Saturday, August 13, 2022
Dr. Supriatna Dekan FSRD ISBI Bandung, Pikulan heritage kita yang hilang (foto Asep GP) |
“Komunikasi Visual Pikulan”
Pikulan itu memang seolah kebudayaan Indonesia lalu diabadikan oleh pemerinah Kolonial Belanda dengan tujuan turisme, mendatangkan orang-orang Eropah ke Hindia-Belanda. Jadi pikulan dianggap aneh dan unik, di Eropah sudah era revolusi industri serba mesin di kita masih ada, ini bisa dipakai menarik turis-turis asing untuk datang ke Hindia – Belanda (Indonesia).
Orang berjualan dengan cara dipikul/ditanggung (Sunda) ternyata kini masih ada walau sudah jarang, hanya satu dua. Seperti tukang bakso tahu, tukang patri, tahu gejrot, cingcau, sol sepatu, mie tektek, tukang lahang (air nira). Dan Pikulan di zama dahulu tidak hanya berupa tempat menjajakan makanan tapi juga penjual jasa seperti tukang cukur dengan kursi kulit lipatnya yang dijinjing, juga gambar toong, lebih dulu lagi malah ada juru rawat tukang ngebersihin kuping.
Pikulan kalau bisa ditelaah lagi, diteliti, dikonservasi, direvitalisasi meskipun hanya untuk dokumentasi, disimpan di museum baik secara visual maupun fisik, bagaimanapun dia heritage kita yang mulai hilang ditelan zaman.
Sepertinya tak ada henti-hentinya Garasi Seni 10 terus menggelar kegiatan seni. Lihatlah, wadah kegiatan seni bertagline “Dari Garasi untuk Negeri, Bumi dan Galaksi” yang dirintis Prof. Setiawan Sabana, kali ini mengadakan webinar, Kriya & Kuliner Nusantara Dulu, Kini & Esok” (5/8/2022).
Pematerinya: Prof. Dr. Setiawan sabana, MFA, Dr. Supriatna, M.Sn (ISBI Bandung), Dr. Supriyantini, M.Sn (ISI Denpasar Bali), Dr. Kezia Klarisa Langi, M.Sn (Maranatha Bandung), dengan Moderator: Inti Inthisar, S.Kom., MBA.
Menarik disimak materi dari Dr. Supriatna yang membahas Pikulan (Sunda, tanggungan), “Komunikasi Visual Pikulan”. Imajinasi kita yang kini berusia 50-70 tahun tentu ibarat bernostalgia ke masa lalu tatkala di SD sebelum masuk atau istirahat di depan sekolah jajan makanan bersama teman-teman, dan saat itu tempat menjajakannya semua masih dipikul tidak digerobak atau roda apalagi di food truck seperti sekarang ini.
Menurut Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ISBI Bandung, orang berjualan dengan cara dipikul ternyata kini masih ada walau sudah jarang, hanya satu dua. Seperti tukang bakso tahu, tukang patri, tahu gejrot, sol sepatu, mie tektek. Dan Pikulan dari dulu tidak hanya berupa tempat menjajakan makanan tapi juga penjual jasa seperti tukang cukur dengan kursi kulit lipatnya yang dijinjing, juga gambar toong, lebih dulu lagi malah ada juru rawat tukang ngebersihin kuping.
Jadi kata Kang Supri, demikian akrab disapa, pikulan itu memang seolah kebudayaan Indonesia lalu diabadikan oleh pemerinah Kolonial Belanda dengan tujuan turisme, mendatangkan orang-orang Eropah ke Hindia-Belanda. Jadi pikulan dianggap aneh dan unik serta bisa dipakai menarik turis-turis asing untuk datang ke Hindia – Belanda (Indonesia).
Uniknya, kata Kang Supri, oleh orang Belanda pikulan disebut Warung. “Nah apakah warung itu berasal dari bahasa Belanda yang artinya pikulan, itu harus diteliti," katanya.
Rata-rata pikulan jadi menarik, karena tatkala di Eropa sejak abad 17 hingga masuk abad 20 sudah memperlakukan Revolusi Industri, serba mesin. Jadi tenaga manusia tidak dihargai termasuk pikulan menjadi tidak manusiawi, tapi di Indonesia masih ada. Mungkin karena gen bangsa Indonesia ternyata bahunya, pundaknya (taktak) kuat-kuat. Lihat aja untuk pikulan bakso beratnya bisa puluhan kilo bahkan sampai seratus kilo, di belakang kan ada air kuah yang selalu dipanaskan, belum mangkok, gelas plus kompor minyak tanah dan itu dijajakan berkeliling. Jadi orang-orang kita badannya kecil tapi bahunya kuat, gen perkasa itu dibiasakan begitu hingga ke anak-anak pun terbiasa mikul. Artinya ini menarik bagi beberapa orang Belanda untuk diabadikan termasuk di postcard/kartu pos.
“Jadi Belanda menganggap orang Indonesia ini aneh di abad revolusi industri masih menggunakan pikulan, tapi lama-lama kita juga menganggap kasihan, tidak manusiawi. Sehingga pikulan dianggap pekerjaan yang tidak manusiawi dan digantikan roda,“ terangnya.
Kang Supri juga punya asumsi puncaknya Pikulan sampai tahun 2000, tapi sudah mulai hilang digantikan gerobak roda dan food truck.
Keunikan lainnya dari pikulan yaitu memiliki disain yang sama. Misalnya tukang cendol, cingcau, mau di Garut atau di Bandung sama, (hanya rancatan/alat untuk memikulnya yang kadang beda, di Garut ujungnya ada ukiran kepala Domba Garut), demikian juga dengan tukang mie kocok dan mie bakso. Artinya ada disain yang sama diturunkan kepada anak cucu. “Jadi saya anggap ini sebagai sebuah Heritage, peninggalan artefak asli Indonesia yang tetap menghiasi budaya visual di kita karena kan pikulan itu diberi warna, dicat, diperindah biar menarik pembeli dan menjadi identitas,“ kata Kang Supri.
Demikian juga dengan alat panggilnya/cara menawarkannya. Ada yang memukul-mukul alat penggorengan/bujur katel sehingga menghasilkan bunyi tek-tek-tek, maka lalu disebut Mie Tektek. Ada juga yang memukulkan gelas ke kayu tutup gentong/buyung berbunyi duk-duk-duk hingga orang tau itu Cendol Buyung/Buruy, juga kentongan kecil tok-tok-tok untuk bakso, lonceng kecil dan bende/gamelan kecil (kenong) untuk es nongnong/es puter, juga langsung dengan teriakan, vokal, tahuuuu….peuyeum..pisang..pisang..cau keneh neng, “ kata Pa Dekan yang juga seniman/perupa handal ini sambil tertawa ngakak. Kebetulan juga bertemu dengan beliau ini di Pameran Tugas Akhir Mahasiswa Senirupa Murni FSRD ISBI Bandung, di GPK Naripan Bandung (berlangsung 5-12/8/2022), jadi bisa ngobrol lebih dalam tentang pikulan.
Tapi sayang keunikan-keunikan seperti itu katanya, kini jadi budaya yang hilang. Dulu ada pikulan yang menjajakan macam-macam kacang yang selalu hadir pada saat pergelaran wayang, atau hiburan malam Agustusan. Warna pikulannya sama selalu warna biru dan hitam serta ada lampu cempor yang kacanya (orang Sunda bilang semprong) terbungkus koran, serta ketika ada yang membeli suka diberi wadah kertas/koran dipincuk, lalu dirawu, diambilnya segenggam penuh kacang dari wadah lalu dimasukan ke pincukan kertas, tapi aneh itu hanya sekedar aksi sebab yang dimasukannya cuma sedikit, sesuai nilai uang pembeliannya, itu sdh lama hilang. Ada juga pikulan minuman yang dengan wadah gelas bar. ”Jadi bagi pribumi/inlander ada fantasi persepsi serasa minum di bar di zaman Kolonial. Tapi itu saya sempat lihat masih ada di pelosok seperti di Soreang dan Garut. Duh waas..,” kenang pak dekan nyoreang alam ka tukang, bernostalgia.
Cingcau di Garut masih ada begitu juga tukang patri, tukang sol, tukang ketan bakar, bakso cuanki, bakso tahu, mie tektek yang kompornya pake anglo dan arang, di Bandung satu-dua masih terlihat juga pikulan ikan yang berwarna hitam karena dilapisi aspal-anti air, masih ada dipasar-pasar tradisional. Kalau mau lihat yang sudah punah seperti pikulan minyak curah/keletik yang antik dan lainnya, bisa dilihat di Museum Sri Baduga Bandung. “Cuma yang lain sudah punah. Karena konsumen di kota besar metropolitan pun mungkin kini berpikir dua kali higienis/tidaknya karena tempat cuci piring dan gelasnya juga biasanya dari ember bekas cat serta airnya itu-itu juga. Kalau dulu mah taun 78-90-an mungkin gak berpikir ke higienitas, ah enak aja kan kita sudah punya fantasi yang lain,” kenang dekan.
Pikulan makanan cara menjajakannya dibedakan dua jenis, ada yang berkeliling (ngider) ada juga yang mangkal, nangkring. Yang nangkring pikulannya lebih besar seperti kopi, roti bakar yang terlihat di pasar-pasar sedangkan pikulan yang dijajakan berkeliling biasanya lebih kecil.
Bentuk pikulan di Bandung dan Pasundan pun berbeda dengan di daerah Jawa, di Bandung kecil-kecil karena menyesuaikan dengan kontur tanah di Bandung yang turun – naik jadi harus ringan beda dengan di Jawa yang lebih datar. Jadi letak geografis pun menentukan bentuk pikulan.
Pikulan jadi ciri khas selain bunyi-bunyian alat menjajakannya, disainnya juga tidak berubah. Nah kalau disain itu dibaca menggunakan ilmu dari Barat itu tidak masuk karena dalam desain thinking itu harus ada praktis, efisien, ekonomis dan komunikatif. Sementara pikulan yang ada di kita tidak memperdulikan semua itu, kadang-kadang dalam pikulan itu ditambah ornamen-ornamen lain seperti wayang jadi tidak nyambung dengan apa yang dijajakannya. Yang penting ada kedekatan antar pelanggan dan pikulan tersebut, ada ciri khasnya, jadi orang baru lihat juga sudah membayangkan rasanya, bahkan tanpa melihat pun, dengan mendengar suara alat panggilnya, orang sudah tahu jenis makanan apa yang ditawarkan dari pikulan tersebut. Ini lebih komunikatif.
Makanya saya angkat dalam webinar. Karena ini sesuatu yang hilang paling yang ada tahu gejrot Cirebon, baso tahu, mie tektek, satu dua masih ada yang dipikul yang dimasak pake arang dan penyajiannya lebih bersih dan pakai daun hingga terlihat estetik dan enak rasanya. Nah justru karena jarang itulah yang membuat makanan yang dipikul membuat kerinduan. Nostalgia itu membuat makan nikmat dimakan karena balik lagi ke suasana lama.
Pikulan ini pun sudah ada yang meniliti satu-dua dalam bentuk tesis (program Magister/S2), tapi menyebar ke roda, dan sebagainya, yang fokus ke pikulan belum ada.
“Jadi kesimpulannya kalau bisa ada konservasi, revitalisasi dibuat lagi. Ya ditelaah lagi, diteliti, dikonservasi, direvitalisasi meskipun hanya untuk dokumentasi, disimpan di museum baik secara visual maupun fisik, bahwa pikulan itu pernah ada di Indonesia, berada di kota Bandung,“ harap pak dekan.
Ragamnya alat pemikul atau kata orang Sunda Rancatan, alat pemikul terbuat dari bambu itu berbeda di tiap daerah, kalau di jawa Timur rancatan itu lebih melengkung (lihat pikulan Sate Madura) nah itu menurut Kang Supri harus ditelaah, apakah dengan bentuk melengkung dengan gravitasi itu akan lebih berat atau ringan? Jadi akan banyak aspek untuk dikonservasi misalnya hanya dengan warna apa adanya tidak perlu dibuat gambar buah-buahan misalnya, tapi cukup dengan warna kuning dan merah imajinasi pelanggan sudah mengarah ke sana bahwa ini minuman yang menyegarkan. Bahwa bakso ini makanan yang enak dan sebagainya.
Lalu pikulan pun terutama bakso kebanyakan berwarna metal dari seng dan warna kayunya merah seperti sumpitnya, itu menandakan makanan dari China itu imajinasinya. Karena warna merah itu khas China apalagi ditambah mangkoknya yang cap ayam jago yang mengundang selera. Jadi bisa jadi bahan kajian yang banyak, belum dari sisi pakemnya akan lebih menarik lagi.
Jadi intinya bahwa pikulan itu menjadi heritage kita yang makin berkurang. Kalau evolusinya cara orang menjajakan dagangan itu dari dikelek (digendong) disuhun di atas kepala, pake pikulan lalu gerobak roda, pake sepeda, motor dan sekarang pake mobil (food truck), serta terakhir dengan cara online.
“Mudah-mudahan ini jadi kajian bersama, karena setiap pikulan punya cerita, setiap orang akan punya cerita punya nostalgia dengan pikulan baik kenangan pribadi maupun umum. Misalnya penjual kacang yang selalu hadir pada malam hiburan agustusan, wayang, dengan wadah pincuk dari kertas koran dan lampu semprong. Tukang kerupuk yang pikulannya badag pisan dan ngitung kerupuknya ditembangkan. “Hiji nya mareunang hiji..dua nya mareunang dua, cenah Ujang daramel naon,“ katanya sambil tersenyum pada anak-anak yang menonton di dekatnya dan usai itu suka dibagi kerupuk satu-satu. Itu luar biasa dan sudah lama hilang.
Sekali lagi, kata pak dekan, tukang bakso yang pikulannya bergambar ikan tenggiri sedang meloncat di atas air, kadang diukir. Tukang cingcau yang ujung rancatannya berukir Domba Garut, dawet di Jawa Tengah berukir Semar atau Petruk. Kalau dikaji denga ilmu Barat susah. Begitu juga tahu gejrot yang warna kaen di pikulannya hijau muda dan berbahan rotan, tukang oncom – tempe dengan hiasan pikulannya khas sarigsig (garis-garis), di pasir Reungit Sumedang masih ada dan belum berubah.
Kalau bisa ada konservasi ada telaah budaya, para budayawan ngobrol bareng dengan orang-orang yang pernah mengalami zaman perpikulan itu, lalu direkonstruksi digambar dan dibuat ulang, direvitalisasi dan dijadikan sebuah dokumentasi baik digital maupun fisik, mungkin bisa juga sekalian dengan pembuatan makanannya. Ini penting karena heritage kita yang tersembunyi dan mungkin saja pembuatnya masih ada tapi di Bandung sudah mulai tersingkir. Paling ada satu dua di foodcourt (pujasera) di mall-mall itupun lebih ke hiasan mall dan sudah beda konsep, orang dulu kan beli mie tektek pasti pasti malam hari tapi sekarang di mall bisa siang hari .
Tapi sekarang orang mulai bernostalgia misal di angkringan yang konsepnya lebih banyak ngobrolnya, silaturahminya daripada ngopinya dan ini jadi terapi dari kejenuhan sehari-hari. Demikian cerita Pak Dekan FSRD ISBI Bandung.
Nah bisa saja kalau kuliner yang dijajakan di pikulan seperti dulu pun dihidupkan kembali di Bandung, dijajakan di setiap sudut kota, seperti Braga, Asia-Afrika, Jalan Merdeka dan sebagainya. Selain jadi alat penarik wisatawan seperti yang dilakukan Belanda di zaman Kolonial, meningkatkan perekonomian rakyat, juga bisa jadi terapi dari lelahnya kehidupan sehari-hari. Dan yang terpenting ini heritage kita yg tersembunyi , budaya kita yang mulai hilang ditelan zaman. Identitas bangsa yang harus dipertahankan. (Asep GP)***
Kriya & Kuliner Nusantara Dulu, Kini & Esok
Posted by
Tatarjabar.com on Saturday, August 13, 2022
Dr. Supriatna Dekan FSRD ISBI Bandung, Pikulan heritage kita yang hilang (foto Asep GP) |
“Komunikasi Visual Pikulan”
Pikulan itu memang seolah kebudayaan Indonesia lalu diabadikan oleh pemerinah Kolonial Belanda dengan tujuan turisme, mendatangkan orang-orang Eropah ke Hindia-Belanda. Jadi pikulan dianggap aneh dan unik, di Eropah sudah era revolusi industri serba mesin di kita masih ada, ini bisa dipakai menarik turis-turis asing untuk datang ke Hindia – Belanda (Indonesia).
Orang berjualan dengan cara dipikul/ditanggung (Sunda) ternyata kini masih ada walau sudah jarang, hanya satu dua. Seperti tukang bakso tahu, tukang patri, tahu gejrot, cingcau, sol sepatu, mie tektek, tukang lahang (air nira). Dan Pikulan di zama dahulu tidak hanya berupa tempat menjajakan makanan tapi juga penjual jasa seperti tukang cukur dengan kursi kulit lipatnya yang dijinjing, juga gambar toong, lebih dulu lagi malah ada juru rawat tukang ngebersihin kuping.
Pikulan kalau bisa ditelaah lagi, diteliti, dikonservasi, direvitalisasi meskipun hanya untuk dokumentasi, disimpan di museum baik secara visual maupun fisik, bagaimanapun dia heritage kita yang mulai hilang ditelan zaman.
Sepertinya tak ada henti-hentinya Garasi Seni 10 terus menggelar kegiatan seni. Lihatlah, wadah kegiatan seni bertagline “Dari Garasi untuk Negeri, Bumi dan Galaksi” yang dirintis Prof. Setiawan Sabana, kali ini mengadakan webinar, Kriya & Kuliner Nusantara Dulu, Kini & Esok” (5/8/2022).
Pematerinya: Prof. Dr. Setiawan sabana, MFA, Dr. Supriatna, M.Sn (ISBI Bandung), Dr. Supriyantini, M.Sn (ISI Denpasar Bali), Dr. Kezia Klarisa Langi, M.Sn (Maranatha Bandung), dengan Moderator: Inti Inthisar, S.Kom., MBA.
Menarik disimak materi dari Dr. Supriatna yang membahas Pikulan (Sunda, tanggungan), “Komunikasi Visual Pikulan”. Imajinasi kita yang kini berusia 50-70 tahun tentu ibarat bernostalgia ke masa lalu tatkala di SD sebelum masuk atau istirahat di depan sekolah jajan makanan bersama teman-teman, dan saat itu tempat menjajakannya semua masih dipikul tidak digerobak atau roda apalagi di food truck seperti sekarang ini.
Menurut Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ISBI Bandung, orang berjualan dengan cara dipikul ternyata kini masih ada walau sudah jarang, hanya satu dua. Seperti tukang bakso tahu, tukang patri, tahu gejrot, sol sepatu, mie tektek. Dan Pikulan dari dulu tidak hanya berupa tempat menjajakan makanan tapi juga penjual jasa seperti tukang cukur dengan kursi kulit lipatnya yang dijinjing, juga gambar toong, lebih dulu lagi malah ada juru rawat tukang ngebersihin kuping.
Jadi kata Kang Supri, demikian akrab disapa, pikulan itu memang seolah kebudayaan Indonesia lalu diabadikan oleh pemerinah Kolonial Belanda dengan tujuan turisme, mendatangkan orang-orang Eropah ke Hindia-Belanda. Jadi pikulan dianggap aneh dan unik serta bisa dipakai menarik turis-turis asing untuk datang ke Hindia – Belanda (Indonesia).
Uniknya, kata Kang Supri, oleh orang Belanda pikulan disebut Warung. “Nah apakah warung itu berasal dari bahasa Belanda yang artinya pikulan, itu harus diteliti," katanya.
Rata-rata pikulan jadi menarik, karena tatkala di Eropa sejak abad 17 hingga masuk abad 20 sudah memperlakukan Revolusi Industri, serba mesin. Jadi tenaga manusia tidak dihargai termasuk pikulan menjadi tidak manusiawi, tapi di Indonesia masih ada. Mungkin karena gen bangsa Indonesia ternyata bahunya, pundaknya (taktak) kuat-kuat. Lihat aja untuk pikulan bakso beratnya bisa puluhan kilo bahkan sampai seratus kilo, di belakang kan ada air kuah yang selalu dipanaskan, belum mangkok, gelas plus kompor minyak tanah dan itu dijajakan berkeliling. Jadi orang-orang kita badannya kecil tapi bahunya kuat, gen perkasa itu dibiasakan begitu hingga ke anak-anak pun terbiasa mikul. Artinya ini menarik bagi beberapa orang Belanda untuk diabadikan termasuk di postcard/kartu pos.
“Jadi Belanda menganggap orang Indonesia ini aneh di abad revolusi industri masih menggunakan pikulan, tapi lama-lama kita juga menganggap kasihan, tidak manusiawi. Sehingga pikulan dianggap pekerjaan yang tidak manusiawi dan digantikan roda,“ terangnya.
Kang Supri juga punya asumsi puncaknya Pikulan sampai tahun 2000, tapi sudah mulai hilang digantikan gerobak roda dan food truck.
Keunikan lainnya dari pikulan yaitu memiliki disain yang sama. Misalnya tukang cendol, cingcau, mau di Garut atau di Bandung sama, (hanya rancatan/alat untuk memikulnya yang kadang beda, di Garut ujungnya ada ukiran kepala Domba Garut), demikian juga dengan tukang mie kocok dan mie bakso. Artinya ada disain yang sama diturunkan kepada anak cucu. “Jadi saya anggap ini sebagai sebuah Heritage, peninggalan artefak asli Indonesia yang tetap menghiasi budaya visual di kita karena kan pikulan itu diberi warna, dicat, diperindah biar menarik pembeli dan menjadi identitas,“ kata Kang Supri.
Demikian juga dengan alat panggilnya/cara menawarkannya. Ada yang memukul-mukul alat penggorengan/bujur katel sehingga menghasilkan bunyi tek-tek-tek, maka lalu disebut Mie Tektek. Ada juga yang memukulkan gelas ke kayu tutup gentong/buyung berbunyi duk-duk-duk hingga orang tau itu Cendol Buyung/Buruy, juga kentongan kecil tok-tok-tok untuk bakso, lonceng kecil dan bende/gamelan kecil (kenong) untuk es nongnong/es puter, juga langsung dengan teriakan, vokal, tahuuuu….peuyeum..pisang..pisang..cau keneh neng, “ kata Pa Dekan yang juga seniman/perupa handal ini sambil tertawa ngakak. Kebetulan juga bertemu dengan beliau ini di Pameran Tugas Akhir Mahasiswa Senirupa Murni FSRD ISBI Bandung, di GPK Naripan Bandung (berlangsung 5-12/8/2022), jadi bisa ngobrol lebih dalam tentang pikulan.
Tapi sayang keunikan-keunikan seperti itu katanya, kini jadi budaya yang hilang. Dulu ada pikulan yang menjajakan macam-macam kacang yang selalu hadir pada saat pergelaran wayang, atau hiburan malam Agustusan. Warna pikulannya sama selalu warna biru dan hitam serta ada lampu cempor yang kacanya (orang Sunda bilang semprong) terbungkus koran, serta ketika ada yang membeli suka diberi wadah kertas/koran dipincuk, lalu dirawu, diambilnya segenggam penuh kacang dari wadah lalu dimasukan ke pincukan kertas, tapi aneh itu hanya sekedar aksi sebab yang dimasukannya cuma sedikit, sesuai nilai uang pembeliannya, itu sdh lama hilang. Ada juga pikulan minuman yang dengan wadah gelas bar. ”Jadi bagi pribumi/inlander ada fantasi persepsi serasa minum di bar di zaman Kolonial. Tapi itu saya sempat lihat masih ada di pelosok seperti di Soreang dan Garut. Duh waas..,” kenang pak dekan nyoreang alam ka tukang, bernostalgia.
Cingcau di Garut masih ada begitu juga tukang patri, tukang sol, tukang ketan bakar, bakso cuanki, bakso tahu, mie tektek yang kompornya pake anglo dan arang, di Bandung satu-dua masih terlihat juga pikulan ikan yang berwarna hitam karena dilapisi aspal-anti air, masih ada dipasar-pasar tradisional. Kalau mau lihat yang sudah punah seperti pikulan minyak curah/keletik yang antik dan lainnya, bisa dilihat di Museum Sri Baduga Bandung. “Cuma yang lain sudah punah. Karena konsumen di kota besar metropolitan pun mungkin kini berpikir dua kali higienis/tidaknya karena tempat cuci piring dan gelasnya juga biasanya dari ember bekas cat serta airnya itu-itu juga. Kalau dulu mah taun 78-90-an mungkin gak berpikir ke higienitas, ah enak aja kan kita sudah punya fantasi yang lain,” kenang dekan.
Pikulan makanan cara menjajakannya dibedakan dua jenis, ada yang berkeliling (ngider) ada juga yang mangkal, nangkring. Yang nangkring pikulannya lebih besar seperti kopi, roti bakar yang terlihat di pasar-pasar sedangkan pikulan yang dijajakan berkeliling biasanya lebih kecil.
Bentuk pikulan di Bandung dan Pasundan pun berbeda dengan di daerah Jawa, di Bandung kecil-kecil karena menyesuaikan dengan kontur tanah di Bandung yang turun – naik jadi harus ringan beda dengan di Jawa yang lebih datar. Jadi letak geografis pun menentukan bentuk pikulan.
Pikulan jadi ciri khas selain bunyi-bunyian alat menjajakannya, disainnya juga tidak berubah. Nah kalau disain itu dibaca menggunakan ilmu dari Barat itu tidak masuk karena dalam desain thinking itu harus ada praktis, efisien, ekonomis dan komunikatif. Sementara pikulan yang ada di kita tidak memperdulikan semua itu, kadang-kadang dalam pikulan itu ditambah ornamen-ornamen lain seperti wayang jadi tidak nyambung dengan apa yang dijajakannya. Yang penting ada kedekatan antar pelanggan dan pikulan tersebut, ada ciri khasnya, jadi orang baru lihat juga sudah membayangkan rasanya, bahkan tanpa melihat pun, dengan mendengar suara alat panggilnya, orang sudah tahu jenis makanan apa yang ditawarkan dari pikulan tersebut. Ini lebih komunikatif.
Makanya saya angkat dalam webinar. Karena ini sesuatu yang hilang paling yang ada tahu gejrot Cirebon, baso tahu, mie tektek, satu dua masih ada yang dipikul yang dimasak pake arang dan penyajiannya lebih bersih dan pakai daun hingga terlihat estetik dan enak rasanya. Nah justru karena jarang itulah yang membuat makanan yang dipikul membuat kerinduan. Nostalgia itu membuat makan nikmat dimakan karena balik lagi ke suasana lama.
Pikulan ini pun sudah ada yang meniliti satu-dua dalam bentuk tesis (program Magister/S2), tapi menyebar ke roda, dan sebagainya, yang fokus ke pikulan belum ada.
“Jadi kesimpulannya kalau bisa ada konservasi, revitalisasi dibuat lagi. Ya ditelaah lagi, diteliti, dikonservasi, direvitalisasi meskipun hanya untuk dokumentasi, disimpan di museum baik secara visual maupun fisik, bahwa pikulan itu pernah ada di Indonesia, berada di kota Bandung,“ harap pak dekan.
Ragamnya alat pemikul atau kata orang Sunda Rancatan, alat pemikul terbuat dari bambu itu berbeda di tiap daerah, kalau di jawa Timur rancatan itu lebih melengkung (lihat pikulan Sate Madura) nah itu menurut Kang Supri harus ditelaah, apakah dengan bentuk melengkung dengan gravitasi itu akan lebih berat atau ringan? Jadi akan banyak aspek untuk dikonservasi misalnya hanya dengan warna apa adanya tidak perlu dibuat gambar buah-buahan misalnya, tapi cukup dengan warna kuning dan merah imajinasi pelanggan sudah mengarah ke sana bahwa ini minuman yang menyegarkan. Bahwa bakso ini makanan yang enak dan sebagainya.
Lalu pikulan pun terutama bakso kebanyakan berwarna metal dari seng dan warna kayunya merah seperti sumpitnya, itu menandakan makanan dari China itu imajinasinya. Karena warna merah itu khas China apalagi ditambah mangkoknya yang cap ayam jago yang mengundang selera. Jadi bisa jadi bahan kajian yang banyak, belum dari sisi pakemnya akan lebih menarik lagi.
Jadi intinya bahwa pikulan itu menjadi heritage kita yang makin berkurang. Kalau evolusinya cara orang menjajakan dagangan itu dari dikelek (digendong) disuhun di atas kepala, pake pikulan lalu gerobak roda, pake sepeda, motor dan sekarang pake mobil (food truck), serta terakhir dengan cara online.
“Mudah-mudahan ini jadi kajian bersama, karena setiap pikulan punya cerita, setiap orang akan punya cerita punya nostalgia dengan pikulan baik kenangan pribadi maupun umum. Misalnya penjual kacang yang selalu hadir pada malam hiburan agustusan, wayang, dengan wadah pincuk dari kertas koran dan lampu semprong. Tukang kerupuk yang pikulannya badag pisan dan ngitung kerupuknya ditembangkan. “Hiji nya mareunang hiji..dua nya mareunang dua, cenah Ujang daramel naon,“ katanya sambil tersenyum pada anak-anak yang menonton di dekatnya dan usai itu suka dibagi kerupuk satu-satu. Itu luar biasa dan sudah lama hilang.
Sekali lagi, kata pak dekan, tukang bakso yang pikulannya bergambar ikan tenggiri sedang meloncat di atas air, kadang diukir. Tukang cingcau yang ujung rancatannya berukir Domba Garut, dawet di Jawa Tengah berukir Semar atau Petruk. Kalau dikaji denga ilmu Barat susah. Begitu juga tahu gejrot yang warna kaen di pikulannya hijau muda dan berbahan rotan, tukang oncom – tempe dengan hiasan pikulannya khas sarigsig (garis-garis), di pasir Reungit Sumedang masih ada dan belum berubah.
Kalau bisa ada konservasi ada telaah budaya, para budayawan ngobrol bareng dengan orang-orang yang pernah mengalami zaman perpikulan itu, lalu direkonstruksi digambar dan dibuat ulang, direvitalisasi dan dijadikan sebuah dokumentasi baik digital maupun fisik, mungkin bisa juga sekalian dengan pembuatan makanannya. Ini penting karena heritage kita yang tersembunyi dan mungkin saja pembuatnya masih ada tapi di Bandung sudah mulai tersingkir. Paling ada satu dua di foodcourt (pujasera) di mall-mall itupun lebih ke hiasan mall dan sudah beda konsep, orang dulu kan beli mie tektek pasti pasti malam hari tapi sekarang di mall bisa siang hari .
Tapi sekarang orang mulai bernostalgia misal di angkringan yang konsepnya lebih banyak ngobrolnya, silaturahminya daripada ngopinya dan ini jadi terapi dari kejenuhan sehari-hari. Demikian cerita Pak Dekan FSRD ISBI Bandung.
Nah bisa saja kalau kuliner yang dijajakan di pikulan seperti dulu pun dihidupkan kembali di Bandung, dijajakan di setiap sudut kota, seperti Braga, Asia-Afrika, Jalan Merdeka dan sebagainya. Selain jadi alat penarik wisatawan seperti yang dilakukan Belanda di zaman Kolonial, meningkatkan perekonomian rakyat, juga bisa jadi terapi dari lelahnya kehidupan sehari-hari. Dan yang terpenting ini heritage kita yg tersembunyi , budaya kita yang mulai hilang ditelan zaman. Identitas bangsa yang harus dipertahankan. (Asep GP)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment