Home
» Seni Budaya
» “Aku Dalam Ramadhan” Karya Prof. Setiawan Sabana : Ajang Ngajidiri di Bulan Suci Lewat Seni
Sunday, April 18, 2021
Kang Wawan Tengah menyiapkan pameran di bulan Ramadhan |
Seniman memang terkenal sangat peka perasaannya. Dia paling dulu merespon setiap peristiwa lalu menyuarakan hati dan memaknainya lewat karya seni.
Demikian juga Prof. Setiawan Sabana (Kang Wawan), seniman dan akademisi ini walau usianya menjelang 70 tahun tapi tetap berkarya lewat seni merespon peristiwa dan zaman.
Lihat saja di garasinya yang dia jadikan galeri seni (Garasi 10) di Jalan Rebana No. 10 Turangga, Kota Bandung, di bulan Ramadhan Guru Besar FSRD ITB ini menggealar pameran “Aku Dalam Ramadhan” dan dilanjutkan dengan kegiatan sang istri Lilis Nuryati, mengajar praktik Ecoprint kepada kaum difabel kelompok KPAS. Kang Wawan sendiri memang menjadi Penasihat di Komunitas Peduli Anak Special tersebut hingga sekarang.
“Saya ingin lebur, merasakan getaran-getaran Ramadhan, muhasabah, evaluasi diri, ngajidiri,“ katanya, ketika ditemui belum lama ini di Garasi Seni 10.
"Aku Dalam Ramadhan", Ajang evaluasi diri di bulan suci |
Sang Maestro Kertas ini di Garasi Seninya terlihat sudah memasang beberapa lukisan bulan (berbahan kertas daur ulang, tentunya) yang sejalan waktu, bertahap akan berjumlah 30 (bulan Ramadhan yang 30 hari), juga 10 buah Rekal (tempat menyimpan Al-Qur’an) yang selain berisi kitab suci akan diisi buku-buku karya Kang Wawan, juga tulisan para dosen, pakar seni, dan mahasiswa tentang Kang Wawan, serta tak ketinggalan album mendiang Sang Istri Elly Setiawan (Siti Muslihat, dosen Sastra Jepang FIB Unpad, yang wafat 17 Mei 2018) dalam berbagai perisitiwa di dalam dan luar negeri.
“Jadi Galeri Seni10 akan bertahap diisi karya seni selama bulan suci hingga 30 hari ke depan sampai memenuhi ruangan, dan sebelum lebaran akan ada webinar dengan judul yang sama, “Aku dan Ramadhan“ yang akan diisi oleh Pak Arsono Seniman Patung kawakan dari Betawi, Zuspa Roihan, M.Sn, dosen muda dari FSRD ITB, juga Dr. Opan Sopandi, MA, budayawan dari Cirebon,“ terang kang Wawan, pasti. Ya Itulah cara evaluasi diri di bulan suci ala Setiawan Sabana.
“Ya Pameran “Aku Dalam Ramadhan” adalah untuk ngajidiri di bulan suci. Ramadhan adalah peristiwa spiritual. Kita harus menyesuaikan diri di bulan suci biar barokah, “ kata Kang Wawan serius.
Yang menarik “ Aku Dalam Ramadhan” ini banyak yang mengira judul sajak. Makanya ada dosen UNS Solo, Desy Nuryati (yang juga mahasiswa S3 FSRD ITB) yang meresponnya dengan sajak: Mengais keping makna makrifat yang berkelindan/ Melafas syair syahdu ayat-ayat Tuhan dalam untaian/ Melebur diri dalam elegi tanpa takluk pada zaman/ (1 Ramadhan 1442H) ; Menapak di awal perjalanan/Mengekang diri untuk meninggalkan apa yang wajib ditinggalkan/ Bertumpu yakin pada iman & takwa sebagai sandaran/ (4 Ramadhan 1442 H). Sebuah puisi religi yang indah di bulan suci.
Praktik Ecoprint Untuk Kaum Difabel
Galeri Seni 10 juga di bulan Ramadhan ini diisi dengan kegiatan workshop Ecoprint yang diikuti oleh 7 orang dari komunitas KPAS.
Kata Lilis Nuryati, sang pengajar, kegiatan ini sudah yang kedua kalinya. Pertama untuk kelas dasar di sekretariat KPAS dan sekarang kelas menengah dari mulai alat, penataan daun hingga hasil karya di Garasi Seni, dan ke depan akan dilanjutkan dengan kelas mahir.
Lilis Nurhayati memang sampai sekarang pun, di masa pandemi, masih ngajar online murid-muridnya, ada yang dari Bali, Lombok, Sragen, Bandung hingga NTT, sedang yang sedang berjalan sekarang ada dari Tangerang, Lombok dan Bali. Lilis juga belum lama ini (2/4/2021) menggelar Workshop Ecoprint lewat aplikasi zoom yang diikuti 107 peserta dari seluruh Nusantara. Selain itu dia juga ngajar offline untuk yang memungkinkan seperti di Bandung dengan prokes yang ketat.
Saat ditemui, Lilis sedang sibuk memaketkeun bahan kain, pewarna dan mordan pesanan salah satu muridnya, karyawati pemda di Lombok.
Buku dan album kenangan di atas rekal untuk muhasabah |
Bahan/media Kain untuk ecoprint kata Lilis, tidak bisa sembarang kain, tapi harus yang mengandung serat alami seperti kelompok selulosa misalnya. katun, linen, goni, kulit kayu, dan kelompok protein seperti sutera, wol atau kulit binatang. “Kalau pake kain sintetis pewarna alaminya tidak akan nempel,“ terang seniwati yang sudah menghasilkan 30 gulung (120 yard) kain ecoprint ini.
Adapun tumbuhan yang bisa digunakan sebagai pola Motif dan Warna sangat beragam antara lain, Daun Jati yang masih muda, Daun Lanang, Daun Kesumba, Daun dan Bunga Truja, Daun Jenitri, Kulit Pohon Mahoni, berbagai jenis Pakis (daun dan batang), dan lain-lain. Bagian tumbuhan yang digunakan biasanya daun, bunga, ranting, kulit pohon, dll.
Pokoknya untuk bahan motif dan warna ini jangan takut katanya, sangat melimpah, daun atau pepohonan jenis ecaliptus bisa ditemukan di pinggir jalan atau yang dijadikan penghias taman-taman kota. Hampir semuanya bisa dijadikan motif dan bahan pewarna alami. Makanya Lilis mewajibkan peserta didiknya untuk membudidayakan tanaman pendukung sebagai bahan pewarna alami. “Jadi selain ramah lingkungan, ecoprint berfungsi juga menjaga lingkungan,“ katanya serius.
“Hal yang yang mempengaruhi perbedaan warna adalah adanya tanin, senyawa yang keluar dari daun. Setiap daun mengeluarkan warna berbeda,“ kata Lilis sambil memperlihatkan hasil motif dan warna dari 3 jenis Daun Jati Cirebon, Daun Jati Bandung dan Daun Jati Gresik dengan pola warna ungu yang berbeda-beda.
Sedangkan bahan Mordan atau mordanting yaitu untuk memperkuat menempelnya bahan pewarna pada kain serta menghilangkan komponen dalam serat seperti minyak, lemak, lilin, dan kotoran lain yang dapat menghambat proses masuknya zat warna ke dalam serat kain.
Untuk Mordan ini Lilis membuat sendiri dan sudah dipasarkan serta banyak yang memesan hingga ke Bali dan Lombok, dengan merek Cetak Daun.
Ecoprint Di atas Kertas
Lilis Nuryati adalah seniman otididak, mulai terjun dalam bidang Ecoprint tahun 2018 setelah sebelumnya selama tiga tahun mendalami Sibhori (membuat motif batik lipet ikat celup) sebuah seni teknik pewarnaan kain dari Jepang (batik versi Jepang), Lilis belajar langsung ke Empunya dari Jepang yang kebetulan datang ke Indonesia dan memberikan pelatihan di Museum Tekstil Tanah Abang -Jakarta. Lilis saat itu dikenalkan pada Shibori oleh Ibu Kustina di BLC (Bisnis Ladies Club) Bandung, perkumpulan istri karyawan Telkom. Disanalah Lilis bersama Ibu Ida Tejaweani belajar Sibhori. Setelah sekian lama aktif dan diposisikan sebagai fasilitator di BLC, barulah pada tahun 2018 Lilis dikenalkan Bunda Ida dengan Ecoprint dan merasa tertarik sekali terutama karena menyangkut lingkungan hidup, bahan-bahannya dari alam, ramah lingkungan.
Lilis pun telah beberapa kali pameran di Bandung seperti di Telkom, kawasan Braga, dan sering memberi pelatihan di Telkom Supratman termasuk melatih ibu-ibu di masa pandemi secara virtual sebulan sekali, juga membuka toko bersama klub BLC yang digagas Bu Kus, di Handicraft Market, Jalan Jend A. Yani Bandung (kawasan Cicadas dekat Cicaheum) yang diisi semua karya ibu-ibu bimbingan BLC.
Praktik Ecoprint untuk kaum difabel di Garasi 10 |
Nah, setelah berkeluarga dengan Kang Wawan, Lilis digiring ke kertas oleh Maestro Kertas ini. Jadi ecoprint yang tadinya dia buat di media Kain beralih ke media Kertas.
Hingga sekarang Lilis telah berhasil membuat Ecoprint Kertas dalam bentuk buku sekitar 300 buah dari mulai buku sebesar jempol ibu jari tangan hingga yang ukuran standar. Juga hasilnya telah diikutsertakan dalam pameran bertajuk Seni Nusantara Cirebon Ajaib dan Gaib, rangkaian dari gelaran Jelajah Seni Rupa Nusantara, 19 September 2019.
Dan hingga sekarang seniwati kelahiran Bandung 11 Desember 1970 ini pun terus berkarya dan menjadi mentor baik online ataupun tatap muka (offline). Karena dia yakin ecoprint ini selain bisa untuk menambah penghasilan keluarga juga menyuarakan agar semua orang tetap menjaga lingkungan hidup.
Hal itu diakui Kang Wawan, bahkan mantan Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB yang sudah melanglangbuana ini memaknai ecoprint ini sangat jero, pada kedalaman spiritualnya.
"Ketika kita membaca daun ternyata Gusti Alloh sudah menciptakan desain khusus untuk daun. Ada motif, ada warna, malah ada yang bentuknya segi lima segala. Sayang, jarang sekali orang memperhatikan daun dan pepohonan selain sebagai daun dan pohon adanya. Padahal kalau diimpleng, dipikirkan dalam-dalam dan ditelusuri, siapa yang menciptakan daun dan pohon itu. Jadi seharusnya dikaitkan dengan pemahaman kita akan Sang Maha Pencipta, “ pungkasnya.
Jadi dimata seniman daun itu estetis karya Tuhan, lalu diabadikan dalam karya seni yang tidak merusak lingkungan hidup. (Asep GP)***
“Aku Dalam Ramadhan” Karya Prof. Setiawan Sabana : Ajang Ngajidiri di Bulan Suci Lewat Seni
Posted by
Tatarjabar.com on Sunday, April 18, 2021
Kang Wawan Tengah menyiapkan pameran di bulan Ramadhan |
Seniman memang terkenal sangat peka perasaannya. Dia paling dulu merespon setiap peristiwa lalu menyuarakan hati dan memaknainya lewat karya seni.
Demikian juga Prof. Setiawan Sabana (Kang Wawan), seniman dan akademisi ini walau usianya menjelang 70 tahun tapi tetap berkarya lewat seni merespon peristiwa dan zaman.
Lihat saja di garasinya yang dia jadikan galeri seni (Garasi 10) di Jalan Rebana No. 10 Turangga, Kota Bandung, di bulan Ramadhan Guru Besar FSRD ITB ini menggealar pameran “Aku Dalam Ramadhan” dan dilanjutkan dengan kegiatan sang istri Lilis Nuryati, mengajar praktik Ecoprint kepada kaum difabel kelompok KPAS. Kang Wawan sendiri memang menjadi Penasihat di Komunitas Peduli Anak Special tersebut hingga sekarang.
“Saya ingin lebur, merasakan getaran-getaran Ramadhan, muhasabah, evaluasi diri, ngajidiri,“ katanya, ketika ditemui belum lama ini di Garasi Seni 10.
"Aku Dalam Ramadhan", Ajang evaluasi diri di bulan suci |
Sang Maestro Kertas ini di Garasi Seninya terlihat sudah memasang beberapa lukisan bulan (berbahan kertas daur ulang, tentunya) yang sejalan waktu, bertahap akan berjumlah 30 (bulan Ramadhan yang 30 hari), juga 10 buah Rekal (tempat menyimpan Al-Qur’an) yang selain berisi kitab suci akan diisi buku-buku karya Kang Wawan, juga tulisan para dosen, pakar seni, dan mahasiswa tentang Kang Wawan, serta tak ketinggalan album mendiang Sang Istri Elly Setiawan (Siti Muslihat, dosen Sastra Jepang FIB Unpad, yang wafat 17 Mei 2018) dalam berbagai perisitiwa di dalam dan luar negeri.
“Jadi Galeri Seni10 akan bertahap diisi karya seni selama bulan suci hingga 30 hari ke depan sampai memenuhi ruangan, dan sebelum lebaran akan ada webinar dengan judul yang sama, “Aku dan Ramadhan“ yang akan diisi oleh Pak Arsono Seniman Patung kawakan dari Betawi, Zuspa Roihan, M.Sn, dosen muda dari FSRD ITB, juga Dr. Opan Sopandi, MA, budayawan dari Cirebon,“ terang kang Wawan, pasti. Ya Itulah cara evaluasi diri di bulan suci ala Setiawan Sabana.
“Ya Pameran “Aku Dalam Ramadhan” adalah untuk ngajidiri di bulan suci. Ramadhan adalah peristiwa spiritual. Kita harus menyesuaikan diri di bulan suci biar barokah, “ kata Kang Wawan serius.
Yang menarik “ Aku Dalam Ramadhan” ini banyak yang mengira judul sajak. Makanya ada dosen UNS Solo, Desy Nuryati (yang juga mahasiswa S3 FSRD ITB) yang meresponnya dengan sajak: Mengais keping makna makrifat yang berkelindan/ Melafas syair syahdu ayat-ayat Tuhan dalam untaian/ Melebur diri dalam elegi tanpa takluk pada zaman/ (1 Ramadhan 1442H) ; Menapak di awal perjalanan/Mengekang diri untuk meninggalkan apa yang wajib ditinggalkan/ Bertumpu yakin pada iman & takwa sebagai sandaran/ (4 Ramadhan 1442 H). Sebuah puisi religi yang indah di bulan suci.
Praktik Ecoprint Untuk Kaum Difabel
Galeri Seni 10 juga di bulan Ramadhan ini diisi dengan kegiatan workshop Ecoprint yang diikuti oleh 7 orang dari komunitas KPAS.
Kata Lilis Nuryati, sang pengajar, kegiatan ini sudah yang kedua kalinya. Pertama untuk kelas dasar di sekretariat KPAS dan sekarang kelas menengah dari mulai alat, penataan daun hingga hasil karya di Garasi Seni, dan ke depan akan dilanjutkan dengan kelas mahir.
Lilis Nurhayati memang sampai sekarang pun, di masa pandemi, masih ngajar online murid-muridnya, ada yang dari Bali, Lombok, Sragen, Bandung hingga NTT, sedang yang sedang berjalan sekarang ada dari Tangerang, Lombok dan Bali. Lilis juga belum lama ini (2/4/2021) menggelar Workshop Ecoprint lewat aplikasi zoom yang diikuti 107 peserta dari seluruh Nusantara. Selain itu dia juga ngajar offline untuk yang memungkinkan seperti di Bandung dengan prokes yang ketat.
Saat ditemui, Lilis sedang sibuk memaketkeun bahan kain, pewarna dan mordan pesanan salah satu muridnya, karyawati pemda di Lombok.
Buku dan album kenangan di atas rekal untuk muhasabah |
Bahan/media Kain untuk ecoprint kata Lilis, tidak bisa sembarang kain, tapi harus yang mengandung serat alami seperti kelompok selulosa misalnya. katun, linen, goni, kulit kayu, dan kelompok protein seperti sutera, wol atau kulit binatang. “Kalau pake kain sintetis pewarna alaminya tidak akan nempel,“ terang seniwati yang sudah menghasilkan 30 gulung (120 yard) kain ecoprint ini.
Adapun tumbuhan yang bisa digunakan sebagai pola Motif dan Warna sangat beragam antara lain, Daun Jati yang masih muda, Daun Lanang, Daun Kesumba, Daun dan Bunga Truja, Daun Jenitri, Kulit Pohon Mahoni, berbagai jenis Pakis (daun dan batang), dan lain-lain. Bagian tumbuhan yang digunakan biasanya daun, bunga, ranting, kulit pohon, dll.
Pokoknya untuk bahan motif dan warna ini jangan takut katanya, sangat melimpah, daun atau pepohonan jenis ecaliptus bisa ditemukan di pinggir jalan atau yang dijadikan penghias taman-taman kota. Hampir semuanya bisa dijadikan motif dan bahan pewarna alami. Makanya Lilis mewajibkan peserta didiknya untuk membudidayakan tanaman pendukung sebagai bahan pewarna alami. “Jadi selain ramah lingkungan, ecoprint berfungsi juga menjaga lingkungan,“ katanya serius.
“Hal yang yang mempengaruhi perbedaan warna adalah adanya tanin, senyawa yang keluar dari daun. Setiap daun mengeluarkan warna berbeda,“ kata Lilis sambil memperlihatkan hasil motif dan warna dari 3 jenis Daun Jati Cirebon, Daun Jati Bandung dan Daun Jati Gresik dengan pola warna ungu yang berbeda-beda.
Sedangkan bahan Mordan atau mordanting yaitu untuk memperkuat menempelnya bahan pewarna pada kain serta menghilangkan komponen dalam serat seperti minyak, lemak, lilin, dan kotoran lain yang dapat menghambat proses masuknya zat warna ke dalam serat kain.
Untuk Mordan ini Lilis membuat sendiri dan sudah dipasarkan serta banyak yang memesan hingga ke Bali dan Lombok, dengan merek Cetak Daun.
Ecoprint Di atas Kertas
Lilis Nuryati adalah seniman otididak, mulai terjun dalam bidang Ecoprint tahun 2018 setelah sebelumnya selama tiga tahun mendalami Sibhori (membuat motif batik lipet ikat celup) sebuah seni teknik pewarnaan kain dari Jepang (batik versi Jepang), Lilis belajar langsung ke Empunya dari Jepang yang kebetulan datang ke Indonesia dan memberikan pelatihan di Museum Tekstil Tanah Abang -Jakarta. Lilis saat itu dikenalkan pada Shibori oleh Ibu Kustina di BLC (Bisnis Ladies Club) Bandung, perkumpulan istri karyawan Telkom. Disanalah Lilis bersama Ibu Ida Tejaweani belajar Sibhori. Setelah sekian lama aktif dan diposisikan sebagai fasilitator di BLC, barulah pada tahun 2018 Lilis dikenalkan Bunda Ida dengan Ecoprint dan merasa tertarik sekali terutama karena menyangkut lingkungan hidup, bahan-bahannya dari alam, ramah lingkungan.
Lilis pun telah beberapa kali pameran di Bandung seperti di Telkom, kawasan Braga, dan sering memberi pelatihan di Telkom Supratman termasuk melatih ibu-ibu di masa pandemi secara virtual sebulan sekali, juga membuka toko bersama klub BLC yang digagas Bu Kus, di Handicraft Market, Jalan Jend A. Yani Bandung (kawasan Cicadas dekat Cicaheum) yang diisi semua karya ibu-ibu bimbingan BLC.
Praktik Ecoprint untuk kaum difabel di Garasi 10 |
Nah, setelah berkeluarga dengan Kang Wawan, Lilis digiring ke kertas oleh Maestro Kertas ini. Jadi ecoprint yang tadinya dia buat di media Kain beralih ke media Kertas.
Hingga sekarang Lilis telah berhasil membuat Ecoprint Kertas dalam bentuk buku sekitar 300 buah dari mulai buku sebesar jempol ibu jari tangan hingga yang ukuran standar. Juga hasilnya telah diikutsertakan dalam pameran bertajuk Seni Nusantara Cirebon Ajaib dan Gaib, rangkaian dari gelaran Jelajah Seni Rupa Nusantara, 19 September 2019.
Dan hingga sekarang seniwati kelahiran Bandung 11 Desember 1970 ini pun terus berkarya dan menjadi mentor baik online ataupun tatap muka (offline). Karena dia yakin ecoprint ini selain bisa untuk menambah penghasilan keluarga juga menyuarakan agar semua orang tetap menjaga lingkungan hidup.
Hal itu diakui Kang Wawan, bahkan mantan Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB yang sudah melanglangbuana ini memaknai ecoprint ini sangat jero, pada kedalaman spiritualnya.
"Ketika kita membaca daun ternyata Gusti Alloh sudah menciptakan desain khusus untuk daun. Ada motif, ada warna, malah ada yang bentuknya segi lima segala. Sayang, jarang sekali orang memperhatikan daun dan pepohonan selain sebagai daun dan pohon adanya. Padahal kalau diimpleng, dipikirkan dalam-dalam dan ditelusuri, siapa yang menciptakan daun dan pohon itu. Jadi seharusnya dikaitkan dengan pemahaman kita akan Sang Maha Pencipta, “ pungkasnya.
Jadi dimata seniman daun itu estetis karya Tuhan, lalu diabadikan dalam karya seni yang tidak merusak lingkungan hidup. (Asep GP)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment