Sunday, February 21, 2021
Difabel sendiri adalah istilah yang lebih halus untuk menggambarkan kondisi seseorang yang mengalami disabilitas. Difabel mengacu pada keterbatasan peran penyandang disabilitas dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari karea ketidakmampuan yang mereka miliki.
Maksud dan tujuan acara ini mengajak masyarakat luas agar paham terhadap komunitas berkebutuhan khusus yang seharusnya dibantu, diapresiasi, jangan malah ditelantarkan karena mereka sama dengan kita, manusia yang ingin hidup sewajarnya selaku difabel.
“Kita harus membantu mengapresiasi mereka bukan dilecehkan apalagi dikucilkan dan saya mengajak mereka berprestasi bukan mengurungdiri memikirkan segala kekurangan,” demikian kata Prof. Setiawan Sabana yang Si Empunya hajat.
Lebih jauh Kang Wawan yang dalam acara itu juga menjadi Pembicara Kunci mengatakan, dirinya lebih banyak berkenalan dengan mereka itu lewat forum-forum seperti ini. Guru Besar Seni Rupa ITB ini pernah diundang oleh dekan Fakulty of Arts Chulalongkorn University Bangkok-Thailand tahun 2002, berstatus sebagai international observer (pengamat internasional, termasuk dari Jepang dan Malaysia ) di acara bertajuk “Art for All“ (seni untuk segala). “Selain mengadakan seminar juga ada workshop, dan di sana saya lihat ada pendekatan, yang mana waktu itu ada 100 kaum difabel dari seluruh Thailand didekati dengan seni (seni rupa, musik, teater, dll), selama 10 hari dan tiap jam 6 pagi melakukan senam bersama".
Kang Wawan juga sempat ikut international workshop dan seminar di YPAC, Yayasan Peduli Anak Cacat –Surakarta. Waktu itu Kang Wawan berceramah di depan ibu-ibu yang menggunakan kursi roda- dan peristiwa itu makin membawanya berkenalan dengan kaum penyandang cacat, istilahnya waktu itu.
Lalu Kang Wawan pun jadi bagian Art Terapi Center (ATC) Widyatama bersama Doktor Primadi Trabani (Almarhum). Di situ ada perkuliahan lewat seni, desain, dan musik, lalu wisuda lulusan ATC yang sangat unik, khusus dan meriah. “Sungguh pengalaman yang membuat saya jadi sangat istimewa dan ketika ATC mengadakan seminar nasional tentang difabilitas saya menjadi salah sorang pembicara dengan tajuk “Bagaimana menjadi Stevie Wonder” (penyanyi tuna netra bersuara emas), dan sejak itu saya tahu persoalan penyandang cacat ini jadi mengemuka, jadi mulai terlihat banyak pihak yang peduli,“ kenangnya bahagia.
Terlebih lagi hal yang terkait dengan disabilitas ini dilakukan juga di kampusnya sendiri, FSRD ITB, oleh yang sekarang bernama lengkap Dr. .Anne Nurfarina, S.Sn., M.Sn, juga oleh Doktor Trijaka, termasuk sekarang sedang berlangsung penelitian tentang fasilitas disabilitas oleh Mita Rahmanita mahasiswa FSRD 2016. “Jadi alhamdulillah ITB sudah melibatkan topik-topik seperti ini,“ ujarnya bangga campur haru.
Lalu Kang Wawan juga pernah memberi tajuk “2 (Dua) Diana”, karena waktu itu bekerja sama dalam menggerakkan kaum difabel ini dengan dua orang ibu yang bernama Diana dan sempat mengadakan kegiatan bersama di Cikole-Lembang hingga kegiatan 2 D ini mendapat perhatian, sampai akhirnya 2D ini berpisah dengan orientasinya masing-masing.
Sedangkan Kang Wawan berlanjut menjadi Penasihat Komunitas Peduli Anak Special (KPAS), hingga sekarang.
Sebagai epilog Kang Wawan menegaskan bahwa acara webinar ini penting dilaksanakan secara berkala agar masyarakat memiliki pengetahuan dan pemahaman serta apresiasi tentang KPAS dengan berbagai kegiatannya, agar publik kian memahami keberadaan orang yang berkebutuhan khusus. Demikian pungkasnya sambil memutar lagu I just call to say I love you - Stevie Wonder. Juga video pendek anak bersajak yang intinya berpesan jangan menangisi keadaan hidup, manusia diciptakan berbeda-beda, dan jangan mencaci kalau bisa mengapresiasi.
Pendekatan Lewat Seni
Dalam Dialog, kang Wawan juga menegaskan, selama ini pendekatan lewat seni selalu diandalkan untuk menarik perhatian penyandang difabel, tapi sebenarnya pendekatan olahraga dan pendekatan lain di luar seni pun bisa dilakukan, seperti yang dilakukan di Thailand. Jadi intinya berbagai pendekatan boleh dicoba, tidak selalu satu metode, yang penting melahirkan satu kegiatan yang manfaat. “Mungkin karena seni berurusan dengan hal-hal sublim yang kreativitasnya sangat terkait dengan kejiwaan mereka, hingga umumnya seni dilakukan untuk mendekati mereka,“ demikian katanya.
Prof. Anna Alisjahbana, dokter spesialis anak Unpad, juga pendiri Yayasan Surya Kanti (Pusat pengembangan Potensi Anak), sebagai narasumber, berbicara tentang “Deteksi Dini Dari Pandangan Medis”.
Sebagai dokter anak, Prof. Ana melihat banyak sekali yang sudah terlanjur, maka pada tahun 96 mendirikan Program Deteksi Dini dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak sebagai usaha untuk mencegah penyakit ini atau sedikitnya bisa meringankan beban mereka dan akhirnya bisa mengembangkan potensi pada tiap anak.
Ana melihat kenyataan, anak bekebutuhan khusus (ABK) itu bervariasi, satu penyakit pun gejalanya bisa bermacam-macam dan biasanya menghadapi segala aspek perkembangan. Hampir tidak ada ABK yang tidak punya masalah di satu aspek misalnya tidak bisa bicara, kebanyakan lebih dari satu aspek perkembangan. Jadi kata Ana, skrining perlu dilakukan sedini mungkin dengan mengenal dan memantau pola perkembangan anak. “Skrining perlu dilanjutkan dengan stimulasi dan intervensi dan memanfaatkan periode emosi anak, “ terangnya .
Pada usia 0-5 tahun di saat otak berkembang pesat, saat itulah intervensi akan banyak manfaatnya dan Yayasan Surya Kanti (YSK) - Pusat Pengembangan Potensi Anak yang ia dirikan tahun 1984 bertujuan meningkatkan kualitas hidup anak-anak berkebutuhan khusus, selain memberi terapi YSK juga mempromosikan upaya pengenalan pencegahan disabilitas melalui pemantauan perkembangan anak.
“Kami membuat alat pemantau tepat guna untuk membantu para kader dan petugas kesehatan terutama orang tua, dan mereka yang berada di daerah yang kurang terjangkau oleh pelayanan kesehatan untuk bisa mengenal dini anak lambat berkembang. Karena anak lambat berkembang itu satu poksi dengan ABK sehingga kalau kita bisa menjangkau mereka kita bisa segera bertindak dan mencari bantuan, “ demikan papar Ana.
Ana juga menjelaskan bahwa 5 tahun pertama kehidupan adalah periode penting, periode emas bagi perkembangan anak bisa dijadikan landasan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. “Jadi kita musti fokus pada periode emas ini. Sebetulnya yang paling penting adalah pada periode 0-3 tahun. Deteksi dan interfensi dini, jadi gangguan periode ini bisa mengurangi beratnya kondisi anak dan bisa membantu anak menyesuaikan diri dalam kehidupannya. Memang kita tahu penyakit ini susah sekali disembuhkan tapi setidaknya bisa mengurangi beratnya, “ demikian pungkasnya.
Sementara Romo Abi (Fabianus), Ketua Komunitas Percik Insani, mengatakan bahwa komunitas pertama dan utama adalah keluarga dan keluarga adalah tempat belajar segala kehidupan dengan segala dinamikanya, tempat dimana seseorang itu diterima, diampuni juga tempat orang itu dicintai. Ini pengalaman rohani luar biasa yang bisa mengantar seseorang bisa tumbuh secara sehat. Rohaninya sehat.
“Setiap keluarga diawali dengan perkawian dan itu suci adanya karena dilakukan dihadapan pemuka agama, memakai tata perayaan ibadah. Maka dari itu suci pula tiap anak yang lahir dari sebuah perkawinan apa pun keadaan anak itu adalah anugerah Tuhan. Jangan sampai kesulitan hidup mengubah keyakinan dasar ini ataupun situasi anak merubah keyakinan ini, justru keistimewaan anak, itu anugerah Tuhan,” tegasnya.
Lain lagi pengalaman Keni Soeriatmadja, M.Sn (Sasikirana Dance Camp/DokumenTari), penari tradisional sejak 6 tahun ini sudah berteman dengan teman-teman difabel ketika sekolah di SD Tarunabakti Bandung, dia kerap dipanggil ke Wyata Guna di Jalan Pajajaran membacakan buku untuk teman-temannya yang tuna netra. Itu sangat membekas dalam ingatannya.
Apalagi tahun 2002 Keni diberi kesempatan oleh Prof. Wawan untuk menghadiri art for all di Bangkok. Kegiatan yang dibuka oleh pihak kerajaan tersebut bagi Keni adalah sebuah ruang luar biasa yang menggugah dirinya sebagai delegasi internasional karena di sana ada keragaaman bangsa, agama, dan berbagai penyandang.
Kegiatan seni digelar mulai dari 9 pagi hingga 9 malam, menggambar, teater, musik, tari, peserta bebas memilih yang disuka, ular dan gajah pun didatangkan dan di akhir acara mereka sama-sama menerbangkan lentera khas Thailand ke angkasa sebagai simbol harapan, begitu manis dan simbolik, kenang Keni.
Pengalaman itu belasan tahun mengendap dalam pikiran Keni dan ketia ia jadi manajer di NuArt (NuArt Sculpture Park, taman seni patung Nyoman Nuarta di Setraduta Raya, Ciwaruga- Bandung), maka ia juga membuka ruang inklusif berbagai kepentingan, membuka ruang untuk anak, perempuan, manula, dan difabel, karena menurutnya ruang seni sekarang sangat terbatas belum ada yang melibatkan kaum difabel dan caranya sangat khusus.
Belum ada bioskop khusus untuk tuna netra, maka disana ada ruang penayangan film untuk tunanetra dengan Komunitas Harewos, Bioskop Harewos (BH) untuk 100 orang dan 25 pembisik. “Mereka sebelumnya diajak main angklung, melukis, menari, baru nonton film bersama di Bioskop Harewos dengan cara berpasangan dengan pembisik (tukang ngaharewos, bhs Sunda). Sungguh bioskop harewos adalah bioskop teribut, karena rame dengan bisikan (harewos) tapi mereka semua bahagia, dan biasanya antara tunanetra dan pembisiknya ini selanjutnya akan menjadi teman,“ terang Keni. “Ruang Bioskop Harewos ini membangun empati tanpa simpati berlebihan, saya pertama melihat BH nangis terharu,“ kenangnya.
Teman-teman tuna netranya dan anak-anak kecil pun dikenalkan dengan patung-patung karya Nyoman Nuarta, dengan sentuhan. Juga ada yang membacakan buku dan memberikan ilmu, serta mengajarkan huruf braille.
Sebagai programmer, Keni melihat seni ini sebagai media untuk memungkinkan memberi akses menumbuhan empati dan menciptakan ruang aman, membangun jembatan komunikasi dan mempertemukan keragaman.
“Kita sangat mau bekerjsama dengan semua lapisan masyarakat. Kami tak punya teman difabel karena tidak tahu kemana atau bagaimana aksesnya. Jadi mungkin dengan ruang komunikasi seperti ini menjadi peluang yang sangat baik untuk kita bekerja sama lebih banyak lagi dan nantinya gak lagi teman difabel bekerja denga teman difabel, gak lagi perempuan hanya dengan perempuan lagi, tapi bagaimana kita bisa berkolaborasi bersama untuk membangun ruang yang inklusif bersama karena yang kita lakukan di dunia seni dan di ilmu lain tujuannya adalah kemanusiaan, “ pungkas Keni mengundang tepuk riuh peserta sawala maya (webinar).
Pembicara pamungkas, Fahdi Hasan – koordinator divisi pendidikan KPAS - Ternate, dengan tajuk “Kreativitas Tanpa Batas”, mengatakan dari sisi eksplorasi, pihaknya melihat kecerdasan adalah kelebihannnya masing-masing bukan sisi kelemahan mereka/ketidakbisaan mereka. “Dari sisi media kami juga mengeksplorasi beragam baik bahan yang didaur ulang maupun bahan-bahan sederhana yang ditemukan di tempat masing-masing. Soal ruang kami berikan ruang yang sebebas-bebasnya dimana akami mengakomodir pikiran-pikiran yang kreatif terdiri dari rumah mereka, tempat ruang publik, kelas, dsb, dan ruang kelas bagi kami adalah semua ruang dimana kita bisa berdiri, duduk. dimana bisa berlatih dengan semua pihak hingga kami namakan ruang belajar bersama,” jelas Fahdi.
Dalam menerapkan materi garapan pembelajaran, KPAS menempatkan anak bukan sebagai observasi. “Kita tak menempatkan itu lagi karena yang saya lihat betapa banyak orang tua dan pemerhati, juga praktisi perlu diobservasi. Hingga level kita mengadvokasi tubuh kita masing-masing itu sampai pada inklusi yang dimaksudkan, lalu yang menjadi inklusi dan tidak inklusi itu siapa,” Fahdi berapi-api. Jadi menurutnya, bukan anak yang menjadi bahan observasi utama. “Kita bayangkan seperti anda membayangkan mengadvokasi petani itu kan terakomodir keterlibatan banyak pihak, bukan hanya petani semata,” imbuhnya.
Fahdi juga menjelaskan sistem pendidikan KPAS, ada tataboga, seni murni, seni pertunjukan, kelas kepribadian, kewirausahaan dan materi pembelajaran ini tentu ujungnya menuju kepada quality of life. Sehingga pihaknya disini membuat kelas, membuat ruang inklusi sendiri, sehingga teman-temannya berkolaborasi. Dalam komunitas ini orang tua sendiri yang melakukan proses pendampingan, bukan penitipan. Di kelas tataboga misalnya dibimbing langsung oleh orang tuanya sendiri. Orang tua di sini terlibat sebagai pemateri dan sebagai pemerhati juga. “Jadi kami melakukan proyeksi sebuah sistem pendidikan yang kami sebut segitiga yaitu ada orang tua, pemerhati dan anak, “ jelas Fahdi.
Hingga berjalan, lingkaran berputar, dimana orang tua belajar untuk memahami anaknya lalu bagaimana jalan keluarnya untuk mengembangkan mereka. Demikian juga pemerhati berkolaborasi dengan orang tua dan anak. Di sini Fahdi membangun ruang inklusi dengan cara belajar bersama bukan memberi materi dari luar.
Fahdi juga tak setuju memberi materi proses pembelajaran tentang pemahaman verbal dan non verbalistik menempatkan anak sebagai bahan observasi misalnya dari segi tatabahasa, memaksakan pemahaman bahasa pada mereka seperti yang kita maksudkan, baik dalam bahasa Indonesia atau lainnya. Misalnya menyuruh mereka mengatakan huruf “A” sedangkan dalam otentik ketubuhan mereka huruf “A” bukan diucapkan secara verbal tapi dengan bahasa khusus/isyarat yang harus mereka pelajari sebelumnya.
Bahkan kata Fahdi, kalau otentik pikiran kita huruf abzad itu dari A - Z tapi teman-teman inklusinya punya lebih dari sekedar itu, hingga disebutnya non verbalistik. Mereka punya sistem kebudayaannya sendiri, ada sistem bahasa, pemerintahan, dsb. “Untuk memahami bahasa Jepang kita perlu memahami sistem bahasa Jepang, tatabahasa dan semiotiknya juga Eropa. Kalau di planet kami, kami bisa bahasa Indonesia dan apapun, tapi yang jadi soal adalah setiap manusia tak bisa memahami bahasa kami, “ sindirnya.
Seni sebagai jendela masuk – seni ini bukan soal hak kepemilikan seorang seniman tapi bagaimana seni berbicara dalam persepektif bahasa-bahasa atau kalimat-kalimat non verbal. Mereka juga memiliki kebudayaan yang tidak terbatas, disana mereka punya ruang dengan kebudayaan abstrak. “Jadi istilah autis dan disabilitas itu hanya sampai pada diagnosa saja, tapi lebih dari diagnosa adalah bagaimana kita mampu melihat planet mereka,” demikian pungkas Fahdi. (Asep GP)*** Tatarjabar.com February 21, 2021 CB Blogger Indonesia
Kreativitas Tanpa Batas
Posted by
Tatarjabar.com on Sunday, February 21, 2021
Difabel sendiri adalah istilah yang lebih halus untuk menggambarkan kondisi seseorang yang mengalami disabilitas. Difabel mengacu pada keterbatasan peran penyandang disabilitas dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari karea ketidakmampuan yang mereka miliki.
Maksud dan tujuan acara ini mengajak masyarakat luas agar paham terhadap komunitas berkebutuhan khusus yang seharusnya dibantu, diapresiasi, jangan malah ditelantarkan karena mereka sama dengan kita, manusia yang ingin hidup sewajarnya selaku difabel.
“Kita harus membantu mengapresiasi mereka bukan dilecehkan apalagi dikucilkan dan saya mengajak mereka berprestasi bukan mengurungdiri memikirkan segala kekurangan,” demikian kata Prof. Setiawan Sabana yang Si Empunya hajat.
Lebih jauh Kang Wawan yang dalam acara itu juga menjadi Pembicara Kunci mengatakan, dirinya lebih banyak berkenalan dengan mereka itu lewat forum-forum seperti ini. Guru Besar Seni Rupa ITB ini pernah diundang oleh dekan Fakulty of Arts Chulalongkorn University Bangkok-Thailand tahun 2002, berstatus sebagai international observer (pengamat internasional, termasuk dari Jepang dan Malaysia ) di acara bertajuk “Art for All“ (seni untuk segala). “Selain mengadakan seminar juga ada workshop, dan di sana saya lihat ada pendekatan, yang mana waktu itu ada 100 kaum difabel dari seluruh Thailand didekati dengan seni (seni rupa, musik, teater, dll), selama 10 hari dan tiap jam 6 pagi melakukan senam bersama".
Kang Wawan juga sempat ikut international workshop dan seminar di YPAC, Yayasan Peduli Anak Cacat –Surakarta. Waktu itu Kang Wawan berceramah di depan ibu-ibu yang menggunakan kursi roda- dan peristiwa itu makin membawanya berkenalan dengan kaum penyandang cacat, istilahnya waktu itu.
Lalu Kang Wawan pun jadi bagian Art Terapi Center (ATC) Widyatama bersama Doktor Primadi Trabani (Almarhum). Di situ ada perkuliahan lewat seni, desain, dan musik, lalu wisuda lulusan ATC yang sangat unik, khusus dan meriah. “Sungguh pengalaman yang membuat saya jadi sangat istimewa dan ketika ATC mengadakan seminar nasional tentang difabilitas saya menjadi salah sorang pembicara dengan tajuk “Bagaimana menjadi Stevie Wonder” (penyanyi tuna netra bersuara emas), dan sejak itu saya tahu persoalan penyandang cacat ini jadi mengemuka, jadi mulai terlihat banyak pihak yang peduli,“ kenangnya bahagia.
Terlebih lagi hal yang terkait dengan disabilitas ini dilakukan juga di kampusnya sendiri, FSRD ITB, oleh yang sekarang bernama lengkap Dr. .Anne Nurfarina, S.Sn., M.Sn, juga oleh Doktor Trijaka, termasuk sekarang sedang berlangsung penelitian tentang fasilitas disabilitas oleh Mita Rahmanita mahasiswa FSRD 2016. “Jadi alhamdulillah ITB sudah melibatkan topik-topik seperti ini,“ ujarnya bangga campur haru.
Lalu Kang Wawan juga pernah memberi tajuk “2 (Dua) Diana”, karena waktu itu bekerja sama dalam menggerakkan kaum difabel ini dengan dua orang ibu yang bernama Diana dan sempat mengadakan kegiatan bersama di Cikole-Lembang hingga kegiatan 2 D ini mendapat perhatian, sampai akhirnya 2D ini berpisah dengan orientasinya masing-masing.
Sedangkan Kang Wawan berlanjut menjadi Penasihat Komunitas Peduli Anak Special (KPAS), hingga sekarang.
Sebagai epilog Kang Wawan menegaskan bahwa acara webinar ini penting dilaksanakan secara berkala agar masyarakat memiliki pengetahuan dan pemahaman serta apresiasi tentang KPAS dengan berbagai kegiatannya, agar publik kian memahami keberadaan orang yang berkebutuhan khusus. Demikian pungkasnya sambil memutar lagu I just call to say I love you - Stevie Wonder. Juga video pendek anak bersajak yang intinya berpesan jangan menangisi keadaan hidup, manusia diciptakan berbeda-beda, dan jangan mencaci kalau bisa mengapresiasi.
Pendekatan Lewat Seni
Dalam Dialog, kang Wawan juga menegaskan, selama ini pendekatan lewat seni selalu diandalkan untuk menarik perhatian penyandang difabel, tapi sebenarnya pendekatan olahraga dan pendekatan lain di luar seni pun bisa dilakukan, seperti yang dilakukan di Thailand. Jadi intinya berbagai pendekatan boleh dicoba, tidak selalu satu metode, yang penting melahirkan satu kegiatan yang manfaat. “Mungkin karena seni berurusan dengan hal-hal sublim yang kreativitasnya sangat terkait dengan kejiwaan mereka, hingga umumnya seni dilakukan untuk mendekati mereka,“ demikian katanya.
Prof. Anna Alisjahbana, dokter spesialis anak Unpad, juga pendiri Yayasan Surya Kanti (Pusat pengembangan Potensi Anak), sebagai narasumber, berbicara tentang “Deteksi Dini Dari Pandangan Medis”.
Sebagai dokter anak, Prof. Ana melihat banyak sekali yang sudah terlanjur, maka pada tahun 96 mendirikan Program Deteksi Dini dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak sebagai usaha untuk mencegah penyakit ini atau sedikitnya bisa meringankan beban mereka dan akhirnya bisa mengembangkan potensi pada tiap anak.
Ana melihat kenyataan, anak bekebutuhan khusus (ABK) itu bervariasi, satu penyakit pun gejalanya bisa bermacam-macam dan biasanya menghadapi segala aspek perkembangan. Hampir tidak ada ABK yang tidak punya masalah di satu aspek misalnya tidak bisa bicara, kebanyakan lebih dari satu aspek perkembangan. Jadi kata Ana, skrining perlu dilakukan sedini mungkin dengan mengenal dan memantau pola perkembangan anak. “Skrining perlu dilanjutkan dengan stimulasi dan intervensi dan memanfaatkan periode emosi anak, “ terangnya .
Pada usia 0-5 tahun di saat otak berkembang pesat, saat itulah intervensi akan banyak manfaatnya dan Yayasan Surya Kanti (YSK) - Pusat Pengembangan Potensi Anak yang ia dirikan tahun 1984 bertujuan meningkatkan kualitas hidup anak-anak berkebutuhan khusus, selain memberi terapi YSK juga mempromosikan upaya pengenalan pencegahan disabilitas melalui pemantauan perkembangan anak.
“Kami membuat alat pemantau tepat guna untuk membantu para kader dan petugas kesehatan terutama orang tua, dan mereka yang berada di daerah yang kurang terjangkau oleh pelayanan kesehatan untuk bisa mengenal dini anak lambat berkembang. Karena anak lambat berkembang itu satu poksi dengan ABK sehingga kalau kita bisa menjangkau mereka kita bisa segera bertindak dan mencari bantuan, “ demikan papar Ana.
Ana juga menjelaskan bahwa 5 tahun pertama kehidupan adalah periode penting, periode emas bagi perkembangan anak bisa dijadikan landasan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. “Jadi kita musti fokus pada periode emas ini. Sebetulnya yang paling penting adalah pada periode 0-3 tahun. Deteksi dan interfensi dini, jadi gangguan periode ini bisa mengurangi beratnya kondisi anak dan bisa membantu anak menyesuaikan diri dalam kehidupannya. Memang kita tahu penyakit ini susah sekali disembuhkan tapi setidaknya bisa mengurangi beratnya, “ demikian pungkasnya.
Sementara Romo Abi (Fabianus), Ketua Komunitas Percik Insani, mengatakan bahwa komunitas pertama dan utama adalah keluarga dan keluarga adalah tempat belajar segala kehidupan dengan segala dinamikanya, tempat dimana seseorang itu diterima, diampuni juga tempat orang itu dicintai. Ini pengalaman rohani luar biasa yang bisa mengantar seseorang bisa tumbuh secara sehat. Rohaninya sehat.
“Setiap keluarga diawali dengan perkawian dan itu suci adanya karena dilakukan dihadapan pemuka agama, memakai tata perayaan ibadah. Maka dari itu suci pula tiap anak yang lahir dari sebuah perkawinan apa pun keadaan anak itu adalah anugerah Tuhan. Jangan sampai kesulitan hidup mengubah keyakinan dasar ini ataupun situasi anak merubah keyakinan ini, justru keistimewaan anak, itu anugerah Tuhan,” tegasnya.
Lain lagi pengalaman Keni Soeriatmadja, M.Sn (Sasikirana Dance Camp/DokumenTari), penari tradisional sejak 6 tahun ini sudah berteman dengan teman-teman difabel ketika sekolah di SD Tarunabakti Bandung, dia kerap dipanggil ke Wyata Guna di Jalan Pajajaran membacakan buku untuk teman-temannya yang tuna netra. Itu sangat membekas dalam ingatannya.
Apalagi tahun 2002 Keni diberi kesempatan oleh Prof. Wawan untuk menghadiri art for all di Bangkok. Kegiatan yang dibuka oleh pihak kerajaan tersebut bagi Keni adalah sebuah ruang luar biasa yang menggugah dirinya sebagai delegasi internasional karena di sana ada keragaaman bangsa, agama, dan berbagai penyandang.
Kegiatan seni digelar mulai dari 9 pagi hingga 9 malam, menggambar, teater, musik, tari, peserta bebas memilih yang disuka, ular dan gajah pun didatangkan dan di akhir acara mereka sama-sama menerbangkan lentera khas Thailand ke angkasa sebagai simbol harapan, begitu manis dan simbolik, kenang Keni.
Pengalaman itu belasan tahun mengendap dalam pikiran Keni dan ketia ia jadi manajer di NuArt (NuArt Sculpture Park, taman seni patung Nyoman Nuarta di Setraduta Raya, Ciwaruga- Bandung), maka ia juga membuka ruang inklusif berbagai kepentingan, membuka ruang untuk anak, perempuan, manula, dan difabel, karena menurutnya ruang seni sekarang sangat terbatas belum ada yang melibatkan kaum difabel dan caranya sangat khusus.
Belum ada bioskop khusus untuk tuna netra, maka disana ada ruang penayangan film untuk tunanetra dengan Komunitas Harewos, Bioskop Harewos (BH) untuk 100 orang dan 25 pembisik. “Mereka sebelumnya diajak main angklung, melukis, menari, baru nonton film bersama di Bioskop Harewos dengan cara berpasangan dengan pembisik (tukang ngaharewos, bhs Sunda). Sungguh bioskop harewos adalah bioskop teribut, karena rame dengan bisikan (harewos) tapi mereka semua bahagia, dan biasanya antara tunanetra dan pembisiknya ini selanjutnya akan menjadi teman,“ terang Keni. “Ruang Bioskop Harewos ini membangun empati tanpa simpati berlebihan, saya pertama melihat BH nangis terharu,“ kenangnya.
Teman-teman tuna netranya dan anak-anak kecil pun dikenalkan dengan patung-patung karya Nyoman Nuarta, dengan sentuhan. Juga ada yang membacakan buku dan memberikan ilmu, serta mengajarkan huruf braille.
Sebagai programmer, Keni melihat seni ini sebagai media untuk memungkinkan memberi akses menumbuhan empati dan menciptakan ruang aman, membangun jembatan komunikasi dan mempertemukan keragaman.
“Kita sangat mau bekerjsama dengan semua lapisan masyarakat. Kami tak punya teman difabel karena tidak tahu kemana atau bagaimana aksesnya. Jadi mungkin dengan ruang komunikasi seperti ini menjadi peluang yang sangat baik untuk kita bekerja sama lebih banyak lagi dan nantinya gak lagi teman difabel bekerja denga teman difabel, gak lagi perempuan hanya dengan perempuan lagi, tapi bagaimana kita bisa berkolaborasi bersama untuk membangun ruang yang inklusif bersama karena yang kita lakukan di dunia seni dan di ilmu lain tujuannya adalah kemanusiaan, “ pungkas Keni mengundang tepuk riuh peserta sawala maya (webinar).
Pembicara pamungkas, Fahdi Hasan – koordinator divisi pendidikan KPAS - Ternate, dengan tajuk “Kreativitas Tanpa Batas”, mengatakan dari sisi eksplorasi, pihaknya melihat kecerdasan adalah kelebihannnya masing-masing bukan sisi kelemahan mereka/ketidakbisaan mereka. “Dari sisi media kami juga mengeksplorasi beragam baik bahan yang didaur ulang maupun bahan-bahan sederhana yang ditemukan di tempat masing-masing. Soal ruang kami berikan ruang yang sebebas-bebasnya dimana akami mengakomodir pikiran-pikiran yang kreatif terdiri dari rumah mereka, tempat ruang publik, kelas, dsb, dan ruang kelas bagi kami adalah semua ruang dimana kita bisa berdiri, duduk. dimana bisa berlatih dengan semua pihak hingga kami namakan ruang belajar bersama,” jelas Fahdi.
Dalam menerapkan materi garapan pembelajaran, KPAS menempatkan anak bukan sebagai observasi. “Kita tak menempatkan itu lagi karena yang saya lihat betapa banyak orang tua dan pemerhati, juga praktisi perlu diobservasi. Hingga level kita mengadvokasi tubuh kita masing-masing itu sampai pada inklusi yang dimaksudkan, lalu yang menjadi inklusi dan tidak inklusi itu siapa,” Fahdi berapi-api. Jadi menurutnya, bukan anak yang menjadi bahan observasi utama. “Kita bayangkan seperti anda membayangkan mengadvokasi petani itu kan terakomodir keterlibatan banyak pihak, bukan hanya petani semata,” imbuhnya.
Fahdi juga menjelaskan sistem pendidikan KPAS, ada tataboga, seni murni, seni pertunjukan, kelas kepribadian, kewirausahaan dan materi pembelajaran ini tentu ujungnya menuju kepada quality of life. Sehingga pihaknya disini membuat kelas, membuat ruang inklusi sendiri, sehingga teman-temannya berkolaborasi. Dalam komunitas ini orang tua sendiri yang melakukan proses pendampingan, bukan penitipan. Di kelas tataboga misalnya dibimbing langsung oleh orang tuanya sendiri. Orang tua di sini terlibat sebagai pemateri dan sebagai pemerhati juga. “Jadi kami melakukan proyeksi sebuah sistem pendidikan yang kami sebut segitiga yaitu ada orang tua, pemerhati dan anak, “ jelas Fahdi.
Hingga berjalan, lingkaran berputar, dimana orang tua belajar untuk memahami anaknya lalu bagaimana jalan keluarnya untuk mengembangkan mereka. Demikian juga pemerhati berkolaborasi dengan orang tua dan anak. Di sini Fahdi membangun ruang inklusi dengan cara belajar bersama bukan memberi materi dari luar.
Fahdi juga tak setuju memberi materi proses pembelajaran tentang pemahaman verbal dan non verbalistik menempatkan anak sebagai bahan observasi misalnya dari segi tatabahasa, memaksakan pemahaman bahasa pada mereka seperti yang kita maksudkan, baik dalam bahasa Indonesia atau lainnya. Misalnya menyuruh mereka mengatakan huruf “A” sedangkan dalam otentik ketubuhan mereka huruf “A” bukan diucapkan secara verbal tapi dengan bahasa khusus/isyarat yang harus mereka pelajari sebelumnya.
Bahkan kata Fahdi, kalau otentik pikiran kita huruf abzad itu dari A - Z tapi teman-teman inklusinya punya lebih dari sekedar itu, hingga disebutnya non verbalistik. Mereka punya sistem kebudayaannya sendiri, ada sistem bahasa, pemerintahan, dsb. “Untuk memahami bahasa Jepang kita perlu memahami sistem bahasa Jepang, tatabahasa dan semiotiknya juga Eropa. Kalau di planet kami, kami bisa bahasa Indonesia dan apapun, tapi yang jadi soal adalah setiap manusia tak bisa memahami bahasa kami, “ sindirnya.
Seni sebagai jendela masuk – seni ini bukan soal hak kepemilikan seorang seniman tapi bagaimana seni berbicara dalam persepektif bahasa-bahasa atau kalimat-kalimat non verbal. Mereka juga memiliki kebudayaan yang tidak terbatas, disana mereka punya ruang dengan kebudayaan abstrak. “Jadi istilah autis dan disabilitas itu hanya sampai pada diagnosa saja, tapi lebih dari diagnosa adalah bagaimana kita mampu melihat planet mereka,” demikian pungkas Fahdi. (Asep GP)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment