Tuesday, March 30, 2021
Nunung Sanusi, Menulis Tesis Filosofi Air Dalam Budaya Sunda |
Air adalah kehidupan, semua makhluk hidup pasti membutuhkan air dalam kehidupannya. Saking penting dan istimewanya air, karuhun/leluhur Sunda selalu melibatkan air dalam dalam pepatah-petitih, ungkapan, peribahasa, atau ditulis dalam naskah-naskah kuna juga dalam sastra lisan seperti pantun, dongeng, cerita rakyat, dsb. Dan nilai-nilai falsafah yang terkandung di dalamnya ternyata tak lekang oleh zaman tak luntur oleh waktu, masih relevan dan bermanfaat diterapkan dalam kehidupan sekarang.
Contohnya dalam ungkapan, kapamalian (tabu), mitos, peribahasa dan petuah, misalnya, orang Sunda melarang pergi ke air menjelang maghrib sebab akan dirampas sandekala (dalam arti ilmiah pergantian waktu dari siang ke malam/sandekala, tak baik bagi kesehatan) atau anak gadis dilarang mandi di pancuran tengah hari karena akan diganggu siluman (Mandi di tengah terik matahari akan merusak kesehatan). Apalagi main di mata air sangat dilarang karena banyak silumannya (akan mengotori dan merusaka mata air).
Leluhur Sunda dalam memberi petuah dalam peribahasa pun selalu menganalogikan (bermetafora) dengan air, contohnya, herang caina beunang laukna (ikan didapat airnya pun tetap bening- mendapatkan hasil dengan tidak merugikan orang lain). Atau, kumaha geletuk batuna, kecebur caina (bagaimana geletuk (suara batu bergelinding) batunya, kecebur (suara air kejatuhan benda berat) airnya – bagaimana nanti saja). Kawas cai jeung minyak (bagai air dengan minyak – tidak pernah bisa bersatu), kudu bisa pindah cai pindah tampian ( kalau pindah tempat harus menyesuaikan dengan adat kebiasaan setempat), nyiuk cai ku ayakan (mengambil air dengan sair/ayakan), dan banyak lagi.
Saking suburnya Tatar Sunda karena tiga perempat bagian wilayahnya merupakan pegunungan, maka dijumpai banyak sungai dan air pun melimpah. Dan hal ini mengilhami penduduknya untuk memberi nama sungai dan tempat tinggal mereka dengan awalan ci/cai yang dalam bahasa Indonesia berarti air, seperti untuk nama sungai, Cimanuk, Cisanggarung, Ciwulan, Citanduy, Ciliwung, Cisadane, Cilaki, Cimandiri, Ciujung, dsb. Untuk nama-nama tempat, Cimahi, Cicalengka, Ciamis, Cibinong, Cibeureum, Cianjur, Cibeo, dsb.
Saking suburnya Tatar Sunda karena tiga perempat bagian wilayahnya merupakan pegunungan, maka dijumpai banyak sungai dan air pun melimpah. Dan hal ini mengilhami penduduknya untuk memberi nama sungai dan tempat tinggal mereka dengan awalan ci/cai yang dalam bahasa Indonesia berarti air, seperti untuk nama sungai, Cimanuk, Cisanggarung, Ciwulan, Citanduy, Ciliwung, Cisadane, Cilaki, Cimandiri, Ciujung, dsb. Untuk nama-nama tempat, Cimahi, Cicalengka, Ciamis, Cibinong, Cibeureum, Cianjur, Cibeo, dsb.
Mang Nusa (Nunung Sanusi) menuangkan air ke hulu Sungai Citarum, kudu dijaga jeung diriksa |
Dalam konteks sejarah raja-raja Sunda zaman dulu terutama Siliwangi, selalu menjaga dan merawat air terutama di sungapannya, di hulunya, mata airnya. Maka dibuatlah reservoar air seperti Leuweung Tutupan, Leuweung Larangan. Begitu juga jauh sebelumnya di zaman Tarumanagara (abad 4-5 M) yang dipengaruhi Budaya Hindu yang kuat, sungai sangat sakral dan suci seperti sungai Gangga di India, Citarum pun menjadi Cikahuripan Tarumanagara dan di zaman Pajajaran menjadi batas Kerajaan Sunda (Pajajaran) dan Galuh.
Maka tak heran kalau di patilasan-patilasan raja-raja dulu dan di Kabuyutan selalu dekat mata air atau hulu sungai. Seperti hulu sungai Citarum di Cisanti, di situ ada tempat mandi Prabu Siliwangi dan disitu juga ada sumber mata air yang mengalir sampai Muara Gembong sejauh 297 km (sumber lain 300 km) melewati 13 kab/kota di Jawa Barat.
Citu Cisanti yang berada di Desa Tarumajaya Kecamatan Kertasari (Pangalengan), Kabupaten Bandung ini merupakan danau yang sudah berumur lama. Itu diperkuat oleh isi naskah kuna Bujangga Manik (Abad 15 M), Bujangga Manik adalah seorang pengelana bergelar Pangeran Jaya Pakuan dari Kerajaan Sunda/Pakuan Pajajaran yang berkeliling ke seluruh Jawa-Bali dan pernah singgah di hulu sungai Citarum.
Meuntas aing ka Cikarencang, meuntas aing di Cisanti, sananjak ka Gunung Wayang, sadiri aing tidinya cunduk ka mandala beutung.
Kuseberangi sungai Cikarencang, ku seberangi situ Cisanti, ku mendaki ke Gunung Wayang sepergianku dari sana sampa ke Mandala Beutung (Noorduyn – A. Teeuw)
Tentu Cisanti yang diceritakan Bujangga Manik, dulunya masih terjaga dengan baik dan sangat kaya dengan keanekaragaman hayatinya. Sungai Citarum pun sangat terkenal kejernihannya. Sehingga kampung adat di daerah Margaasih pantang membuat sumur, karena untuk mencukupi keperluan air sehari-hari, penduduk disana cukup mengambil air dari sungai Citarum yang bening dan sehat.
Tapi kini Sungai Utama dan terpanjang di Jawa Barat ini seiring dengan perkembangan zaman, padatnya pemukiman, berdirinya industri, dan kesadaran manusia yang rendah dalam memelihara dan menjaga lingkungan hidup, jadi tempat pembuangan limbah rumah tangga, limbah industri, limbah pertanian dan hewan, maka wajar pada setiap musim hujan Citarum menampakkan “kemarahannya” dengan mengirim banjir bandang di wilayah Bandung selatan. 14 jenis ikan endemic Citarum pun punah dalam kurun waktu 40 tahun.
Tentu Cisanti yang diceritakan Bujangga Manik, dulunya masih terjaga dengan baik dan sangat kaya dengan keanekaragaman hayatinya. Sungai Citarum pun sangat terkenal kejernihannya. Sehingga kampung adat di daerah Margaasih pantang membuat sumur, karena untuk mencukupi keperluan air sehari-hari, penduduk disana cukup mengambil air dari sungai Citarum yang bening dan sehat.
Tapi kini Sungai Utama dan terpanjang di Jawa Barat ini seiring dengan perkembangan zaman, padatnya pemukiman, berdirinya industri, dan kesadaran manusia yang rendah dalam memelihara dan menjaga lingkungan hidup, jadi tempat pembuangan limbah rumah tangga, limbah industri, limbah pertanian dan hewan, maka wajar pada setiap musim hujan Citarum menampakkan “kemarahannya” dengan mengirim banjir bandang di wilayah Bandung selatan. 14 jenis ikan endemic Citarum pun punah dalam kurun waktu 40 tahun.
Air adalah kehidupan |
Citarum itu sudah jadi konsen Nasional dan kontribusi ke negaranya juga luar biasa, ada 500-an pabrik sepanjang sungai Citarum disamping itu Citarum memberikan kontribusi listrik Jawa-Bali lewat PLTA Saguling, Cirata dan Jatiluhur, tapi juga ada jutaan masyarakat yang kena dampak pencemaran berat, maka wajar kalau pemerintah turun tangan membenahi Citarum.
Saat ini penataan sungai Citarum dari hulu ke hilir langsung diambil oleh pemerintah pusat dengan membentuk beberapa Satgas di 27 sektor yang dipimpin seorang Kolonel dan diberi nama “Citarum Harum”. Kawasan Cisanti pun dibenahi karena banyak lahan gundul..
Nah, rupanya inilah yang menjadi ketertarikan Nunung Sanusi, S.Sos, M.Si., mahasiswa S2 Filsafat Budaya dan Religi Unpar (2019), untuk menulis tesis yang berjudul “Filosofi Air Dalam Budaya Sunda Untuk Pengelolaan Sungai Citarum”.
Dalam ngabeberes Citarum menurut aktivis AMS, kelahiran Majalengka 11 Maret 1980 yang kerap dipanggil Mang Nusa ini, selain yang tengah dilakukan sekarang, termasuk mencontoh ke Negara lain seperti Negara terdekat, Thailand, Korea dan Jepang yang punya industri modern tapi tidak membuang limbah ke sungai, kita juga bisa belajar kepada karuhun/leluhur kita dalam menjaga dan memelihara air. Seperti menghidupkan lagi kapamalian/tabu dan mitos, membuat leuweung tutupan yang ternyata setelah dikaji merupakan kearifan lokal yang ilmiah dan relevan serta efektif diterapkan di zaman sekarang, hingga rutin menggelar festival budaya di 27 sektor dari hulu sampai hilir dengan tidak mengganggu alamnya, itu bisa menarik.
Bagi Nunung semua itu adalah salah satu pijakan dan mengingatkan kembali. Karena menurutnya, problem hari ini kita memelihara air hanya sebagai mitos dari musibah bencana banjir dsb, karena kita tidak sinergis dengan alam. “Padahal di Sunda itu manusia harus manunggal dengan alammnya, jangan sampai tercerabut dengan alamnya, karena di Sunda itu kan kudu nyaah ka lemah cai, seperti yang tertulis dalam naskah-naskah kuna, banyak menyinggung masalah air. Ada Patanjala, “ jelasnya.
Bersama Sang Idola, budayawan Sunda Kang Ajip Rosidi (Alm) |
Tapi kata Nunung, menjaga dan mengelola air lewat kebudayaan Sunda ini harus dibantu dengan peran Negara supaya tidak timbul kecurigaan dibenturkan dengan kepercayaan/agama-agama tertentu.
“Dibutuhkan keterlibatan tokoh agama dan budayawan dalam membangun kebiasaan kembali di masyarakat dalam memperlakukan air, menjaga dan merawat air plus merawat persoalan di hulunya. Seperti hutannya kita jaga karena persoalannya bukan hanya faktor alam, tapi manusianya yang harus membiasakan tidak buang sampah sembarangan. Insdutri juga tidak buang sampah sembarangan di sungai. Tapi yang kita ingin angkat, kita harus memahami filosofi air, memahami budayanya bukan hanya fisiknya, sehingga habit terbangun,“ jelas Wakil Sekretaris Dua Korps Alumni KNPI Jabar.
“Bagaimana kalau dengan sungai itu membangun sebuah hubungan yang sinergis sesuai dengan tri tangtu yang jadi pegangan masyarakat Sunda, disinergikan dengan aturan pemerintah sehingga nilai-nilai budaya lokal masuk di situ menjadi sebuah aturan sehingga kalau pemerintah yang membangun sebuah koneksivitas mengingat kembali masyarakat dengan budaya leluhurnya, itu mungkin tidak akan ada kecemburuan dan benturan dari keyakinan-keyakinan yang ada, karena Negara memberikan fasilitas dan jaminan sehingga tidak ada kecurigaan ada aliran baru sesat atau apa, padahal ini ibarat napak tilas atau mengenang kembali tatacara luluhur kita dalam menjaga air, karena air adalah sumber kehidupan dan nilai-nilai peradaban,“ pungkas dosen Filsafat Komunikasi Universitas Sanggabuana dan dosen Filsafat Ilmu Unpas yang juga tengah kuliah di S3 Komunikasi Usahid-Jakarta (2018) ini, pasti. (Asep GP)***
Nunung Sanusi Menulis Tesis Filosofi Air Dalam Budaya Sunda, Begini Alasannya:
Posted by
Tatarjabar.com on Tuesday, March 30, 2021
Nunung Sanusi, Menulis Tesis Filosofi Air Dalam Budaya Sunda |
Air adalah kehidupan, semua makhluk hidup pasti membutuhkan air dalam kehidupannya. Saking penting dan istimewanya air, karuhun/leluhur Sunda selalu melibatkan air dalam dalam pepatah-petitih, ungkapan, peribahasa, atau ditulis dalam naskah-naskah kuna juga dalam sastra lisan seperti pantun, dongeng, cerita rakyat, dsb. Dan nilai-nilai falsafah yang terkandung di dalamnya ternyata tak lekang oleh zaman tak luntur oleh waktu, masih relevan dan bermanfaat diterapkan dalam kehidupan sekarang.
Contohnya dalam ungkapan, kapamalian (tabu), mitos, peribahasa dan petuah, misalnya, orang Sunda melarang pergi ke air menjelang maghrib sebab akan dirampas sandekala (dalam arti ilmiah pergantian waktu dari siang ke malam/sandekala, tak baik bagi kesehatan) atau anak gadis dilarang mandi di pancuran tengah hari karena akan diganggu siluman (Mandi di tengah terik matahari akan merusak kesehatan). Apalagi main di mata air sangat dilarang karena banyak silumannya (akan mengotori dan merusaka mata air).
Leluhur Sunda dalam memberi petuah dalam peribahasa pun selalu menganalogikan (bermetafora) dengan air, contohnya, herang caina beunang laukna (ikan didapat airnya pun tetap bening- mendapatkan hasil dengan tidak merugikan orang lain). Atau, kumaha geletuk batuna, kecebur caina (bagaimana geletuk (suara batu bergelinding) batunya, kecebur (suara air kejatuhan benda berat) airnya – bagaimana nanti saja). Kawas cai jeung minyak (bagai air dengan minyak – tidak pernah bisa bersatu), kudu bisa pindah cai pindah tampian ( kalau pindah tempat harus menyesuaikan dengan adat kebiasaan setempat), nyiuk cai ku ayakan (mengambil air dengan sair/ayakan), dan banyak lagi.
Saking suburnya Tatar Sunda karena tiga perempat bagian wilayahnya merupakan pegunungan, maka dijumpai banyak sungai dan air pun melimpah. Dan hal ini mengilhami penduduknya untuk memberi nama sungai dan tempat tinggal mereka dengan awalan ci/cai yang dalam bahasa Indonesia berarti air, seperti untuk nama sungai, Cimanuk, Cisanggarung, Ciwulan, Citanduy, Ciliwung, Cisadane, Cilaki, Cimandiri, Ciujung, dsb. Untuk nama-nama tempat, Cimahi, Cicalengka, Ciamis, Cibinong, Cibeureum, Cianjur, Cibeo, dsb.
Saking suburnya Tatar Sunda karena tiga perempat bagian wilayahnya merupakan pegunungan, maka dijumpai banyak sungai dan air pun melimpah. Dan hal ini mengilhami penduduknya untuk memberi nama sungai dan tempat tinggal mereka dengan awalan ci/cai yang dalam bahasa Indonesia berarti air, seperti untuk nama sungai, Cimanuk, Cisanggarung, Ciwulan, Citanduy, Ciliwung, Cisadane, Cilaki, Cimandiri, Ciujung, dsb. Untuk nama-nama tempat, Cimahi, Cicalengka, Ciamis, Cibinong, Cibeureum, Cianjur, Cibeo, dsb.
Mang Nusa (Nunung Sanusi) menuangkan air ke hulu Sungai Citarum, kudu dijaga jeung diriksa |
Dalam konteks sejarah raja-raja Sunda zaman dulu terutama Siliwangi, selalu menjaga dan merawat air terutama di sungapannya, di hulunya, mata airnya. Maka dibuatlah reservoar air seperti Leuweung Tutupan, Leuweung Larangan. Begitu juga jauh sebelumnya di zaman Tarumanagara (abad 4-5 M) yang dipengaruhi Budaya Hindu yang kuat, sungai sangat sakral dan suci seperti sungai Gangga di India, Citarum pun menjadi Cikahuripan Tarumanagara dan di zaman Pajajaran menjadi batas Kerajaan Sunda (Pajajaran) dan Galuh.
Maka tak heran kalau di patilasan-patilasan raja-raja dulu dan di Kabuyutan selalu dekat mata air atau hulu sungai. Seperti hulu sungai Citarum di Cisanti, di situ ada tempat mandi Prabu Siliwangi dan disitu juga ada sumber mata air yang mengalir sampai Muara Gembong sejauh 297 km (sumber lain 300 km) melewati 13 kab/kota di Jawa Barat.
Citu Cisanti yang berada di Desa Tarumajaya Kecamatan Kertasari (Pangalengan), Kabupaten Bandung ini merupakan danau yang sudah berumur lama. Itu diperkuat oleh isi naskah kuna Bujangga Manik (Abad 15 M), Bujangga Manik adalah seorang pengelana bergelar Pangeran Jaya Pakuan dari Kerajaan Sunda/Pakuan Pajajaran yang berkeliling ke seluruh Jawa-Bali dan pernah singgah di hulu sungai Citarum.
Meuntas aing ka Cikarencang, meuntas aing di Cisanti, sananjak ka Gunung Wayang, sadiri aing tidinya cunduk ka mandala beutung.
Kuseberangi sungai Cikarencang, ku seberangi situ Cisanti, ku mendaki ke Gunung Wayang sepergianku dari sana sampa ke Mandala Beutung (Noorduyn – A. Teeuw)
Tentu Cisanti yang diceritakan Bujangga Manik, dulunya masih terjaga dengan baik dan sangat kaya dengan keanekaragaman hayatinya. Sungai Citarum pun sangat terkenal kejernihannya. Sehingga kampung adat di daerah Margaasih pantang membuat sumur, karena untuk mencukupi keperluan air sehari-hari, penduduk disana cukup mengambil air dari sungai Citarum yang bening dan sehat.
Tapi kini Sungai Utama dan terpanjang di Jawa Barat ini seiring dengan perkembangan zaman, padatnya pemukiman, berdirinya industri, dan kesadaran manusia yang rendah dalam memelihara dan menjaga lingkungan hidup, jadi tempat pembuangan limbah rumah tangga, limbah industri, limbah pertanian dan hewan, maka wajar pada setiap musim hujan Citarum menampakkan “kemarahannya” dengan mengirim banjir bandang di wilayah Bandung selatan. 14 jenis ikan endemic Citarum pun punah dalam kurun waktu 40 tahun.
Tentu Cisanti yang diceritakan Bujangga Manik, dulunya masih terjaga dengan baik dan sangat kaya dengan keanekaragaman hayatinya. Sungai Citarum pun sangat terkenal kejernihannya. Sehingga kampung adat di daerah Margaasih pantang membuat sumur, karena untuk mencukupi keperluan air sehari-hari, penduduk disana cukup mengambil air dari sungai Citarum yang bening dan sehat.
Tapi kini Sungai Utama dan terpanjang di Jawa Barat ini seiring dengan perkembangan zaman, padatnya pemukiman, berdirinya industri, dan kesadaran manusia yang rendah dalam memelihara dan menjaga lingkungan hidup, jadi tempat pembuangan limbah rumah tangga, limbah industri, limbah pertanian dan hewan, maka wajar pada setiap musim hujan Citarum menampakkan “kemarahannya” dengan mengirim banjir bandang di wilayah Bandung selatan. 14 jenis ikan endemic Citarum pun punah dalam kurun waktu 40 tahun.
Air adalah kehidupan |
Citarum itu sudah jadi konsen Nasional dan kontribusi ke negaranya juga luar biasa, ada 500-an pabrik sepanjang sungai Citarum disamping itu Citarum memberikan kontribusi listrik Jawa-Bali lewat PLTA Saguling, Cirata dan Jatiluhur, tapi juga ada jutaan masyarakat yang kena dampak pencemaran berat, maka wajar kalau pemerintah turun tangan membenahi Citarum.
Saat ini penataan sungai Citarum dari hulu ke hilir langsung diambil oleh pemerintah pusat dengan membentuk beberapa Satgas di 27 sektor yang dipimpin seorang Kolonel dan diberi nama “Citarum Harum”. Kawasan Cisanti pun dibenahi karena banyak lahan gundul..
Nah, rupanya inilah yang menjadi ketertarikan Nunung Sanusi, S.Sos, M.Si., mahasiswa S2 Filsafat Budaya dan Religi Unpar (2019), untuk menulis tesis yang berjudul “Filosofi Air Dalam Budaya Sunda Untuk Pengelolaan Sungai Citarum”.
Dalam ngabeberes Citarum menurut aktivis AMS, kelahiran Majalengka 11 Maret 1980 yang kerap dipanggil Mang Nusa ini, selain yang tengah dilakukan sekarang, termasuk mencontoh ke Negara lain seperti Negara terdekat, Thailand, Korea dan Jepang yang punya industri modern tapi tidak membuang limbah ke sungai, kita juga bisa belajar kepada karuhun/leluhur kita dalam menjaga dan memelihara air. Seperti menghidupkan lagi kapamalian/tabu dan mitos, membuat leuweung tutupan yang ternyata setelah dikaji merupakan kearifan lokal yang ilmiah dan relevan serta efektif diterapkan di zaman sekarang, hingga rutin menggelar festival budaya di 27 sektor dari hulu sampai hilir dengan tidak mengganggu alamnya, itu bisa menarik.
Bagi Nunung semua itu adalah salah satu pijakan dan mengingatkan kembali. Karena menurutnya, problem hari ini kita memelihara air hanya sebagai mitos dari musibah bencana banjir dsb, karena kita tidak sinergis dengan alam. “Padahal di Sunda itu manusia harus manunggal dengan alammnya, jangan sampai tercerabut dengan alamnya, karena di Sunda itu kan kudu nyaah ka lemah cai, seperti yang tertulis dalam naskah-naskah kuna, banyak menyinggung masalah air. Ada Patanjala, “ jelasnya.
Bersama Sang Idola, budayawan Sunda Kang Ajip Rosidi (Alm) |
Tapi kata Nunung, menjaga dan mengelola air lewat kebudayaan Sunda ini harus dibantu dengan peran Negara supaya tidak timbul kecurigaan dibenturkan dengan kepercayaan/agama-agama tertentu.
“Dibutuhkan keterlibatan tokoh agama dan budayawan dalam membangun kebiasaan kembali di masyarakat dalam memperlakukan air, menjaga dan merawat air plus merawat persoalan di hulunya. Seperti hutannya kita jaga karena persoalannya bukan hanya faktor alam, tapi manusianya yang harus membiasakan tidak buang sampah sembarangan. Insdutri juga tidak buang sampah sembarangan di sungai. Tapi yang kita ingin angkat, kita harus memahami filosofi air, memahami budayanya bukan hanya fisiknya, sehingga habit terbangun,“ jelas Wakil Sekretaris Dua Korps Alumni KNPI Jabar.
“Bagaimana kalau dengan sungai itu membangun sebuah hubungan yang sinergis sesuai dengan tri tangtu yang jadi pegangan masyarakat Sunda, disinergikan dengan aturan pemerintah sehingga nilai-nilai budaya lokal masuk di situ menjadi sebuah aturan sehingga kalau pemerintah yang membangun sebuah koneksivitas mengingat kembali masyarakat dengan budaya leluhurnya, itu mungkin tidak akan ada kecemburuan dan benturan dari keyakinan-keyakinan yang ada, karena Negara memberikan fasilitas dan jaminan sehingga tidak ada kecurigaan ada aliran baru sesat atau apa, padahal ini ibarat napak tilas atau mengenang kembali tatacara luluhur kita dalam menjaga air, karena air adalah sumber kehidupan dan nilai-nilai peradaban,“ pungkas dosen Filsafat Komunikasi Universitas Sanggabuana dan dosen Filsafat Ilmu Unpas yang juga tengah kuliah di S3 Komunikasi Usahid-Jakarta (2018) ini, pasti. (Asep GP)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment