Saturday, January 2, 2021
Refleksi Kebangsaan Akhir Tahun 2020, “Merajut Komitmen Berkearifan Budaya Daerah untuk Kebaikan Bangsa dalam Bingkai NKRI” selesai digelar pada hari Minggu, 27 Desember 2020. Acara yang digagas Panitia Kongres Sunda secara webinar menggunakan aplikasi Zoom dan offline di Hotel Sutan Raja, Soreang Kabupaten Bandung ini berhasil menyedot perhatian dan menghadirkan tokoh-tokoh nasional dan perwakilan berbagai suku bangsa di Nusantara.
Padahal acara penutup dari Sawalamaya Kongres Sunda tahun 2020 ini adalah Pra Kongres Sunda, belum Kongres Sunda. Tapi lihat saja yang hadir di Sutan Raja sungguh melebihi target tempat yang disediakan panitia, hingga panitia cakah-cikih meminta pihak hotel menyediakan kursi tambahan. Tapi tentu saja tuhu pada protokol kesehatan.
Wartawan mencatat diantaranya ada Kang Acil Bimbo hadir di sana, juga Memet Hamdan, Dindin S. Maolani, Robby Maulana (Sundawani Wirabuana), Asep Tutuy Turyana (Presiden Asep-Asep), Gunawan Undang, Annisa Nurazizah (Dewan Kebudayaaan Ciamis), M. Ridlo Eisy, Rakean Agung, Dr. Iwan Natapradja (Ki Dharmasetiawan Natapradja - Padukuhan Pakujajar - Gunung Padang - Ciwidey), Ruyat Sudradjat (Kepala Museum Galuh Pakuan - Ciamis), Dr. Hj. Eni Sumarni, Rd. Dyna, Henni Hernawijaya, Adjie Esa Poetra, Holil Aksan, Yat Rospia Brata (Ketua Dewan Kebudayaan Ciamis sekaligus Rektor Unigal), Dr. Filep Wamafma (DPD RI Provinsi Papua Barat), Asep Maung (Asep Buchori Kurnia), Noery Ispandji Firman (Ketua Umum DPP AMS), dan tentu saja Avi Taufik Hidayat Ketua Kongres Sunda pun hadir, termasuk Nina Kurnia Hikmawati (Sekjen Kongres Sunda), Teh Rita (Bendahara), tak ketinggalan Panitia SC (Ketua Panitia Pengarah) Andri Perkasa Kantaprawira, Wawan Trah Kunci Iman, Danni Sugiri, Asep Acil, Kang Oo serta Asep Samudra, dan banyak lagi.
Sementara yang hadir melalui aplikasi Zoom, ada Ir. AA La Nyalla Mahmud Mattaliti (Ketua DPD RI) sebagai Keynote Speaker. Lalu para Pembicara, Yudi Latif, M.A., Ph.D. (Aliansi Kebangsaan), Sultan Bachtiar Najamudin, S.IP., M.Si. (Wakil Ketua DPD RI), dan Dr. H. Mahyudin, S.T., M.M. (Wakil Ketua DPD RI). Adapun para Penanggap adalah, Gusti Kanjeng Ratu Hemas (Anggota DPD RI Provinsi D.I. Yogyakarta), Prof. Dr. Hj. Sylviana Murni, S.H., M.Si (Ketua Komite III DPD RI/MPR RI, H. Fachrul Razi, M.I.P (Anggota DPD RI Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), dan khusus Dr. Filep Wamafma (DPD RI Provinsi Papua Barat) serta Dra. Ir. Hj. Erni Sumarni, M.Kes (Anggota DPD RI Provinsi Jawa Barat) hadir langsung di Sutanraja, yang lainnya adalah Anak Agung Gde Agung, S.H. (Anggota DPD RI Provinsi Bali) serta Dr. H. Alirman Sori, S.H., M.Hum., M.M. (Anggota DPD RI Provinsi Sumatera Barat).
“Mereka para Pembicara, adalah orang-orang hebat. Mereka bisa hadir disini berkat silaturahim Bunda Eni (Hj. Erni Sumarni-DPD RI Provinsi Jawa Barat), beliaulah komunikator dari acara ini, wanita lincah terah Sumedang, gaul diplomat, binangkit, selain itu Kongres Sunda juga punya Dr. Nina Kurnia Hikmawati yang komunikatif sehingga bisa menyukseskan acara besar ini dengan persiapan yang singkat, hanya dua minggu, tapi bisa mengelar acara gabungan fisik dan webinar, “ Kata Andri Perkasa kantaprawira, ketika ditemui wartawan di rumahnya dua hari sebelum acara refleksi berlangsung. Andri saat itu baru pulang dari IGD karena kelelahan menyiapkann acara.
Panitia Pengarah Kongres Sunda ini pun menjelaskan, kenapa acara ini mengambil tempat di Sutan Raja. Karena yang hadir orang-orang besar. “Jadi panitia Kongres Sunda ingin memberikan code Dangiang karena yang hadir para bangsawan, raja, ratu, atau apapun hingga kita gunakan code itu sebagai bahasa komunikasi kebudayaan, sebagai terima kasih pada berbagai tokoh bangsa yang sudah bisa berkumpul untuk sama-sama berkomitmen menurut kearifan yang mereka pahami, menurut pengetahuan yang mereka pahami, bahwa Indonesia ke depan dengan segala macam problematikanya harus bisa melampaui masa-masa krisisnya,” jelas Andri.
Andri juga mengatakan, acara tanggal 27 Desember 2020 ini adalah penutup dari Sawalamaya Pra- Kongres Sunda setelah sebelumnya pada tanggal 13 Desember 2020 digelar juga Sawalamaya Pra-Kongres Sunda “Reaktualiasasi Pemikiran Kebangsaan dan Kenegaraan PM NKRI dari Pasundan Ir. H. Djuanda Kartawijaya”. Berarti dengan adanya acara 13 dan 27 Desember 2020 ini maka tercapailah kode visi Kongres Sunda, Sunda Mulya - Nusantara Jaya.
Sunda Mulya itu sesuai dengan cita-cita Otto Iskandardinata, Sunda yang dihargai oleh suku bangsa lain dan figurnya seperti seorang Juanda Kartawijaya (Ir. H. Juanda) yang pernah menjabat Kepala Pemerintahan PM NKRI yang membanggakan bagi bangsa, Negara dan berguna bagi dunia.
Dan kenapa Panitia Kongres Sunda mengadakan acara pada tanggal 27 Desember, karena hari bersejarah. Hari Bersejarah yang sering dilupakan oleh para pemimpin negeri ini yaitu kelanjutan perjuangan Proklamasi 17 Agustus 1945, Perjuangan Revolusi Fisik (Militer) dan Diplomasi 1945-1949 dan kemenangan terakhir Perjuangan Fisik (Militer) dan Diplomasi yaitu dilakukannya Perundingan Konferensi Meja Bundar di Den Haag Belanda 27 Desember 1949 yang memberikan pengakuan “De Jure” kepada Negara Proklamasi 17 Agustus 1945 secara internasional dan diakui sebagai negara bebas merdeka berdaulat diantara bangsa-bangsa dan berhak menjadi anggota Perserikatan Bangsa Bangsa.
Dengan melakukan Refleksi Kebangsaan beserta tokoh tokoh suku bangsa se-Nusantara ini kata Andri, “Semoga menjadi pedar sinar cahaya bagi bangsa negara ke depan untuk menghadapi tantangan berbangsa dan bernegara yang penuh badai ombak tinggi yang memerlukan para nakhoda piawai, tangguh, bermental baja dan punya pertimbangan sasmita dan waskita“.
Kongres Sunda sendiri, kata Andri, tidak bisa dilaksanakan pada tahun 2020, karena kondisi Pandemi tidak dimungkinkan untuk mengundang banyak pemangku kepentingan untuk bermusyawarah. Kongres akan dilaksanakan pada tahun 2021 yang secara objektif mungkin dilaksanakan sebelum 17 Agustus 2021 atau bahkan mungkin memasuki September-November 2021. Andri berharap Kongres Sunda nanti dibuka oleh Presiden RI Ir. Joko Widodo dan ditutup oleh Wakil Presiden RI KH. Maruf Amin.
“Kita mendoakan dan sama sama bersinergi untuk memperjuangkan agar Pandemi Covid19 ini segera dapat terkendali dengan adanya vaksin yang tepat untuk warga negara, serta ekonomi Indonesia yang sedang mengalami resesi mampu menuju arah jalannya yang paling rasional dan menuju perbaikan dengan pondasi yang bahkan memungkinkan lompatan jauh kedepan,” harapnya.
Kongres Sunda dan Orang Sunda di Mata Para Tokoh Kebangsaan
Sementara itu Ketua DPD RI La Nyala Matalitti, sebelum membuka acara, dalam sambutannya mengatakan, acara yang digagas oleh panitia Kongres Sunda ini sangat baik untuk melestarikan karakter budaya daerah dalam menjaga persatuan dan kesatuan dalam bingkai NKRI dan sesungguhnya negeri kita sangat melimpah dengan kekayaan budaya yang perlu disumbangkan dan ditransformasikan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Dia berharap, Kebersamaan untuk berdialog dan bermusyawarah melalui Kongres Sunda sekarang dan akan datang, harus ditingkatkan pada kongres suku bangsa Nusantara untuk membangun Indonesia ke depan.
“Kebudayaan adalah salah satu sarana penting dan mendasar bagi pengembangan karakter bangsa juga bagi pembangunan dalam pencapaian cita-cita bangsa sebagaimana diamanatkan UUD RI 1945,” katanya pasti.
Intinya, berbagai aspek baik ekonomi, sosial, politik dan budaya hendaknya diawali dengan kebudayaan. Oleh karenanya yang paling penting, kata dia, adalah bagaimana kebudayaan Indonesia pun mampu mempengaruhi kebudayaan yang ada di dunia karena kebudayaan Indonesia adalah bagian dari kebudayaan dunia.
Oleh karena itu, kata La Nyala, DPDD RI mengajak pemerintah untuk meningkatkan adopsi kearifan lokal dalam berbagai peraturan pemerintah. DPD RI berkepentingan memberi perlindungan kearifan lokal karena diakui kearifan lokal yang ada di masyarakat telah hadir dan ada sebelum masyarakat RI terbentuk, tapi sebaliknya kearifan lokal sendiri harus menyesuaikan dengan prinsip NKRI melalui norma dan peraturan perundang- undangan.
Pengakuan terhadap kearifan lokal tidak mengurangi makna Negara RI karena itu pemerintah Negara Ri wajib melindungi kearifan lokal.
“DPD RI memahami eksistensi kearifan lokal sebagai cerminan hukum yang telah hidup di tengah masyarakat lokal sehingga diadopsi tindakan peraturan perundang-undangan. Mudah-mudahan eksistensi yuridis kearifan lokal di dalam peraturan perundang-undangan diatur secara jelas, jadi peraturan perundang-undangan tersebut tetap berdasarkan kepada kearifan lokal sebagai bagian hukum adat dan diakui UUD RI 45, maka kewajiban konstitusional DPD RI untuk menghormatinya selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban, tempatnya masih ada dan sesuai prinsip negara Republik Indonesia,” pungkasnya.
Adapun yang menjadi pusat perhatian dalam acara ini adalah kehadiran Dr. Filep Wamafma (DPD RI Provinsi Papua Barat). Filep tertarik hadir di Kongres Sunda karena temanya sangat penting dan merasa berhutang budi dengan Keluarga Besar Sunda, Eni Sumarni (DPD RI Jawa Barat) yang tergabung dengan Pansus Papua, berkontribusi besar dalam penyelesaian masalah Papua. Selain itu, orang Sunda juga kata Filep sangat besar sumbangsihnya dalam bidang pendidikan di Papua, dimana Ny. Ijam Jamningsih Jasir, S.H. orang Bandung, adalah pendiri Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Manokwari. Beliau pernah menjadi Hakim Agung dan diangkat jadi Ketua Pengadilan Tinggi Negeri Manokwari (1975), kemudian meninggal karena sakit di Bandung (1994), dan Filep sebagai salah satu pimpinan STIH Manokwari sekalian berziarah ke makam almarhumah pendiri kampusnya tersebut.
Filep mengatakan, acara ini sangat penting dan bermanfaat, karena hari ini kekuasaan politik itu hampir mengabaikan stakeholder utama, pilar utama di dalam Negara ini adalah masyarakat adat dan hari ini Kongres Sunda telah melakukan hal positif bagaimana aspirasi dan rekomendasi itu dapat disalurkan melalui organisasi kemasyarakatan sehingga lembaga Negara maupun pemerintah dapat melalukan itu dengan baik, artinya bahwa pemerintah dan lembaga Negara menjadikan organisasi kemasyarakatan ini sebagai mitra kerja bersama.
“Saya berharap Kongres Sunda ini menjadi kekuatan utama bagi daerah-daerah lain, ini yang paling penting, dan saya pikir dari Papua pun saya akan mendorong, Papua pun akan melakukan hal yang sama sehingga tidak lagi masyarakat adat/lokal itu melakukan hal-hal yang diluar bingkai yang ada, tapi bagaimana kita mengolah organisasi yang dapat menyalurkan aspirasi masarakat yang baik,” katanya pasti.
Usai memberi materi, kepada wartawan Filep kembali menegaskan, yang membuat dirinya jauh-jauh hadir di acara ini, karena temanya sangat bagus.
“DPD RI memahami eksistensi kearifan lokal sebagai cerminan hukum yang telah hidup di tengah masyarakat lokal sehingga diadopsi tindakan peraturan perundang-undangan. Mudah-mudahan eksistensi yuridis kearifan lokal di dalam peraturan perundang-undangan diatur secara jelas, jadi peraturan perundang-undangan tersebut tetap berdasarkan kepada kearifan lokal sebagai bagian hukum adat dan diakui UUD RI 45, maka kewajiban konstitusional DPD RI untuk menghormatinya selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban, tempatnya masih ada dan sesuai prinsip negara Republik Indonesia,” pungkasnya.
Adapun yang menjadi pusat perhatian dalam acara ini adalah kehadiran Dr. Filep Wamafma (DPD RI Provinsi Papua Barat). Filep tertarik hadir di Kongres Sunda karena temanya sangat penting dan merasa berhutang budi dengan Keluarga Besar Sunda, Eni Sumarni (DPD RI Jawa Barat) yang tergabung dengan Pansus Papua, berkontribusi besar dalam penyelesaian masalah Papua. Selain itu, orang Sunda juga kata Filep sangat besar sumbangsihnya dalam bidang pendidikan di Papua, dimana Ny. Ijam Jamningsih Jasir, S.H. orang Bandung, adalah pendiri Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Manokwari. Beliau pernah menjadi Hakim Agung dan diangkat jadi Ketua Pengadilan Tinggi Negeri Manokwari (1975), kemudian meninggal karena sakit di Bandung (1994), dan Filep sebagai salah satu pimpinan STIH Manokwari sekalian berziarah ke makam almarhumah pendiri kampusnya tersebut.
Filep mengatakan, acara ini sangat penting dan bermanfaat, karena hari ini kekuasaan politik itu hampir mengabaikan stakeholder utama, pilar utama di dalam Negara ini adalah masyarakat adat dan hari ini Kongres Sunda telah melakukan hal positif bagaimana aspirasi dan rekomendasi itu dapat disalurkan melalui organisasi kemasyarakatan sehingga lembaga Negara maupun pemerintah dapat melalukan itu dengan baik, artinya bahwa pemerintah dan lembaga Negara menjadikan organisasi kemasyarakatan ini sebagai mitra kerja bersama.
“Saya berharap Kongres Sunda ini menjadi kekuatan utama bagi daerah-daerah lain, ini yang paling penting, dan saya pikir dari Papua pun saya akan mendorong, Papua pun akan melakukan hal yang sama sehingga tidak lagi masyarakat adat/lokal itu melakukan hal-hal yang diluar bingkai yang ada, tapi bagaimana kita mengolah organisasi yang dapat menyalurkan aspirasi masarakat yang baik,” katanya pasti.
Usai memberi materi, kepada wartawan Filep kembali menegaskan, yang membuat dirinya jauh-jauh hadir di acara ini, karena temanya sangat bagus.
Dr. Felip Wamafma, orang Sunda bekontribusi besar terhadap dunia pendidikan di Papua |
“Disaat isu disintegrasi muncul dimana-mana, khususnya di Papua, saya ingin hadir mengkontribusi pikiran setidaknya kepada keluarga besar Sunda, khususnya Kongres Sunda, untuk berpikir bagaimana sebagai sesama anak bangsa ini turut memecahkan persoalan kebangsaan terutama di Papua. Saya pikir Kongres Sunda mampu mengambil peran ini ketika posisi Papua hari ini dengan Jakarta sudah renggang, komunikasi sudah renggang. Saya kira dengan kehadiran Kongres Sunda bisa menjadi jalan tengah (penengah ) bagi win win solution (penyelesaian yang menguntungkan dan memuaskan semua pihak). Setidaknya Kongres Sunda melalui tokoh-tokoh masyarakat bisa membangun hubungan silaturahmi dalam aspek budaya sehingga betul-betul memahami konteks budaya itu. Kalau kita bicara aspek politik tidak sambung (nyambung) karena kepentingan, dsb, kalau aspek budaya saya pikir akan cepat dipahami oleh semua pihak,” pungkasnya.
Sementara Kangjeng Ratu Hemas melalui aplikasi zoom menekankan, untuk menerima budaya asing secara cerdas, tapi sayangnya terhadap budaya kita sendiri belum dilakukan perubahan-perubahan agar menjadi benteng yang kuat terhadap pengaruh budaya asing. Di Yogya sendiri, kata Ratu Hemas, kearifan lokal terus ditekankan kepada anak-anak sekolah asal Yogya maupun dari luar Yogya agar memahami keistiweaan Kota Yogyakarta.
“Generasi sekarang saya yakin sudah kehilangan sejarah - Media elektronik sudah cukup masif tapi pelajaran-pelajaran yang bersifat kebudayaan, pendidikan budi pekerti seperti menghormati orang tua, dsb, sudah tidak ada, padahal nilai-nilai ini penting untuk diletakan kembali, karena anak-anak sekarang sudah melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan budaya bangsa kita. Kita akan kuat menahan budaya asing kalau kita memelihara budaya kita,” tegasnya.
Gusti Hemas menyaksikan, dulu tidak melihat ada perbedaan-perbedaan tapi sekarang orang banyak membeda-bedakan dan intoleransi. “Jadi ini kekhawatiran saya, apalagi di Yogya budaya sudah rusak oleh berbagai kepentingan kelompok,“ katanya prihatin.
“Saya bukannya menolak budaya Barat, Timur Tengah atau budaya Asia lainnya, tapi kita harus berkomitmen terhadap budaya sendiri, seperti makanan tradisional kita punya citarasa yang tinggi begitu juga dengan obat-obatan tradisional seperti jamu-jamu tak kalah khasiatnya ini harus diperkuat bukan lari ke ginseng. Intinya jangan sampai orang asing mempelajari budaya kita tapi kita sendiri mensia-siakannya. Jadi mari kita perkuat budaya sendiri dan kita harus gotong-royong serta bagaimana kita menyatukan Indonesia melalaui kearifan budaya daerah,” paparnya, sambil menjelaskan bahwa Jawa dan Sunda sudah harmonis dengan ditandai adanya Jalan Gajahmada di Bandung dan Jalan Siliwangi dan Jalan Pajajaran di Yogya serta Jalan Prabu Siliwangi dan Jalan Sunda di Surabaya.
Acara Refleksi Kebangsaan Akhir Tahun 2020 yang diprakarsai Kongres Sunda ini pun mendapat sambutan hangat dari Holil Aksan (Rd. H. Holil Aksan Umarzen), Ketua Umum Forkodetada Jabar (Forum Koordinasi Desain Penataan Daerah Jabar), karena acara tersebut bukan hanya acara lokal Sunda tapi sudah manjadi acara nasional dengan kehadiran para tokoh bangsa terutama para utusan daerah (DPD) dari Sabang sampai Merauke, baik melalui zoom atau yang hadir.
“Semua pembicara sangat menarik dan sangat menyadarkan dan tentunya selain itu saya sebagai orang Sunda berharap acara ini pada akhirnya akan menggelindingkan kepentingan-kepentingan atau perjuangan orang Sunda baik dari sisi budaya, politik, pembangunan, dll, “ tutur Holil.
Dan kata Holil, sekarang yang menjadi isu penting, yang menjadi perjuangan orang Sunda ini pertama masalah kewenangan, kedua keuangan dan ketiga identas atau jatidiri. “Masalah kewenangan saya selaku Ketua Pemekaran se-Jawa Barat, ini sesuai apa yang menjadi visi gubernur juga kesepakatan masyarakat Jabar, bahwa di Jabar perlu adanya keadilan, kewenangan, dengan adanya penambahan kabupaten dan kota di jabar. Kedua, masalah keuangan, tentu dengan adanya penambahan kebupaten dan kota otomatis akan ada penambahan keuangan dari pusat dan ketiga adalah masalah jatidiri dan itu yang paling penting sebagai identitas, bagaimana kita bisa berbudaya, bagaimana kita bisa bersuara tentang budaya lokal, kearifan lokal sementara identitas orang Sunda sendiri tidak jelas,“ tegasnya.
Masalah identitas ini, kata Holil, pertama masalah Kewilayahan lalu Kekuasaan, sedangkan masalah kewilayahan itu sendiri orang Sunda itu tidak jelas. Saat ini diwilayah mana orang Sunda berpijak. Karena secara administratif berdiri sebagai masyarakat Provinsi Jawa Barat, dimana Jawa ini selain nama pulau juga nama suku, sementara Sunda sendiri sama sebagai suku bangsa dan dulunya juga sebagai nama pulau, Sunda Land, Sunda Besar - Sunda Kecil.
“Nah sekrang jatidiri itu yang hilang dan bagaimana sekarang kita mengembalikan jatidiri orang Sunda yang hilang itu secara wilayah dengan nama provinsinya. Ya jangan nama pulaunya lah terlalu gede, nama provinsi aja Provinsi Sunda sulit banget. Karena bagi kami nama Jawa Barat itu tidak bermakna apa-apa selain nama administratif. Kita mau berbicara budaya atau apapun kalau jatidirinya tidak ada ya gimana? Kalau jatidirinya tidak ada bagaimana kita bisa mengharumkan Sunda sementara setelah ada di tingkat nasional tetap saja disebutnya orang Jawa Barat,” katanya kesal.
Makanya dari acara ini Holil berharap diclosing statementnya, perjuangan Sunda ini didengar dan diperhatikan pemerintah pusat. Bagaimana orang Sunda terwujud keinginannya untuk mengembalikan jatidirinya yang hilang yaitu, mengembalikan nama provinsinya - Provinsi Sunda.
Holil juga menyinggung masalah pemekaran 16 CDOB yang dicanangkan gubernur Jabar yang menurutnya untuk di Jabar tentu saja dengan sendirinya ada penambahan keuangan untuk membangun Jabar. “Artinya ke depan saya tidak mau bicara Jawa Barat lagi, saya maunya Provinsi Sunda – titik!“ Kata Holil tegas.
Termasuk di dalamnya pemekaaran Gatra (Garut Utara – Holil juga Ketua Pemekaran Gatra yang sekarang sudah diketuk palu di tingkat kabupaten dan sedang berproses di Provinsi), karena sudah prihatin dari sejak zaman penjajahan, Kabupaten Garut sampai sekarang tidak ada perubahan, bahkan cenderung tidak bagus. Dengan adanya 42 kecamatan dengan jumlah penduduk hampir 3 juta serta wilayah yang luar biasa luas tapi masih dipimpin oleh satu bupati. “ Ke depan Garut harus dipimpin dua bupati dan satu walikota, jadi Garut Selatan, Limbangan atau Garut Utara, dan Kota Garut,“ Pungkas Holil.
Rektor Universitas Galuh yang juga menjabat Ketua Dewan Kebudayaan Ciamis, Yat Rospia Brata, sangat mendukung acara merajut NKRI ini. Dengan latarbelakang kebanggaan masa lalu, sepanjang untuk kebaikan bersama dan tidak ada “Warna” (politik dan kepentinga golongan) kenapa tidak.
“Kami ini non partisan, kalau memang untuk membesarkan Negara kita NKRI, tidak bersipat sektarian, rasial, kenapa tidak, apalagi ini ada Nusantaranya tidak hanya Jawa Barat, saya pikir ini untuk membangkitkan kembali potensi-potensi kekayaan budaya daerah. Kalau melihat potensi itu kenapa tidak, kita kan kaya dengan budaya-budaya lokal. Nah jadi mereka betul-betul bermain dengan tidak meninggalkan akar budayanya masing-masing. Memang tren ke depan nanti yang bertahan itu yang mampu mempertahankan kultur/budaya,” paparnya.
Sementara Kangjeng Ratu Hemas melalui aplikasi zoom menekankan, untuk menerima budaya asing secara cerdas, tapi sayangnya terhadap budaya kita sendiri belum dilakukan perubahan-perubahan agar menjadi benteng yang kuat terhadap pengaruh budaya asing. Di Yogya sendiri, kata Ratu Hemas, kearifan lokal terus ditekankan kepada anak-anak sekolah asal Yogya maupun dari luar Yogya agar memahami keistiweaan Kota Yogyakarta.
“Generasi sekarang saya yakin sudah kehilangan sejarah - Media elektronik sudah cukup masif tapi pelajaran-pelajaran yang bersifat kebudayaan, pendidikan budi pekerti seperti menghormati orang tua, dsb, sudah tidak ada, padahal nilai-nilai ini penting untuk diletakan kembali, karena anak-anak sekarang sudah melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan budaya bangsa kita. Kita akan kuat menahan budaya asing kalau kita memelihara budaya kita,” tegasnya.
Gusti Hemas menyaksikan, dulu tidak melihat ada perbedaan-perbedaan tapi sekarang orang banyak membeda-bedakan dan intoleransi. “Jadi ini kekhawatiran saya, apalagi di Yogya budaya sudah rusak oleh berbagai kepentingan kelompok,“ katanya prihatin.
“Saya bukannya menolak budaya Barat, Timur Tengah atau budaya Asia lainnya, tapi kita harus berkomitmen terhadap budaya sendiri, seperti makanan tradisional kita punya citarasa yang tinggi begitu juga dengan obat-obatan tradisional seperti jamu-jamu tak kalah khasiatnya ini harus diperkuat bukan lari ke ginseng. Intinya jangan sampai orang asing mempelajari budaya kita tapi kita sendiri mensia-siakannya. Jadi mari kita perkuat budaya sendiri dan kita harus gotong-royong serta bagaimana kita menyatukan Indonesia melalaui kearifan budaya daerah,” paparnya, sambil menjelaskan bahwa Jawa dan Sunda sudah harmonis dengan ditandai adanya Jalan Gajahmada di Bandung dan Jalan Siliwangi dan Jalan Pajajaran di Yogya serta Jalan Prabu Siliwangi dan Jalan Sunda di Surabaya.
Acara Refleksi Kebangsaan Akhir Tahun 2020 yang diprakarsai Kongres Sunda ini pun mendapat sambutan hangat dari Holil Aksan (Rd. H. Holil Aksan Umarzen), Ketua Umum Forkodetada Jabar (Forum Koordinasi Desain Penataan Daerah Jabar), karena acara tersebut bukan hanya acara lokal Sunda tapi sudah manjadi acara nasional dengan kehadiran para tokoh bangsa terutama para utusan daerah (DPD) dari Sabang sampai Merauke, baik melalui zoom atau yang hadir.
“Semua pembicara sangat menarik dan sangat menyadarkan dan tentunya selain itu saya sebagai orang Sunda berharap acara ini pada akhirnya akan menggelindingkan kepentingan-kepentingan atau perjuangan orang Sunda baik dari sisi budaya, politik, pembangunan, dll, “ tutur Holil.
Dan kata Holil, sekarang yang menjadi isu penting, yang menjadi perjuangan orang Sunda ini pertama masalah kewenangan, kedua keuangan dan ketiga identas atau jatidiri. “Masalah kewenangan saya selaku Ketua Pemekaran se-Jawa Barat, ini sesuai apa yang menjadi visi gubernur juga kesepakatan masyarakat Jabar, bahwa di Jabar perlu adanya keadilan, kewenangan, dengan adanya penambahan kabupaten dan kota di jabar. Kedua, masalah keuangan, tentu dengan adanya penambahan kebupaten dan kota otomatis akan ada penambahan keuangan dari pusat dan ketiga adalah masalah jatidiri dan itu yang paling penting sebagai identitas, bagaimana kita bisa berbudaya, bagaimana kita bisa bersuara tentang budaya lokal, kearifan lokal sementara identitas orang Sunda sendiri tidak jelas,“ tegasnya.
Masalah identitas ini, kata Holil, pertama masalah Kewilayahan lalu Kekuasaan, sedangkan masalah kewilayahan itu sendiri orang Sunda itu tidak jelas. Saat ini diwilayah mana orang Sunda berpijak. Karena secara administratif berdiri sebagai masyarakat Provinsi Jawa Barat, dimana Jawa ini selain nama pulau juga nama suku, sementara Sunda sendiri sama sebagai suku bangsa dan dulunya juga sebagai nama pulau, Sunda Land, Sunda Besar - Sunda Kecil.
“Nah sekrang jatidiri itu yang hilang dan bagaimana sekarang kita mengembalikan jatidiri orang Sunda yang hilang itu secara wilayah dengan nama provinsinya. Ya jangan nama pulaunya lah terlalu gede, nama provinsi aja Provinsi Sunda sulit banget. Karena bagi kami nama Jawa Barat itu tidak bermakna apa-apa selain nama administratif. Kita mau berbicara budaya atau apapun kalau jatidirinya tidak ada ya gimana? Kalau jatidirinya tidak ada bagaimana kita bisa mengharumkan Sunda sementara setelah ada di tingkat nasional tetap saja disebutnya orang Jawa Barat,” katanya kesal.
Makanya dari acara ini Holil berharap diclosing statementnya, perjuangan Sunda ini didengar dan diperhatikan pemerintah pusat. Bagaimana orang Sunda terwujud keinginannya untuk mengembalikan jatidirinya yang hilang yaitu, mengembalikan nama provinsinya - Provinsi Sunda.
Holil juga menyinggung masalah pemekaran 16 CDOB yang dicanangkan gubernur Jabar yang menurutnya untuk di Jabar tentu saja dengan sendirinya ada penambahan keuangan untuk membangun Jabar. “Artinya ke depan saya tidak mau bicara Jawa Barat lagi, saya maunya Provinsi Sunda – titik!“ Kata Holil tegas.
Termasuk di dalamnya pemekaaran Gatra (Garut Utara – Holil juga Ketua Pemekaran Gatra yang sekarang sudah diketuk palu di tingkat kabupaten dan sedang berproses di Provinsi), karena sudah prihatin dari sejak zaman penjajahan, Kabupaten Garut sampai sekarang tidak ada perubahan, bahkan cenderung tidak bagus. Dengan adanya 42 kecamatan dengan jumlah penduduk hampir 3 juta serta wilayah yang luar biasa luas tapi masih dipimpin oleh satu bupati. “ Ke depan Garut harus dipimpin dua bupati dan satu walikota, jadi Garut Selatan, Limbangan atau Garut Utara, dan Kota Garut,“ Pungkas Holil.
Rektor Universitas Galuh yang juga menjabat Ketua Dewan Kebudayaan Ciamis, Yat Rospia Brata, sangat mendukung acara merajut NKRI ini. Dengan latarbelakang kebanggaan masa lalu, sepanjang untuk kebaikan bersama dan tidak ada “Warna” (politik dan kepentinga golongan) kenapa tidak.
“Kami ini non partisan, kalau memang untuk membesarkan Negara kita NKRI, tidak bersipat sektarian, rasial, kenapa tidak, apalagi ini ada Nusantaranya tidak hanya Jawa Barat, saya pikir ini untuk membangkitkan kembali potensi-potensi kekayaan budaya daerah. Kalau melihat potensi itu kenapa tidak, kita kan kaya dengan budaya-budaya lokal. Nah jadi mereka betul-betul bermain dengan tidak meninggalkan akar budayanya masing-masing. Memang tren ke depan nanti yang bertahan itu yang mampu mempertahankan kultur/budaya,” paparnya.
Makanya Yus, di kampus yang dipimpinnya, di Unigal, mewajibkan mahasiswanya mengikuti mata kuliah Kagaluhan satu semester, agar mreka tahu nila-nilai filosofis universal tentang Kagaluhan, supaya mereka tidak western oriented.
Akhirnya Bunda Eni, (Hj. Erni Sumarni), sebagai tuan rumah, mengucapkan terima kasih pada seluruh pimpinan dan anggota DPD RI yang telah mendukung dan memberikan opini dan pemikiran, memberi pencerahan pada semua bahwa budaya, istiadat, karakteristik budaya lokal, bisa membangun karakter building indonesia yang utuh, yang kita harapkan dalam mencapai tujuan nasional kita yang sampai detik ini dirundung masalah, apalagi masyarakat Indonesia masih kembang-kempis masih butuh proses yang panjang, keadilan juga masih jauh panggang dari api, demikian kata Bunda Eni.
Bunda Eni juga menegaskan Kongres Sunda tidak ada kaitannya dengan Sunda Empire yang belakangan ini telah menghebohkan nusantara dengan visi-misi organisasinya yang kontroversial –mahiwal. Tapi acara ini ada cerminan Jabar menanggap kearipan lokal budaya daerah yang memberikan energi pada masyarakatnya untuk membangun karakter building keindonesiaan yang hampir kita lupakan karena tergerus budaya asing yang masuk, padahal budaya daerah sangat luar biasa.
“Terima kasih kepada seluruh pimpinan dan anggota DPD RI juga kepada seluruh tokoh masyarakat yang telah memberikan aplaus pada pemateri yang memang sangat luar biasa untuk melanjutkan cita-cita perjuangan membangun karakter building yang berkearifan lokal budaya daerah masing-masing, untuk Indonesia maju - Indonesia berkarakter,“ tutupnya. (Asep GP)***
Tatarjabar.com
January 02, 2021
CB Blogger
IndonesiaAkhirnya Bunda Eni, (Hj. Erni Sumarni), sebagai tuan rumah, mengucapkan terima kasih pada seluruh pimpinan dan anggota DPD RI yang telah mendukung dan memberikan opini dan pemikiran, memberi pencerahan pada semua bahwa budaya, istiadat, karakteristik budaya lokal, bisa membangun karakter building indonesia yang utuh, yang kita harapkan dalam mencapai tujuan nasional kita yang sampai detik ini dirundung masalah, apalagi masyarakat Indonesia masih kembang-kempis masih butuh proses yang panjang, keadilan juga masih jauh panggang dari api, demikian kata Bunda Eni.
Bunda Eni juga menegaskan Kongres Sunda tidak ada kaitannya dengan Sunda Empire yang belakangan ini telah menghebohkan nusantara dengan visi-misi organisasinya yang kontroversial –mahiwal. Tapi acara ini ada cerminan Jabar menanggap kearipan lokal budaya daerah yang memberikan energi pada masyarakatnya untuk membangun karakter building keindonesiaan yang hampir kita lupakan karena tergerus budaya asing yang masuk, padahal budaya daerah sangat luar biasa.
“Terima kasih kepada seluruh pimpinan dan anggota DPD RI juga kepada seluruh tokoh masyarakat yang telah memberikan aplaus pada pemateri yang memang sangat luar biasa untuk melanjutkan cita-cita perjuangan membangun karakter building yang berkearifan lokal budaya daerah masing-masing, untuk Indonesia maju - Indonesia berkarakter,“ tutupnya. (Asep GP)***
Mengintip Acara Refleksi Kebangsaan Akhir Tahun 2020, Kongres Sunda
Posted by
Tatarjabar.com on Saturday, January 2, 2021
Refleksi Kebangsaan Akhir Tahun 2020, “Merajut Komitmen Berkearifan Budaya Daerah untuk Kebaikan Bangsa dalam Bingkai NKRI” selesai digelar pada hari Minggu, 27 Desember 2020. Acara yang digagas Panitia Kongres Sunda secara webinar menggunakan aplikasi Zoom dan offline di Hotel Sutan Raja, Soreang Kabupaten Bandung ini berhasil menyedot perhatian dan menghadirkan tokoh-tokoh nasional dan perwakilan berbagai suku bangsa di Nusantara.
Padahal acara penutup dari Sawalamaya Kongres Sunda tahun 2020 ini adalah Pra Kongres Sunda, belum Kongres Sunda. Tapi lihat saja yang hadir di Sutan Raja sungguh melebihi target tempat yang disediakan panitia, hingga panitia cakah-cikih meminta pihak hotel menyediakan kursi tambahan. Tapi tentu saja tuhu pada protokol kesehatan.
Wartawan mencatat diantaranya ada Kang Acil Bimbo hadir di sana, juga Memet Hamdan, Dindin S. Maolani, Robby Maulana (Sundawani Wirabuana), Asep Tutuy Turyana (Presiden Asep-Asep), Gunawan Undang, Annisa Nurazizah (Dewan Kebudayaaan Ciamis), M. Ridlo Eisy, Rakean Agung, Dr. Iwan Natapradja (Ki Dharmasetiawan Natapradja - Padukuhan Pakujajar - Gunung Padang - Ciwidey), Ruyat Sudradjat (Kepala Museum Galuh Pakuan - Ciamis), Dr. Hj. Eni Sumarni, Rd. Dyna, Henni Hernawijaya, Adjie Esa Poetra, Holil Aksan, Yat Rospia Brata (Ketua Dewan Kebudayaan Ciamis sekaligus Rektor Unigal), Dr. Filep Wamafma (DPD RI Provinsi Papua Barat), Asep Maung (Asep Buchori Kurnia), Noery Ispandji Firman (Ketua Umum DPP AMS), dan tentu saja Avi Taufik Hidayat Ketua Kongres Sunda pun hadir, termasuk Nina Kurnia Hikmawati (Sekjen Kongres Sunda), Teh Rita (Bendahara), tak ketinggalan Panitia SC (Ketua Panitia Pengarah) Andri Perkasa Kantaprawira, Wawan Trah Kunci Iman, Danni Sugiri, Asep Acil, Kang Oo serta Asep Samudra, dan banyak lagi.
Sementara yang hadir melalui aplikasi Zoom, ada Ir. AA La Nyalla Mahmud Mattaliti (Ketua DPD RI) sebagai Keynote Speaker. Lalu para Pembicara, Yudi Latif, M.A., Ph.D. (Aliansi Kebangsaan), Sultan Bachtiar Najamudin, S.IP., M.Si. (Wakil Ketua DPD RI), dan Dr. H. Mahyudin, S.T., M.M. (Wakil Ketua DPD RI). Adapun para Penanggap adalah, Gusti Kanjeng Ratu Hemas (Anggota DPD RI Provinsi D.I. Yogyakarta), Prof. Dr. Hj. Sylviana Murni, S.H., M.Si (Ketua Komite III DPD RI/MPR RI, H. Fachrul Razi, M.I.P (Anggota DPD RI Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), dan khusus Dr. Filep Wamafma (DPD RI Provinsi Papua Barat) serta Dra. Ir. Hj. Erni Sumarni, M.Kes (Anggota DPD RI Provinsi Jawa Barat) hadir langsung di Sutanraja, yang lainnya adalah Anak Agung Gde Agung, S.H. (Anggota DPD RI Provinsi Bali) serta Dr. H. Alirman Sori, S.H., M.Hum., M.M. (Anggota DPD RI Provinsi Sumatera Barat).
“Mereka para Pembicara, adalah orang-orang hebat. Mereka bisa hadir disini berkat silaturahim Bunda Eni (Hj. Erni Sumarni-DPD RI Provinsi Jawa Barat), beliaulah komunikator dari acara ini, wanita lincah terah Sumedang, gaul diplomat, binangkit, selain itu Kongres Sunda juga punya Dr. Nina Kurnia Hikmawati yang komunikatif sehingga bisa menyukseskan acara besar ini dengan persiapan yang singkat, hanya dua minggu, tapi bisa mengelar acara gabungan fisik dan webinar, “ Kata Andri Perkasa kantaprawira, ketika ditemui wartawan di rumahnya dua hari sebelum acara refleksi berlangsung. Andri saat itu baru pulang dari IGD karena kelelahan menyiapkann acara.
Panitia Pengarah Kongres Sunda ini pun menjelaskan, kenapa acara ini mengambil tempat di Sutan Raja. Karena yang hadir orang-orang besar. “Jadi panitia Kongres Sunda ingin memberikan code Dangiang karena yang hadir para bangsawan, raja, ratu, atau apapun hingga kita gunakan code itu sebagai bahasa komunikasi kebudayaan, sebagai terima kasih pada berbagai tokoh bangsa yang sudah bisa berkumpul untuk sama-sama berkomitmen menurut kearifan yang mereka pahami, menurut pengetahuan yang mereka pahami, bahwa Indonesia ke depan dengan segala macam problematikanya harus bisa melampaui masa-masa krisisnya,” jelas Andri.
Andri juga mengatakan, acara tanggal 27 Desember 2020 ini adalah penutup dari Sawalamaya Pra- Kongres Sunda setelah sebelumnya pada tanggal 13 Desember 2020 digelar juga Sawalamaya Pra-Kongres Sunda “Reaktualiasasi Pemikiran Kebangsaan dan Kenegaraan PM NKRI dari Pasundan Ir. H. Djuanda Kartawijaya”. Berarti dengan adanya acara 13 dan 27 Desember 2020 ini maka tercapailah kode visi Kongres Sunda, Sunda Mulya - Nusantara Jaya.
Sunda Mulya itu sesuai dengan cita-cita Otto Iskandardinata, Sunda yang dihargai oleh suku bangsa lain dan figurnya seperti seorang Juanda Kartawijaya (Ir. H. Juanda) yang pernah menjabat Kepala Pemerintahan PM NKRI yang membanggakan bagi bangsa, Negara dan berguna bagi dunia.
Dan kenapa Panitia Kongres Sunda mengadakan acara pada tanggal 27 Desember, karena hari bersejarah. Hari Bersejarah yang sering dilupakan oleh para pemimpin negeri ini yaitu kelanjutan perjuangan Proklamasi 17 Agustus 1945, Perjuangan Revolusi Fisik (Militer) dan Diplomasi 1945-1949 dan kemenangan terakhir Perjuangan Fisik (Militer) dan Diplomasi yaitu dilakukannya Perundingan Konferensi Meja Bundar di Den Haag Belanda 27 Desember 1949 yang memberikan pengakuan “De Jure” kepada Negara Proklamasi 17 Agustus 1945 secara internasional dan diakui sebagai negara bebas merdeka berdaulat diantara bangsa-bangsa dan berhak menjadi anggota Perserikatan Bangsa Bangsa.
Dengan melakukan Refleksi Kebangsaan beserta tokoh tokoh suku bangsa se-Nusantara ini kata Andri, “Semoga menjadi pedar sinar cahaya bagi bangsa negara ke depan untuk menghadapi tantangan berbangsa dan bernegara yang penuh badai ombak tinggi yang memerlukan para nakhoda piawai, tangguh, bermental baja dan punya pertimbangan sasmita dan waskita“.
Kongres Sunda sendiri, kata Andri, tidak bisa dilaksanakan pada tahun 2020, karena kondisi Pandemi tidak dimungkinkan untuk mengundang banyak pemangku kepentingan untuk bermusyawarah. Kongres akan dilaksanakan pada tahun 2021 yang secara objektif mungkin dilaksanakan sebelum 17 Agustus 2021 atau bahkan mungkin memasuki September-November 2021. Andri berharap Kongres Sunda nanti dibuka oleh Presiden RI Ir. Joko Widodo dan ditutup oleh Wakil Presiden RI KH. Maruf Amin.
“Kita mendoakan dan sama sama bersinergi untuk memperjuangkan agar Pandemi Covid19 ini segera dapat terkendali dengan adanya vaksin yang tepat untuk warga negara, serta ekonomi Indonesia yang sedang mengalami resesi mampu menuju arah jalannya yang paling rasional dan menuju perbaikan dengan pondasi yang bahkan memungkinkan lompatan jauh kedepan,” harapnya.
Kongres Sunda dan Orang Sunda di Mata Para Tokoh Kebangsaan
Sementara itu Ketua DPD RI La Nyala Matalitti, sebelum membuka acara, dalam sambutannya mengatakan, acara yang digagas oleh panitia Kongres Sunda ini sangat baik untuk melestarikan karakter budaya daerah dalam menjaga persatuan dan kesatuan dalam bingkai NKRI dan sesungguhnya negeri kita sangat melimpah dengan kekayaan budaya yang perlu disumbangkan dan ditransformasikan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Dia berharap, Kebersamaan untuk berdialog dan bermusyawarah melalui Kongres Sunda sekarang dan akan datang, harus ditingkatkan pada kongres suku bangsa Nusantara untuk membangun Indonesia ke depan.
“Kebudayaan adalah salah satu sarana penting dan mendasar bagi pengembangan karakter bangsa juga bagi pembangunan dalam pencapaian cita-cita bangsa sebagaimana diamanatkan UUD RI 1945,” katanya pasti.
Intinya, berbagai aspek baik ekonomi, sosial, politik dan budaya hendaknya diawali dengan kebudayaan. Oleh karenanya yang paling penting, kata dia, adalah bagaimana kebudayaan Indonesia pun mampu mempengaruhi kebudayaan yang ada di dunia karena kebudayaan Indonesia adalah bagian dari kebudayaan dunia.
Oleh karena itu, kata La Nyala, DPDD RI mengajak pemerintah untuk meningkatkan adopsi kearifan lokal dalam berbagai peraturan pemerintah. DPD RI berkepentingan memberi perlindungan kearifan lokal karena diakui kearifan lokal yang ada di masyarakat telah hadir dan ada sebelum masyarakat RI terbentuk, tapi sebaliknya kearifan lokal sendiri harus menyesuaikan dengan prinsip NKRI melalui norma dan peraturan perundang- undangan.
Pengakuan terhadap kearifan lokal tidak mengurangi makna Negara RI karena itu pemerintah Negara Ri wajib melindungi kearifan lokal.
“DPD RI memahami eksistensi kearifan lokal sebagai cerminan hukum yang telah hidup di tengah masyarakat lokal sehingga diadopsi tindakan peraturan perundang-undangan. Mudah-mudahan eksistensi yuridis kearifan lokal di dalam peraturan perundang-undangan diatur secara jelas, jadi peraturan perundang-undangan tersebut tetap berdasarkan kepada kearifan lokal sebagai bagian hukum adat dan diakui UUD RI 45, maka kewajiban konstitusional DPD RI untuk menghormatinya selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban, tempatnya masih ada dan sesuai prinsip negara Republik Indonesia,” pungkasnya.
Adapun yang menjadi pusat perhatian dalam acara ini adalah kehadiran Dr. Filep Wamafma (DPD RI Provinsi Papua Barat). Filep tertarik hadir di Kongres Sunda karena temanya sangat penting dan merasa berhutang budi dengan Keluarga Besar Sunda, Eni Sumarni (DPD RI Jawa Barat) yang tergabung dengan Pansus Papua, berkontribusi besar dalam penyelesaian masalah Papua. Selain itu, orang Sunda juga kata Filep sangat besar sumbangsihnya dalam bidang pendidikan di Papua, dimana Ny. Ijam Jamningsih Jasir, S.H. orang Bandung, adalah pendiri Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Manokwari. Beliau pernah menjadi Hakim Agung dan diangkat jadi Ketua Pengadilan Tinggi Negeri Manokwari (1975), kemudian meninggal karena sakit di Bandung (1994), dan Filep sebagai salah satu pimpinan STIH Manokwari sekalian berziarah ke makam almarhumah pendiri kampusnya tersebut.
Filep mengatakan, acara ini sangat penting dan bermanfaat, karena hari ini kekuasaan politik itu hampir mengabaikan stakeholder utama, pilar utama di dalam Negara ini adalah masyarakat adat dan hari ini Kongres Sunda telah melakukan hal positif bagaimana aspirasi dan rekomendasi itu dapat disalurkan melalui organisasi kemasyarakatan sehingga lembaga Negara maupun pemerintah dapat melalukan itu dengan baik, artinya bahwa pemerintah dan lembaga Negara menjadikan organisasi kemasyarakatan ini sebagai mitra kerja bersama.
“Saya berharap Kongres Sunda ini menjadi kekuatan utama bagi daerah-daerah lain, ini yang paling penting, dan saya pikir dari Papua pun saya akan mendorong, Papua pun akan melakukan hal yang sama sehingga tidak lagi masyarakat adat/lokal itu melakukan hal-hal yang diluar bingkai yang ada, tapi bagaimana kita mengolah organisasi yang dapat menyalurkan aspirasi masarakat yang baik,” katanya pasti.
Usai memberi materi, kepada wartawan Filep kembali menegaskan, yang membuat dirinya jauh-jauh hadir di acara ini, karena temanya sangat bagus.
“DPD RI memahami eksistensi kearifan lokal sebagai cerminan hukum yang telah hidup di tengah masyarakat lokal sehingga diadopsi tindakan peraturan perundang-undangan. Mudah-mudahan eksistensi yuridis kearifan lokal di dalam peraturan perundang-undangan diatur secara jelas, jadi peraturan perundang-undangan tersebut tetap berdasarkan kepada kearifan lokal sebagai bagian hukum adat dan diakui UUD RI 45, maka kewajiban konstitusional DPD RI untuk menghormatinya selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban, tempatnya masih ada dan sesuai prinsip negara Republik Indonesia,” pungkasnya.
Adapun yang menjadi pusat perhatian dalam acara ini adalah kehadiran Dr. Filep Wamafma (DPD RI Provinsi Papua Barat). Filep tertarik hadir di Kongres Sunda karena temanya sangat penting dan merasa berhutang budi dengan Keluarga Besar Sunda, Eni Sumarni (DPD RI Jawa Barat) yang tergabung dengan Pansus Papua, berkontribusi besar dalam penyelesaian masalah Papua. Selain itu, orang Sunda juga kata Filep sangat besar sumbangsihnya dalam bidang pendidikan di Papua, dimana Ny. Ijam Jamningsih Jasir, S.H. orang Bandung, adalah pendiri Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Manokwari. Beliau pernah menjadi Hakim Agung dan diangkat jadi Ketua Pengadilan Tinggi Negeri Manokwari (1975), kemudian meninggal karena sakit di Bandung (1994), dan Filep sebagai salah satu pimpinan STIH Manokwari sekalian berziarah ke makam almarhumah pendiri kampusnya tersebut.
Filep mengatakan, acara ini sangat penting dan bermanfaat, karena hari ini kekuasaan politik itu hampir mengabaikan stakeholder utama, pilar utama di dalam Negara ini adalah masyarakat adat dan hari ini Kongres Sunda telah melakukan hal positif bagaimana aspirasi dan rekomendasi itu dapat disalurkan melalui organisasi kemasyarakatan sehingga lembaga Negara maupun pemerintah dapat melalukan itu dengan baik, artinya bahwa pemerintah dan lembaga Negara menjadikan organisasi kemasyarakatan ini sebagai mitra kerja bersama.
“Saya berharap Kongres Sunda ini menjadi kekuatan utama bagi daerah-daerah lain, ini yang paling penting, dan saya pikir dari Papua pun saya akan mendorong, Papua pun akan melakukan hal yang sama sehingga tidak lagi masyarakat adat/lokal itu melakukan hal-hal yang diluar bingkai yang ada, tapi bagaimana kita mengolah organisasi yang dapat menyalurkan aspirasi masarakat yang baik,” katanya pasti.
Usai memberi materi, kepada wartawan Filep kembali menegaskan, yang membuat dirinya jauh-jauh hadir di acara ini, karena temanya sangat bagus.
Dr. Felip Wamafma, orang Sunda bekontribusi besar terhadap dunia pendidikan di Papua |
“Disaat isu disintegrasi muncul dimana-mana, khususnya di Papua, saya ingin hadir mengkontribusi pikiran setidaknya kepada keluarga besar Sunda, khususnya Kongres Sunda, untuk berpikir bagaimana sebagai sesama anak bangsa ini turut memecahkan persoalan kebangsaan terutama di Papua. Saya pikir Kongres Sunda mampu mengambil peran ini ketika posisi Papua hari ini dengan Jakarta sudah renggang, komunikasi sudah renggang. Saya kira dengan kehadiran Kongres Sunda bisa menjadi jalan tengah (penengah ) bagi win win solution (penyelesaian yang menguntungkan dan memuaskan semua pihak). Setidaknya Kongres Sunda melalui tokoh-tokoh masyarakat bisa membangun hubungan silaturahmi dalam aspek budaya sehingga betul-betul memahami konteks budaya itu. Kalau kita bicara aspek politik tidak sambung (nyambung) karena kepentingan, dsb, kalau aspek budaya saya pikir akan cepat dipahami oleh semua pihak,” pungkasnya.
Sementara Kangjeng Ratu Hemas melalui aplikasi zoom menekankan, untuk menerima budaya asing secara cerdas, tapi sayangnya terhadap budaya kita sendiri belum dilakukan perubahan-perubahan agar menjadi benteng yang kuat terhadap pengaruh budaya asing. Di Yogya sendiri, kata Ratu Hemas, kearifan lokal terus ditekankan kepada anak-anak sekolah asal Yogya maupun dari luar Yogya agar memahami keistiweaan Kota Yogyakarta.
“Generasi sekarang saya yakin sudah kehilangan sejarah - Media elektronik sudah cukup masif tapi pelajaran-pelajaran yang bersifat kebudayaan, pendidikan budi pekerti seperti menghormati orang tua, dsb, sudah tidak ada, padahal nilai-nilai ini penting untuk diletakan kembali, karena anak-anak sekarang sudah melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan budaya bangsa kita. Kita akan kuat menahan budaya asing kalau kita memelihara budaya kita,” tegasnya.
Gusti Hemas menyaksikan, dulu tidak melihat ada perbedaan-perbedaan tapi sekarang orang banyak membeda-bedakan dan intoleransi. “Jadi ini kekhawatiran saya, apalagi di Yogya budaya sudah rusak oleh berbagai kepentingan kelompok,“ katanya prihatin.
“Saya bukannya menolak budaya Barat, Timur Tengah atau budaya Asia lainnya, tapi kita harus berkomitmen terhadap budaya sendiri, seperti makanan tradisional kita punya citarasa yang tinggi begitu juga dengan obat-obatan tradisional seperti jamu-jamu tak kalah khasiatnya ini harus diperkuat bukan lari ke ginseng. Intinya jangan sampai orang asing mempelajari budaya kita tapi kita sendiri mensia-siakannya. Jadi mari kita perkuat budaya sendiri dan kita harus gotong-royong serta bagaimana kita menyatukan Indonesia melalaui kearifan budaya daerah,” paparnya, sambil menjelaskan bahwa Jawa dan Sunda sudah harmonis dengan ditandai adanya Jalan Gajahmada di Bandung dan Jalan Siliwangi dan Jalan Pajajaran di Yogya serta Jalan Prabu Siliwangi dan Jalan Sunda di Surabaya.
Acara Refleksi Kebangsaan Akhir Tahun 2020 yang diprakarsai Kongres Sunda ini pun mendapat sambutan hangat dari Holil Aksan (Rd. H. Holil Aksan Umarzen), Ketua Umum Forkodetada Jabar (Forum Koordinasi Desain Penataan Daerah Jabar), karena acara tersebut bukan hanya acara lokal Sunda tapi sudah manjadi acara nasional dengan kehadiran para tokoh bangsa terutama para utusan daerah (DPD) dari Sabang sampai Merauke, baik melalui zoom atau yang hadir.
“Semua pembicara sangat menarik dan sangat menyadarkan dan tentunya selain itu saya sebagai orang Sunda berharap acara ini pada akhirnya akan menggelindingkan kepentingan-kepentingan atau perjuangan orang Sunda baik dari sisi budaya, politik, pembangunan, dll, “ tutur Holil.
Dan kata Holil, sekarang yang menjadi isu penting, yang menjadi perjuangan orang Sunda ini pertama masalah kewenangan, kedua keuangan dan ketiga identas atau jatidiri. “Masalah kewenangan saya selaku Ketua Pemekaran se-Jawa Barat, ini sesuai apa yang menjadi visi gubernur juga kesepakatan masyarakat Jabar, bahwa di Jabar perlu adanya keadilan, kewenangan, dengan adanya penambahan kabupaten dan kota di jabar. Kedua, masalah keuangan, tentu dengan adanya penambahan kebupaten dan kota otomatis akan ada penambahan keuangan dari pusat dan ketiga adalah masalah jatidiri dan itu yang paling penting sebagai identitas, bagaimana kita bisa berbudaya, bagaimana kita bisa bersuara tentang budaya lokal, kearifan lokal sementara identitas orang Sunda sendiri tidak jelas,“ tegasnya.
Masalah identitas ini, kata Holil, pertama masalah Kewilayahan lalu Kekuasaan, sedangkan masalah kewilayahan itu sendiri orang Sunda itu tidak jelas. Saat ini diwilayah mana orang Sunda berpijak. Karena secara administratif berdiri sebagai masyarakat Provinsi Jawa Barat, dimana Jawa ini selain nama pulau juga nama suku, sementara Sunda sendiri sama sebagai suku bangsa dan dulunya juga sebagai nama pulau, Sunda Land, Sunda Besar - Sunda Kecil.
“Nah sekrang jatidiri itu yang hilang dan bagaimana sekarang kita mengembalikan jatidiri orang Sunda yang hilang itu secara wilayah dengan nama provinsinya. Ya jangan nama pulaunya lah terlalu gede, nama provinsi aja Provinsi Sunda sulit banget. Karena bagi kami nama Jawa Barat itu tidak bermakna apa-apa selain nama administratif. Kita mau berbicara budaya atau apapun kalau jatidirinya tidak ada ya gimana? Kalau jatidirinya tidak ada bagaimana kita bisa mengharumkan Sunda sementara setelah ada di tingkat nasional tetap saja disebutnya orang Jawa Barat,” katanya kesal.
Makanya dari acara ini Holil berharap diclosing statementnya, perjuangan Sunda ini didengar dan diperhatikan pemerintah pusat. Bagaimana orang Sunda terwujud keinginannya untuk mengembalikan jatidirinya yang hilang yaitu, mengembalikan nama provinsinya - Provinsi Sunda.
Holil juga menyinggung masalah pemekaran 16 CDOB yang dicanangkan gubernur Jabar yang menurutnya untuk di Jabar tentu saja dengan sendirinya ada penambahan keuangan untuk membangun Jabar. “Artinya ke depan saya tidak mau bicara Jawa Barat lagi, saya maunya Provinsi Sunda – titik!“ Kata Holil tegas.
Termasuk di dalamnya pemekaaran Gatra (Garut Utara – Holil juga Ketua Pemekaran Gatra yang sekarang sudah diketuk palu di tingkat kabupaten dan sedang berproses di Provinsi), karena sudah prihatin dari sejak zaman penjajahan, Kabupaten Garut sampai sekarang tidak ada perubahan, bahkan cenderung tidak bagus. Dengan adanya 42 kecamatan dengan jumlah penduduk hampir 3 juta serta wilayah yang luar biasa luas tapi masih dipimpin oleh satu bupati. “ Ke depan Garut harus dipimpin dua bupati dan satu walikota, jadi Garut Selatan, Limbangan atau Garut Utara, dan Kota Garut,“ Pungkas Holil.
Rektor Universitas Galuh yang juga menjabat Ketua Dewan Kebudayaan Ciamis, Yat Rospia Brata, sangat mendukung acara merajut NKRI ini. Dengan latarbelakang kebanggaan masa lalu, sepanjang untuk kebaikan bersama dan tidak ada “Warna” (politik dan kepentinga golongan) kenapa tidak.
“Kami ini non partisan, kalau memang untuk membesarkan Negara kita NKRI, tidak bersipat sektarian, rasial, kenapa tidak, apalagi ini ada Nusantaranya tidak hanya Jawa Barat, saya pikir ini untuk membangkitkan kembali potensi-potensi kekayaan budaya daerah. Kalau melihat potensi itu kenapa tidak, kita kan kaya dengan budaya-budaya lokal. Nah jadi mereka betul-betul bermain dengan tidak meninggalkan akar budayanya masing-masing. Memang tren ke depan nanti yang bertahan itu yang mampu mempertahankan kultur/budaya,” paparnya.
Sementara Kangjeng Ratu Hemas melalui aplikasi zoom menekankan, untuk menerima budaya asing secara cerdas, tapi sayangnya terhadap budaya kita sendiri belum dilakukan perubahan-perubahan agar menjadi benteng yang kuat terhadap pengaruh budaya asing. Di Yogya sendiri, kata Ratu Hemas, kearifan lokal terus ditekankan kepada anak-anak sekolah asal Yogya maupun dari luar Yogya agar memahami keistiweaan Kota Yogyakarta.
“Generasi sekarang saya yakin sudah kehilangan sejarah - Media elektronik sudah cukup masif tapi pelajaran-pelajaran yang bersifat kebudayaan, pendidikan budi pekerti seperti menghormati orang tua, dsb, sudah tidak ada, padahal nilai-nilai ini penting untuk diletakan kembali, karena anak-anak sekarang sudah melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan budaya bangsa kita. Kita akan kuat menahan budaya asing kalau kita memelihara budaya kita,” tegasnya.
Gusti Hemas menyaksikan, dulu tidak melihat ada perbedaan-perbedaan tapi sekarang orang banyak membeda-bedakan dan intoleransi. “Jadi ini kekhawatiran saya, apalagi di Yogya budaya sudah rusak oleh berbagai kepentingan kelompok,“ katanya prihatin.
“Saya bukannya menolak budaya Barat, Timur Tengah atau budaya Asia lainnya, tapi kita harus berkomitmen terhadap budaya sendiri, seperti makanan tradisional kita punya citarasa yang tinggi begitu juga dengan obat-obatan tradisional seperti jamu-jamu tak kalah khasiatnya ini harus diperkuat bukan lari ke ginseng. Intinya jangan sampai orang asing mempelajari budaya kita tapi kita sendiri mensia-siakannya. Jadi mari kita perkuat budaya sendiri dan kita harus gotong-royong serta bagaimana kita menyatukan Indonesia melalaui kearifan budaya daerah,” paparnya, sambil menjelaskan bahwa Jawa dan Sunda sudah harmonis dengan ditandai adanya Jalan Gajahmada di Bandung dan Jalan Siliwangi dan Jalan Pajajaran di Yogya serta Jalan Prabu Siliwangi dan Jalan Sunda di Surabaya.
Acara Refleksi Kebangsaan Akhir Tahun 2020 yang diprakarsai Kongres Sunda ini pun mendapat sambutan hangat dari Holil Aksan (Rd. H. Holil Aksan Umarzen), Ketua Umum Forkodetada Jabar (Forum Koordinasi Desain Penataan Daerah Jabar), karena acara tersebut bukan hanya acara lokal Sunda tapi sudah manjadi acara nasional dengan kehadiran para tokoh bangsa terutama para utusan daerah (DPD) dari Sabang sampai Merauke, baik melalui zoom atau yang hadir.
“Semua pembicara sangat menarik dan sangat menyadarkan dan tentunya selain itu saya sebagai orang Sunda berharap acara ini pada akhirnya akan menggelindingkan kepentingan-kepentingan atau perjuangan orang Sunda baik dari sisi budaya, politik, pembangunan, dll, “ tutur Holil.
Dan kata Holil, sekarang yang menjadi isu penting, yang menjadi perjuangan orang Sunda ini pertama masalah kewenangan, kedua keuangan dan ketiga identas atau jatidiri. “Masalah kewenangan saya selaku Ketua Pemekaran se-Jawa Barat, ini sesuai apa yang menjadi visi gubernur juga kesepakatan masyarakat Jabar, bahwa di Jabar perlu adanya keadilan, kewenangan, dengan adanya penambahan kabupaten dan kota di jabar. Kedua, masalah keuangan, tentu dengan adanya penambahan kebupaten dan kota otomatis akan ada penambahan keuangan dari pusat dan ketiga adalah masalah jatidiri dan itu yang paling penting sebagai identitas, bagaimana kita bisa berbudaya, bagaimana kita bisa bersuara tentang budaya lokal, kearifan lokal sementara identitas orang Sunda sendiri tidak jelas,“ tegasnya.
Masalah identitas ini, kata Holil, pertama masalah Kewilayahan lalu Kekuasaan, sedangkan masalah kewilayahan itu sendiri orang Sunda itu tidak jelas. Saat ini diwilayah mana orang Sunda berpijak. Karena secara administratif berdiri sebagai masyarakat Provinsi Jawa Barat, dimana Jawa ini selain nama pulau juga nama suku, sementara Sunda sendiri sama sebagai suku bangsa dan dulunya juga sebagai nama pulau, Sunda Land, Sunda Besar - Sunda Kecil.
“Nah sekrang jatidiri itu yang hilang dan bagaimana sekarang kita mengembalikan jatidiri orang Sunda yang hilang itu secara wilayah dengan nama provinsinya. Ya jangan nama pulaunya lah terlalu gede, nama provinsi aja Provinsi Sunda sulit banget. Karena bagi kami nama Jawa Barat itu tidak bermakna apa-apa selain nama administratif. Kita mau berbicara budaya atau apapun kalau jatidirinya tidak ada ya gimana? Kalau jatidirinya tidak ada bagaimana kita bisa mengharumkan Sunda sementara setelah ada di tingkat nasional tetap saja disebutnya orang Jawa Barat,” katanya kesal.
Makanya dari acara ini Holil berharap diclosing statementnya, perjuangan Sunda ini didengar dan diperhatikan pemerintah pusat. Bagaimana orang Sunda terwujud keinginannya untuk mengembalikan jatidirinya yang hilang yaitu, mengembalikan nama provinsinya - Provinsi Sunda.
Holil juga menyinggung masalah pemekaran 16 CDOB yang dicanangkan gubernur Jabar yang menurutnya untuk di Jabar tentu saja dengan sendirinya ada penambahan keuangan untuk membangun Jabar. “Artinya ke depan saya tidak mau bicara Jawa Barat lagi, saya maunya Provinsi Sunda – titik!“ Kata Holil tegas.
Termasuk di dalamnya pemekaaran Gatra (Garut Utara – Holil juga Ketua Pemekaran Gatra yang sekarang sudah diketuk palu di tingkat kabupaten dan sedang berproses di Provinsi), karena sudah prihatin dari sejak zaman penjajahan, Kabupaten Garut sampai sekarang tidak ada perubahan, bahkan cenderung tidak bagus. Dengan adanya 42 kecamatan dengan jumlah penduduk hampir 3 juta serta wilayah yang luar biasa luas tapi masih dipimpin oleh satu bupati. “ Ke depan Garut harus dipimpin dua bupati dan satu walikota, jadi Garut Selatan, Limbangan atau Garut Utara, dan Kota Garut,“ Pungkas Holil.
Rektor Universitas Galuh yang juga menjabat Ketua Dewan Kebudayaan Ciamis, Yat Rospia Brata, sangat mendukung acara merajut NKRI ini. Dengan latarbelakang kebanggaan masa lalu, sepanjang untuk kebaikan bersama dan tidak ada “Warna” (politik dan kepentinga golongan) kenapa tidak.
“Kami ini non partisan, kalau memang untuk membesarkan Negara kita NKRI, tidak bersipat sektarian, rasial, kenapa tidak, apalagi ini ada Nusantaranya tidak hanya Jawa Barat, saya pikir ini untuk membangkitkan kembali potensi-potensi kekayaan budaya daerah. Kalau melihat potensi itu kenapa tidak, kita kan kaya dengan budaya-budaya lokal. Nah jadi mereka betul-betul bermain dengan tidak meninggalkan akar budayanya masing-masing. Memang tren ke depan nanti yang bertahan itu yang mampu mempertahankan kultur/budaya,” paparnya.
Makanya Yus, di kampus yang dipimpinnya, di Unigal, mewajibkan mahasiswanya mengikuti mata kuliah Kagaluhan satu semester, agar mreka tahu nila-nilai filosofis universal tentang Kagaluhan, supaya mereka tidak western oriented.
Akhirnya Bunda Eni, (Hj. Erni Sumarni), sebagai tuan rumah, mengucapkan terima kasih pada seluruh pimpinan dan anggota DPD RI yang telah mendukung dan memberikan opini dan pemikiran, memberi pencerahan pada semua bahwa budaya, istiadat, karakteristik budaya lokal, bisa membangun karakter building indonesia yang utuh, yang kita harapkan dalam mencapai tujuan nasional kita yang sampai detik ini dirundung masalah, apalagi masyarakat Indonesia masih kembang-kempis masih butuh proses yang panjang, keadilan juga masih jauh panggang dari api, demikian kata Bunda Eni.
Bunda Eni juga menegaskan Kongres Sunda tidak ada kaitannya dengan Sunda Empire yang belakangan ini telah menghebohkan nusantara dengan visi-misi organisasinya yang kontroversial –mahiwal. Tapi acara ini ada cerminan Jabar menanggap kearipan lokal budaya daerah yang memberikan energi pada masyarakatnya untuk membangun karakter building keindonesiaan yang hampir kita lupakan karena tergerus budaya asing yang masuk, padahal budaya daerah sangat luar biasa.
“Terima kasih kepada seluruh pimpinan dan anggota DPD RI juga kepada seluruh tokoh masyarakat yang telah memberikan aplaus pada pemateri yang memang sangat luar biasa untuk melanjutkan cita-cita perjuangan membangun karakter building yang berkearifan lokal budaya daerah masing-masing, untuk Indonesia maju - Indonesia berkarakter,“ tutupnya. (Asep GP)***
Akhirnya Bunda Eni, (Hj. Erni Sumarni), sebagai tuan rumah, mengucapkan terima kasih pada seluruh pimpinan dan anggota DPD RI yang telah mendukung dan memberikan opini dan pemikiran, memberi pencerahan pada semua bahwa budaya, istiadat, karakteristik budaya lokal, bisa membangun karakter building indonesia yang utuh, yang kita harapkan dalam mencapai tujuan nasional kita yang sampai detik ini dirundung masalah, apalagi masyarakat Indonesia masih kembang-kempis masih butuh proses yang panjang, keadilan juga masih jauh panggang dari api, demikian kata Bunda Eni.
Bunda Eni juga menegaskan Kongres Sunda tidak ada kaitannya dengan Sunda Empire yang belakangan ini telah menghebohkan nusantara dengan visi-misi organisasinya yang kontroversial –mahiwal. Tapi acara ini ada cerminan Jabar menanggap kearipan lokal budaya daerah yang memberikan energi pada masyarakatnya untuk membangun karakter building keindonesiaan yang hampir kita lupakan karena tergerus budaya asing yang masuk, padahal budaya daerah sangat luar biasa.
“Terima kasih kepada seluruh pimpinan dan anggota DPD RI juga kepada seluruh tokoh masyarakat yang telah memberikan aplaus pada pemateri yang memang sangat luar biasa untuk melanjutkan cita-cita perjuangan membangun karakter building yang berkearifan lokal budaya daerah masing-masing, untuk Indonesia maju - Indonesia berkarakter,“ tutupnya. (Asep GP)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment