Friday, March 26, 2021
Polisi Tidur Konon Berasal Dari Bahasa Inggris Sleeping Policeman - Foto Istimewa |
Entah dari mana istilah polisi tidur itu berasal. Tapi seperti yang sering kita lihat, polisi tidur berupa bagian jalan yang ditinggikan dengan tambahan aspal atau semen yang dipasang melintang di jalan untuk memperlambat laju kendaraan.
Ketinggian polisi tidur diatur sedemikian rupa dan biasanya terdapat rambu-rambu pemberitahuan terlebih dahulu mengenai adanya polisi tidur ini.
Polisi tidur juga dilengkapi dengan marka jalan dengan garis serong berwarna putih atau kuning yang kontras sebagai penanda. Konsep desain polisi tidur pertama kali diciptakan pada 1953 oleh Arthur Holly Compton, seorang fisikawan peraih Nobel. Polisi tidur yang ia namakan traffic control bump itu didesain setelah melihat pengendara yang melewati jalanan di depan Washington University, tempatnya bekerja.
Konon polisi tidur berasal dari bahasa Inggris yaitu Sleeping Policeman. Menurut Oxford English Dictionary edisi 1973, Sleeping Policeman diartikan sebagai "a bump built across roads, esp in housing estates, to deter motorists from speeding (sebuah gundukan yang dibangun melintang jalan, terutama di perumahan, untuk mencegah pengendara bermotor melaju kencang)".
Mungkin, istilah Sleeping Policeman inilah yang kemudian diadopsi ke dalam bahasa Indonesia menjadi "polisi tidur", dan menyebar sampai sekarang.
Beberapa sumber lain pun mengatakan, A. Teeuw memperkenalkan polisi tidur kepada masyarakat Belanda dalam Kamus Indonesia-Belanda (2002) dengan sebutan, verkeersdrempel.
Sedangkan Alan M. Stevens dan A. Ed Schmidgall-Tellings pun mencatat polisi tidur dalam Kamus Lengkap Indonesia-Inggris (2005), dan meng-Inggris-kannya menjadi traffic bump.
Di Indonesia sendiri, istilah polisi tidur telah ada sejak tahun 1984. Polisi tidur sudah dicatat Abdul Chaer dalam Kamus Idiom Bahasa Indonesia tahun 1984.
Jangan Sembarang Membuat Polisi Tidur
Selama ini banyak masyarakat yang membuat polisi tidur sesuka hati tanpa mempertimbangkan faktor keselamatan pengendara, sehingga yang tadinya berniat demi keselamatan bersama yang terjadi justru banyak yang celaka.
Membuat polisi tidur tidak boleh sembarangan, semua merujuk pada aturan yang ada, seperti ukuran, ketinggian, sudut dan juga harus diberi warna sehingga bisa terlihat jelas oleh pengendara. Selain itu juga ada aturan yang menyatakan tidak semua jalan di perkampungan masuk dalam kriteria sebagai jalan yang perlu diberikan polisi tidur.
Seperti tertera dalam Peraturan Menteri Perhubungan No 82 Tahun 2018 Tentang Alat Pengendali dan Pengaman Pemakai Jalan yaitu Pasal 38 disebutkan bahwa yang berhak memasang dan menghapus Polisi Tidur adalah Direktur Jenderal untuk jalan nasional di luar wilayah Jabodetabek, Kepala Badan untuk jalan nasional yang berada di wilayah Jabodetabek. Sedangkan Gubernur, Bupati dan Walikota berwenang di area teritorialnya masing masing.
Di PM No 82 dijelaskan juga tiga jenis Polisi Tidur yang diakui yakni Speed Bumb, Speed Hump dan Speed Table.
Di dalam pasal 1 PM tersebut dijelaskan maksud dari masing masing alat pembatas kecepatan tersebut. Speed Bumb merupakan alat yang digunakan hanya pada area parkir, jalan privat, atau jalan lingkungan terbatas dengan kecepatan operasional dibawah 10 km/jam. Kemudian speed hump adalah alat pembatas kecepatan yang digunakan pada jalan kolektor, jalan lokal dan jalan lingkungan, serta tempat penyeberangan jalan, dengan kecepatan di bawah 40 km/jam.
Sedangkan speed table memiliki ukuran tinggi antara 8-9 cm, lebar bagian atas 660 cm, dan kelandaian paling tinggi 15 persen. Polisi tidur jenis ini tidak hanya berfungsi sebagai pembatas kecepatan, tapi area ini nantinya juga akan dimanfaatkan sebagai zebra cross. Sehingga bisa meningkatkan rasa aman bagi pengguna jalan, khususnya pejalan kaki yang mau menyeberang.
Nah! Bagi siapa saja yang tak mengindahkan aturan tersebut, maka telah disiapkan ketentuan pidana sesuai Pasal 28 ayat (1) dan (2) dengan ancaman hukuman pidana.
Kadishub Kota Bandung, Ricky Gustiadi, Tidak Boleh Sembarangan Membuat Polisi Tidur |
Sebagaimana diterangkan dengan rinci pada Pasal 274 dan 275 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Umum yaitu: "Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah)".
Juga perlu dicatat, keterangan dari Kadishub Kota Bandung, Ricky Gustiadi, yang berhasil ditemui ditengah kesibukannya di Balai Pengujian Kendaraan Bermotor Jl. Sor GBLA, Rancabolang, Gedebage, Kota Bandung. “Jika ingin membuat polisi tidur tidak boleh sembarangan, ada kajiannya, ada usulannya. Jadi Masyarakat yang ingin membuat polisi tidur bisa mengusulkan ke RT/RW lalu ke kelurahan setelah disetujui nanti dibicarakan di Musrenbang (Musyawarah Rencana Pembangunan) di Musrenbang itu kan oleh Bappelitbang (Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan) nantinya apakah diserahkan ke dinas teknis PU atau ke dinas teknis Dishub, mangga nanti tergantung disetujui oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang diketua Sekda,” jelas Kadishub Kota Bandung.
Tapi kalau memang dipercaya ka dinas teknis dishub, “Ya saya mah wel come saja. Kalau bahasa tegasnya mah memang ke Dishub karena peraturannya juga dari kementerian perhubungan, “pungkasnya. (Anto Ramadhan/AGP)***
Mau Bikin Polisi Tidur? Cermati Dulu Kajian dan Aturannya!
Posted by
Tatarjabar.com on Friday, March 26, 2021
Polisi Tidur Konon Berasal Dari Bahasa Inggris Sleeping Policeman - Foto Istimewa |
Entah dari mana istilah polisi tidur itu berasal. Tapi seperti yang sering kita lihat, polisi tidur berupa bagian jalan yang ditinggikan dengan tambahan aspal atau semen yang dipasang melintang di jalan untuk memperlambat laju kendaraan.
Ketinggian polisi tidur diatur sedemikian rupa dan biasanya terdapat rambu-rambu pemberitahuan terlebih dahulu mengenai adanya polisi tidur ini.
Polisi tidur juga dilengkapi dengan marka jalan dengan garis serong berwarna putih atau kuning yang kontras sebagai penanda. Konsep desain polisi tidur pertama kali diciptakan pada 1953 oleh Arthur Holly Compton, seorang fisikawan peraih Nobel. Polisi tidur yang ia namakan traffic control bump itu didesain setelah melihat pengendara yang melewati jalanan di depan Washington University, tempatnya bekerja.
Konon polisi tidur berasal dari bahasa Inggris yaitu Sleeping Policeman. Menurut Oxford English Dictionary edisi 1973, Sleeping Policeman diartikan sebagai "a bump built across roads, esp in housing estates, to deter motorists from speeding (sebuah gundukan yang dibangun melintang jalan, terutama di perumahan, untuk mencegah pengendara bermotor melaju kencang)".
Mungkin, istilah Sleeping Policeman inilah yang kemudian diadopsi ke dalam bahasa Indonesia menjadi "polisi tidur", dan menyebar sampai sekarang.
Beberapa sumber lain pun mengatakan, A. Teeuw memperkenalkan polisi tidur kepada masyarakat Belanda dalam Kamus Indonesia-Belanda (2002) dengan sebutan, verkeersdrempel.
Sedangkan Alan M. Stevens dan A. Ed Schmidgall-Tellings pun mencatat polisi tidur dalam Kamus Lengkap Indonesia-Inggris (2005), dan meng-Inggris-kannya menjadi traffic bump.
Di Indonesia sendiri, istilah polisi tidur telah ada sejak tahun 1984. Polisi tidur sudah dicatat Abdul Chaer dalam Kamus Idiom Bahasa Indonesia tahun 1984.
Jangan Sembarang Membuat Polisi Tidur
Selama ini banyak masyarakat yang membuat polisi tidur sesuka hati tanpa mempertimbangkan faktor keselamatan pengendara, sehingga yang tadinya berniat demi keselamatan bersama yang terjadi justru banyak yang celaka.
Membuat polisi tidur tidak boleh sembarangan, semua merujuk pada aturan yang ada, seperti ukuran, ketinggian, sudut dan juga harus diberi warna sehingga bisa terlihat jelas oleh pengendara. Selain itu juga ada aturan yang menyatakan tidak semua jalan di perkampungan masuk dalam kriteria sebagai jalan yang perlu diberikan polisi tidur.
Seperti tertera dalam Peraturan Menteri Perhubungan No 82 Tahun 2018 Tentang Alat Pengendali dan Pengaman Pemakai Jalan yaitu Pasal 38 disebutkan bahwa yang berhak memasang dan menghapus Polisi Tidur adalah Direktur Jenderal untuk jalan nasional di luar wilayah Jabodetabek, Kepala Badan untuk jalan nasional yang berada di wilayah Jabodetabek. Sedangkan Gubernur, Bupati dan Walikota berwenang di area teritorialnya masing masing.
Di PM No 82 dijelaskan juga tiga jenis Polisi Tidur yang diakui yakni Speed Bumb, Speed Hump dan Speed Table.
Di dalam pasal 1 PM tersebut dijelaskan maksud dari masing masing alat pembatas kecepatan tersebut. Speed Bumb merupakan alat yang digunakan hanya pada area parkir, jalan privat, atau jalan lingkungan terbatas dengan kecepatan operasional dibawah 10 km/jam. Kemudian speed hump adalah alat pembatas kecepatan yang digunakan pada jalan kolektor, jalan lokal dan jalan lingkungan, serta tempat penyeberangan jalan, dengan kecepatan di bawah 40 km/jam.
Sedangkan speed table memiliki ukuran tinggi antara 8-9 cm, lebar bagian atas 660 cm, dan kelandaian paling tinggi 15 persen. Polisi tidur jenis ini tidak hanya berfungsi sebagai pembatas kecepatan, tapi area ini nantinya juga akan dimanfaatkan sebagai zebra cross. Sehingga bisa meningkatkan rasa aman bagi pengguna jalan, khususnya pejalan kaki yang mau menyeberang.
Nah! Bagi siapa saja yang tak mengindahkan aturan tersebut, maka telah disiapkan ketentuan pidana sesuai Pasal 28 ayat (1) dan (2) dengan ancaman hukuman pidana.
Kadishub Kota Bandung, Ricky Gustiadi, Tidak Boleh Sembarangan Membuat Polisi Tidur |
Sebagaimana diterangkan dengan rinci pada Pasal 274 dan 275 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Umum yaitu: "Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah)".
Juga perlu dicatat, keterangan dari Kadishub Kota Bandung, Ricky Gustiadi, yang berhasil ditemui ditengah kesibukannya di Balai Pengujian Kendaraan Bermotor Jl. Sor GBLA, Rancabolang, Gedebage, Kota Bandung. “Jika ingin membuat polisi tidur tidak boleh sembarangan, ada kajiannya, ada usulannya. Jadi Masyarakat yang ingin membuat polisi tidur bisa mengusulkan ke RT/RW lalu ke kelurahan setelah disetujui nanti dibicarakan di Musrenbang (Musyawarah Rencana Pembangunan) di Musrenbang itu kan oleh Bappelitbang (Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan) nantinya apakah diserahkan ke dinas teknis PU atau ke dinas teknis Dishub, mangga nanti tergantung disetujui oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang diketua Sekda,” jelas Kadishub Kota Bandung.
Tapi kalau memang dipercaya ka dinas teknis dishub, “Ya saya mah wel come saja. Kalau bahasa tegasnya mah memang ke Dishub karena peraturannya juga dari kementerian perhubungan, “pungkasnya. (Anto Ramadhan/AGP)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment