bisa menyaksikan bagaimana rupa dapur orang Sunda zaman baheula.
Tapi dasar seniman kahot (kawakan), disamping menyiapkan materi seminar Sang Maestro Kertas ini pun setelah merenung sebentar langsung menyulap dapurnya jadi dapur tradisional zaman dulu. Kebetulan Kang Wawan punya beberapa koleksi Parabot Dapur zaman lawas seperti boboko (bakul nasi), tetenong (wadah tempat menyimpan lauk-pauk yang sudah dimasak), dan bakul tempat jamu-jamu juga hihid (kipas nasi terbuat dari anyaman bambu). “pokonya dapur modern dilatarbelakangi perabot dapur tradisional agar menarik “, jelas Kang Wawan.
Dijelaskan Kang Wawan, parabot dapur dalam seni rupa disebut kerajinan atau Kriya, jadi Kriya Parabot Dapur. Dulu pembuatan perabot dapur lebih banyak di kerjakan secara manual, pekerjaan tangan atau karajinan. Jadi Kang Wawan meninjaunya dari situ, kalau Dr. Ade Makmur lebih ke antropologinya serta Reni Nuraeni, Ph. D (Dosen Telkom University) menceritakan pengalamannya ketika menyaksikan rupa dapur zaman baheula punya eyangnya di kampung.
Jadi yang dibahas Kang Wawan masalah kriyanya bagaimana kriya lahir, kriya itu tergantung kepada lingkungan alam, tergantung pada teknologi sederhana misalnya dibuatnya hanya menggunakan golok lalu dianyam – dibuat dengan perkakas sederhana, namanya kerajinan perabot dapur
Selain tetap berpameran (virtual), hampir tiap minggu Kang Wawan (sapaan akrabnya) menerima undangan untuk jadi “Pembicara” di webinar, dan dia tak bisa menolak apalagi diundang teman dekat seperti di webinar K-PAS Bandung yang merupakan Komunintas Peduli Anak Spesial (difabel), dimana Kang Wawan disana sebagai Penasehat.
“Pameran virtual seni di masa pandemi ini adalah dalam rangka bergerak, berkreasi terus biar tidak stress, jadi semacam terapi seni, sehingga masing-masing seniman terus berkarya. Sebab berkarya itu kan menyehatkan. Berkarya bersama silaturahim dengan teman-teman, kontak-kontak, yu.. kawan-kawan mari berkarya dalam pameran ini - maka terjadilah langkah-langkah terapeutik”, jelas Kang Wawan.
Lihatlah, memang di masa pandemi ini Kang Wawan semakin ngabret, setelah sukses menggelar Pameran bertajuk “Festival Kertas Sejagat: Semesta Kertas Dalam Renungan”, yang merupakan pameran virtual karya-karya seniman Indonesia lintas keilmuan (interdisiplin) dalam menyikapi kondisi terkini melalui medium kertas, di Garasi Seni 10, Jalan Rebana No. 10 - Turangga, Kota Bandung (10-14/5/2020), Kang Wawan pun pada tanggal 30 Juni 2020, bersama dua pembicara lainnya, Prof. Dr. Inajati Adrisijantiar (Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UGM) dan Drs. Indung Panca Putra, M. Hum (Ka. Subbag TU BPCB DIY) jadi narasumber di diskusi daring “Tantangan Pelestarian Cagar Budaya Masa Kini dan Yang Akan Datang”, yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Pelestarian Cagar Budaya D.I. Yogyakarta, memperingati 107 Tahun Hari Purbakala 14 Juni (1913-2020). Kang Wawan dalam kesempatan itu membedah “Cagar Seni Rupa Tantangannya Hari Ini dan Besok”.
Lalu setelah itu Guru Besar Seni Rupa ITB pun merancang pameran yang berlangsung dalam 3 bulan ke depannya secara berurutan di markas virtual yang sama, Garasi Seni 10.
Kang Wawan, tanggal 16 Agustus 2020 menggelar pameran virtual tentang “Buku Seni”. Temanya “Perjuangan” dikaitkan dengan perjuangan 17 Agustus 1945, tapi tidak hanya dikaitkan dengan semangat perjuangan merebut kemerdekaan saja, tapi perjuangan yang universal, perjuangan hidup, pembangunan, dsb. Pesertanya tercatat 40 orang, dari Bandung, Jakarta, Semarang, Bali, dll.
Selanjutnya pada tanggal 25 Sepetember 2020 – digelar pameran virtual “Kembang Kertas Sejagat Mewangi Nusantara”. Pameran berlangsung selama 2 minggu dan diikuti sekitar 100-an seniman perempuan (seniwati) dari seluruh Nusantara ditambah peserta tamu dari Malaysia, Spanyol dan Jepang yang berbicara tentang Nusantara lewat kembang dengan koordinatornya Dr. Esa Pandanwangi dari Universitas Kristen Maranatha.
Juga pada tanggal 29 Oktober 2020 digelar pameran “Religiuisitas Dalam Seni Rupa Kontemporer Nusantara”. Judulnya merujuk pada kesejarahan Festival Istiqlal tahun 91 dan 95 sebuah pameran besar, festival kebudayaan Indonesia bernafaskan Islam di masa Orde Baru yang diinisiasi oleh Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Joop Ave. Di pameran akbar ini Kang Wawan dipercaya jadi Koordinator Seni Rupa Modern. Di sini juga digelar juga yang sifatnya pertunjukkan, pentas dan seminar-seminar kebudayaan.
Sedianya pameran ini kalau tidak ada pandemi akan berlangsung di Galeri Nasional dari tanggal 21 April hingga 15 Mei 2020, tapi karena ada pandemi urung digelar. Tapi disinilah kelebihan kang Wawan, dengan segala kreativitas dan kecerdasannya membuat jalan seni tidak pernah ada yang terhenti. Buktinya ketika gagal menggelar Festival di Istiqlal karena terhalang Covid-19, dia bersama dua seniman kahot (senior) lainnya, Abdul Djalil Pirous (AD Pirous) dan Arsono serta Hilman Sapriadi (Ketua Pelaksana), berhasil menggelar Festival Istiqlal dalam bentuk baru dengan nama “Religiuisitas Dalam Seni Rupa Kontemporer Nusantara”.
Pameran Virtual yang digelar dari tanggal 29 Oktober – 9 November 2020 ini sukses mewadahi 90-an peserta dari seluruh Nusantara termasuk seniman dari negeri jiran (tetangga).
Kang Wawan juga pada tanggal 22 Desember 2020 diminta untuk jadi pembicara di Webinar Mengenal “Parabot Dapur (Tradisional) Urang Sunda” yang diselenggarakan oleh Museum Sribaduga bersama dua pembicara lainnya Dr. Ade Makmur dan Reni Nuraeni, Ph. D serta moderator Ardi Hardiansyah.
Kang Wawan mengaku, ketika ada tawaran itu sebenarnya mulanya agak ragu – bukan tidak mau, tapi bingung dari sisi apa harus berbicara tentang dapur, ya walau dulu ketika masih suka ke rumah neneknya setahun sekali ke Garut (Karangsari, Leuwigoong - Garut), dia masih bisa menyaksikan bagaimana rupa dapur orang Sunda zaman baheula.
Tapi dasar seniman kahot (kawakan), disamping menyiapkan materi seminar Sang Maestro Kertas ini pun setelah merenung sebentar langsung menyulap dapurnya jadi dapur tradisional zaman dulu. Kebetulan Kang Wawan punya beberapa koleksi Parabot Dapur zaman lawas seperti boboko (bakul nasi), tetenong (wadah tempat menyimpan lauk-pauk yang sudah dimasak), dan bakul tempat jamu-jamu juga hihid (kipas nasi terbuat dari anyaman bambu). “pokonya dapur modern dilatarbelakangi perabot dapur tradisional agar menarik “, jelas Kang Wawan.
Dijelaskan Kang Wawan, parabot dapur dalam seni rupa disebut kerajinan atau Kriya, jadi Kriya Parabot Dapur. Dulu pembuatan perabot dapur lebih banyak di kerjakan secara manual, pekerjaan tangan atau karajinan. Jadi Kang Wawan meninjaunya dari situ, kalau Dr. Ade Makmur lebih ke antropologinya serta Reni Nuraeni, Ph. D (Dosen Telkom University) menceritakan pengalamannya ketika menyaksikan rupa dapur zaman baheula punya eyangnya di kampung.
Jadi yang dibahas Kang Wawan masalah kriyanya bagaimana kriya lahir, kriya itu tergantung kepada lingkungan alam, tergantung pada teknologi sederhana misalnya dibuatnya hanya menggunakan golok lalu dianyam – dibuat dengan perkakas sederhana, namanya kerajinan perabot dapur
Spiritualitas Seni Di Garasi Seni 10 |
Diceritakan juga bahwa secara seni itu ada yang disebut desainnya jadi harus fungsional, jadi bukan karya seni dalam arti murni tapi karya kriya atau disebut juga karya desain karena fungsional.
Begitu intinya, terus dicampur dengan informasi “Kemasan Tradisional”. Karena kata kang Wawan yang disebut dapur identik dengan makanan tradisional dan makanan tradisional Sunda kan ada leupeut, kupat, dsb yang terkait dengan perabot tadi.
Terus disebutkan juga Dapur di Masa Pandemi, jadi ruang kreativitas seorang ibu untuk kesehatan suami dan anak supaya tetap sehat, tetap hidup tertib dan berseri.
“Jadi walaupun di masa pandemi Ibu-ibu di dapur tetap menyiapkan makanan sehat dan bergizi agar keluarga sehat, tertib, dan berseri,” katanya pasti.
Refleksi Akhir Tahun
Dan pada akhir tahun 2020 ini Kang Wawan berpikir untuk mengadakan refleksi akhir tahun dengan menggelar diskusi, meminta pandangan atau komentar, kesan dan pesan, penilaian, dan saran ke depan dengan menghadirkan para pembicara yang tahu dan pernah terlibat dalam acara Garasi Seni 10, diantaranya : Prof. Endang Caturwati, Dr. Djuli Djatiprambudi, Dr. Ariesa Pandanwangi, Dr. Nuning Y. Damayanti, Dr. Supriatna, Drs. Hilman Syafriadi, M.Sn, Dr. Ismet Zaenal Effendi dan Kang Wawan sendiri serta moderator Agus Cahyana, M.Sn.
Menurut Endang Caturwati (Guru Besar ISBI Bandung) dalam acara bertopikkan “Berbakti untuk Garasi, Negeri, Bumi, dan Galaksi”, yang digelar Minggu (27/12/2020), Garasi Seni 10 adalah Garasi Multi Aksi yang dikelola oleh Guru Besar Seni Rupa ITB (Prof. Setiawan Sabana/Kang Wawan) yang memiliki komunitas seni dengan berbagai kegiatan yang melibatkan banyak orang untuk menjadi aktif, kreatif, dan produktif.
Kreativitas Kang Wawan, kata Endang, menjadi sumber inspirasi dan energi bagi rekan-rekan dan mahasiswanya. “Dia selalu berpikir kreatif dengan menciptakan berbagai kreativitas,” katanya pasti.
Begitu intinya, terus dicampur dengan informasi “Kemasan Tradisional”. Karena kata kang Wawan yang disebut dapur identik dengan makanan tradisional dan makanan tradisional Sunda kan ada leupeut, kupat, dsb yang terkait dengan perabot tadi.
Terus disebutkan juga Dapur di Masa Pandemi, jadi ruang kreativitas seorang ibu untuk kesehatan suami dan anak supaya tetap sehat, tetap hidup tertib dan berseri.
“Jadi walaupun di masa pandemi Ibu-ibu di dapur tetap menyiapkan makanan sehat dan bergizi agar keluarga sehat, tertib, dan berseri,” katanya pasti.
Refleksi Akhir Tahun
Dan pada akhir tahun 2020 ini Kang Wawan berpikir untuk mengadakan refleksi akhir tahun dengan menggelar diskusi, meminta pandangan atau komentar, kesan dan pesan, penilaian, dan saran ke depan dengan menghadirkan para pembicara yang tahu dan pernah terlibat dalam acara Garasi Seni 10, diantaranya : Prof. Endang Caturwati, Dr. Djuli Djatiprambudi, Dr. Ariesa Pandanwangi, Dr. Nuning Y. Damayanti, Dr. Supriatna, Drs. Hilman Syafriadi, M.Sn, Dr. Ismet Zaenal Effendi dan Kang Wawan sendiri serta moderator Agus Cahyana, M.Sn.
Menurut Endang Caturwati (Guru Besar ISBI Bandung) dalam acara bertopikkan “Berbakti untuk Garasi, Negeri, Bumi, dan Galaksi”, yang digelar Minggu (27/12/2020), Garasi Seni 10 adalah Garasi Multi Aksi yang dikelola oleh Guru Besar Seni Rupa ITB (Prof. Setiawan Sabana/Kang Wawan) yang memiliki komunitas seni dengan berbagai kegiatan yang melibatkan banyak orang untuk menjadi aktif, kreatif, dan produktif.
Kreativitas Kang Wawan, kata Endang, menjadi sumber inspirasi dan energi bagi rekan-rekan dan mahasiswanya. “Dia selalu berpikir kreatif dengan menciptakan berbagai kreativitas,” katanya pasti.
Rapat pun Bisa Di Atas Meja Pingpong |
Endang juga menyebut Kang Wawan sebagai Begawan Garasi dengan falsafah “Kalau mau jadi besar, maka besarkanlah orang lain”. Kang Wawan telah menemukan dirinya di rumahnya sendiri dengan mengelola garasi menjadi multi fungsi.
Garasi selain untuk tempat mobil, di tangan dinginnya berubah jadi tempat olahraga tenis meja/pingpong, juga ruang diskusi, workshop, pertunjukan dan pameran. Garasi menjadi tempat berkumpulnya berbagai insan seni dari berbagai daerah dan aktivitas kreatif. Garasi adalah ruang multi eksis dan multi aksi serta di masa pandemi Covid-19 menjadi ruang kreativitas bagi semua orang dengan aktivitas beragai kegiatan secara webinar. Demikian kata Endang.
Berkarya itu Harus Seperti Helaan Napas
Ya itulah Profesor Dr, Setiawan Sabana, MFA, itulah Kang Wawan, dosen, seniman, budayawan yang tak pernah diam dalam berkarya dan berdayaguna. Walau usianya di bulan Mei 2021 ini menjelang 70 tahun dia tetap sehat dan bergerak dan akan terus berkarya seperti helaan nafas, selama hayat dikandung badan. Maka tak heran pandemi pun dia lawan dengan seni, sebab berkarya seni menurutnya adalah terapi untuk tetap sehat, bahagia dan berseri.
Kang Wawan pun tak lupa tiap hari berolahraga, di rumahnya ada samsak untuk olahraga tinju, sepeda statis, dia pun bersama istrinya sholat subuh berjalan kaki ke masjid Al-Kautsar yang berjarak sekitar 50 meteran dari rumah, atau sore hari nyetir mobil di sekitar kompleks rumahnya Jalan Rebana 10 Bandung. Yang unik jago pingpong ini punya olahraga ciptaannya sendiri yang bisa dilakukan dengan menggunakan alat apa saja termasuk Alu (Halu alat penumbuk beras), bola-bola kecil untuk melatih motorik jari jemarinya atau merefleksi sendiri.
Garasi selain untuk tempat mobil, di tangan dinginnya berubah jadi tempat olahraga tenis meja/pingpong, juga ruang diskusi, workshop, pertunjukan dan pameran. Garasi menjadi tempat berkumpulnya berbagai insan seni dari berbagai daerah dan aktivitas kreatif. Garasi adalah ruang multi eksis dan multi aksi serta di masa pandemi Covid-19 menjadi ruang kreativitas bagi semua orang dengan aktivitas beragai kegiatan secara webinar. Demikian kata Endang.
Berkarya itu Harus Seperti Helaan Napas
Ya itulah Profesor Dr, Setiawan Sabana, MFA, itulah Kang Wawan, dosen, seniman, budayawan yang tak pernah diam dalam berkarya dan berdayaguna. Walau usianya di bulan Mei 2021 ini menjelang 70 tahun dia tetap sehat dan bergerak dan akan terus berkarya seperti helaan nafas, selama hayat dikandung badan. Maka tak heran pandemi pun dia lawan dengan seni, sebab berkarya seni menurutnya adalah terapi untuk tetap sehat, bahagia dan berseri.
Kang Wawan pun tak lupa tiap hari berolahraga, di rumahnya ada samsak untuk olahraga tinju, sepeda statis, dia pun bersama istrinya sholat subuh berjalan kaki ke masjid Al-Kautsar yang berjarak sekitar 50 meteran dari rumah, atau sore hari nyetir mobil di sekitar kompleks rumahnya Jalan Rebana 10 Bandung. Yang unik jago pingpong ini punya olahraga ciptaannya sendiri yang bisa dilakukan dengan menggunakan alat apa saja termasuk Alu (Halu alat penumbuk beras), bola-bola kecil untuk melatih motorik jari jemarinya atau merefleksi sendiri.
Kembang Kertas Sejagat Mewangi Nusantara Pameran bersama Sang istri |
Maka tak heran Kang Wawan tetap sehat dan bugar bahkan selama pandemi ini dia telah melahirkan 8 Sarjana Program Doktoral (S3), karena kegiatannya membimbing mahasiswa berjalan terus baik di kampus atau secara webinar hampir di segala waktu, pagi, siang dan sore bahkan hingga malam hari. Malah ada mahasiswa bimbingannya yang datang ke rumah untuk konsultasi Disertasi, tapi tentu saja dengan standar protokol kesehatan. Untuk menjaga kemungkinan.
“Kegiatan seni saya akan terus berlangsung dugi ka teu walakaya (hingga tidak berdaya). “Berkarya Itu Harus Seperti Helaan Nafas” – dugi ka teu walakaya- Berhenti kalau kita mati!”, demikian katanya pasti.
Dia juga mengajak, kita harus berusaha agar bisa berkontribusi menyumbangkan pangaweruh (Ilmu Pengetahuan. Kabisa) kita dalam bidang masing-masing kepada siapa pun sebagai amal.
“Intinya kita hidup itu harus bergerak lahir dan bathin, dunia – akhirat, jadi pikiran pun kalau dipakai terus, merancang ke depan, tidak akan kena penyakit pikun, tapi sebaliknya akan melahirkan sesuatu yang bermanfaat untuk kebajikan dan kita pun akan tetap sehat dan berseri karena hidup mendapat barokah dari Illahi”. Tutupnya. (Asep GP)***
“Kegiatan seni saya akan terus berlangsung dugi ka teu walakaya (hingga tidak berdaya). “Berkarya Itu Harus Seperti Helaan Nafas” – dugi ka teu walakaya- Berhenti kalau kita mati!”, demikian katanya pasti.
Dia juga mengajak, kita harus berusaha agar bisa berkontribusi menyumbangkan pangaweruh (Ilmu Pengetahuan. Kabisa) kita dalam bidang masing-masing kepada siapa pun sebagai amal.
“Intinya kita hidup itu harus bergerak lahir dan bathin, dunia – akhirat, jadi pikiran pun kalau dipakai terus, merancang ke depan, tidak akan kena penyakit pikun, tapi sebaliknya akan melahirkan sesuatu yang bermanfaat untuk kebajikan dan kita pun akan tetap sehat dan berseri karena hidup mendapat barokah dari Illahi”. Tutupnya. (Asep GP)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment