Thursday, January 12, 2023
Maestro Kertas dan Dewi Daun itu (fotoAsep GP) |
Ya itu terlihat dari kegiatan sehari-hari di kediaman Prof. Setiawan Sabana atau yang akrab disapa Kang Wawan/Prof. Wawan, di Jalan Rebana 10 Turangga Kota Bandung, di beranda rumahnya penuh dengan jemuran kain ekoprint dan terlihat ada pekerja yang sedang memeriksa kain linen bermotif dedaunan artistik tersebut.
Memang kata Lilis Nurhayati atau yang kini kerap dipanggil “Dewi Daun”, tiap hari Garasi Seni 10 bisa membuat minimal 10 Meter kain cetak daun/ekoprint. Lilis juga mendapat tambahan bantuan dari empat orang pekerja bagian produksi yang bekerja bergiliran dari Senin hingga Sabtu. Jadi Lilis hanya mengintruksikan saja kepada para asistennya. Jadi tiap hari di Garasi Seni ramai dengan kegiatan orang yang lagi nga-gosok daun, nga-mordan, nyeupan, nga-gulung.
Dan Garasi Seni pun jadi Ramai dengan pelatihan Cetak Daun (foto Dok. Garasi Seni) |
“Jadi sekarang tidak terlalu repot. Bisa konsentrasi ngurus akang (suaminya, Kang Wawan),“ katanya lega.
Prof. Wawan memang sejak beberapa kali dirawat karena sakit belum bisa beraktivitas seperti dulu. Tapi Sang Maestro Kertas ini kelihatannya sehat dan bisa berjalan walau kadang memakai kursi roda kalau solat ke masjid yang jaraknya puluhan meter dari rumahnya, dan semangat berkeseniannya masih hebat, malah kini tengah mempersiapkan pameran tunggal dan beberapa pameran lainnya serta membuat kalender unik ala Garasi Seni juga tetap membimbing calon-calon Doktor (mahasiswa S3), seminar, baik secara langsung maupun secara online dengan mahasiswanya yang berdomisili di luar Bandung (Bali-Cirebon).
Dia juga rajin berobat alternatif ke IRC di kawasan Antapani Bandung, dari efek refleksi, akupuntur dan sengat lebah, kesehatannya kian membaik.
Selain itu Garasi Seni 10 juga sekarang banyak kedatangan orang-orang yang mau belajar cetak daun/ ekoprint. Baik masyarakat umum maupun dari kalangan kampus, para kaum akademisi, seperti dosen dan alumni Universitas Islam Bandung (Unisba), FSRD ITB, ISBI Bandung, dan nanti perguruan tinggi lainnya akan menyusul.
Lilis Nurhayati bersama Prof. Endang Tjaturwati, belajar bersama Cetak Daun di Garasi Seni (foto Dok. Garasi Seni) |
“Alhamdulillah sekarang disini jadi haneuteun (hangat, ramai), banyak yang berminat belajar Cetak Daun/Ekoprint, dari beberapa perguruan tinggi, termasuk Guru Besar ISBI Bandung Prof. Endang Tjaturwati dan mahasiswa Pariwisata ISBI datang ke Garasi Seni 10,“ kata Dewi Daun yang juga akan memberi pelatihan cetak daun kepada korban gempa Cianjur bersama Prof. Endang yang sudah beberapa kali ke sana mengajarkan Shibori dan memberi sumbangan atas nama ISBI Bandung.
“Kepada yang ingin belajar Cetak Daun/Ekoprint, mangga siapa pun, bapak-bapak dan siswa sekolah pun banyak yang belajar ke sini. Silakan datang aja ke Garasi Seni 10, Jalan Rebana 10 Bandung, biar jadi haneuteun di sini,” ajak Lilis /Dewi Daun.
Lilis dengan Outer Cetak Daun hasil jahitannya sendiri (foto Asep GP) |
Sebagaimana diketahui, Ecoprint adalah memindahkan pola/bentuk dedaunan dan bunga-bunga ke atas permukaan kain (bisa juga kulit, kertas, keramik) yang sudah diolah untuk menghilangkan lapisan lilin dan kotoran halus pada kain agar warna tumbuhan mudah menyerap (teknik mordan).
Seni memindahkan bentuk daun ke atas permukaan kain yang ada di Garasi Seni 10, tekniknya atau nge-mordan–nya pun sama seperti yang biasa dipakai para ecoprinter lainnya. Tapi walau begitu tentu saja tiap ecoprinter memiliki teknis khusus tertentu berdasar kreativitas masing-masing.
Bahan daunnya juga seperti kebanyakan yang dipakai ecoprinter lainnya, seperti, Daun Jati yang masih muda, Daun Lanang, Daun Kesumba, Daun dan Bunga Truja, Daun Jenitri, Kulit Pohon Mahoni, berbagai jenis Daun Pakis, dan lain-lain. Tapi Lilis juga memakai daun Mintoar, Akalipa, Insulin (hasilnya mirip bunga Matahari), Kayuputih (ecalyptus), atau daun Pinus yang biasa ia dapatkan di sekitar Lembang juga mengeskplore daun-daun lainnya.
“Karena flora di kita sangat kaya dan beragam juga tekniknya di Garasi Seni lebih dikembangkan lagi misalnya menggabungkan shibori dengan cetak daun/ekoprint,“ jelas Dewi Daun yang belajar secara langsung Shibori ke pakarnya orang Jepang dan sudah 3 tahun mendalami Sibhori (membuat motif batik lipet ikat celup, sebuah seni teknik pewarnaan kain dari Jepang/batik versi Jepang).
Seorang asisten sedang menjemur kain ekoprint (foto Asep GP) |
Media yang ia gunakan selain kain adalah kertas. Sedangkan Lilis alias Dewi Daun ini adalah istrinya Maestro Kertas Prof. Setiawan Sabana, jadi bisa dibayangkan seartistik dan secantik apa hasil karya gabungan ini. Kedepannya Lilis yang mendalami ekoprint sejak 2018 ini pun akan mengembangkan pada media kulit dan media lainnya. Bahkan karya cetak daunnya pada media kain itu ia jahit sendiri menjadi baju outer dan dikenakan, dipamerkan ke wartawan, sebuah karya yang cantik artistik.
Selain itu Lilis pun memanfaatkan baju-baju lamanya untuk praktik cetak daun, semua pakainnya yang sudah belel (Sunda: lalayu sekar) pun jadi cantik dan seperti baru, binangkit sekali.
Selain itu Lilis pun memanfaatkan baju-baju lamanya untuk praktik cetak daun, semua pakainnya yang sudah belel (Sunda: lalayu sekar) pun jadi cantik dan seperti baru, binangkit sekali.
Mochammad Alif, kaum milenial ahli IT Garasi Seni 10 (foto Asep GP) |
Kata Lilis, dia akan terus berniat mengembangkan dan mengembangkan seni Cetak Daun–nya. Seperti eksplor berbagai jenis daun, mengembangkan motif dan mengganti teknik ikatan pun ada rahasia dapurnya.
“Ya sedikit-sedikit terus saya tambah, dikembangkan lagi biar tidak bosen dan monoton. Teknik yang saya dapat dari AEPI (Asosiasi Ecoprinter Indonesia) dalam praktiknya saya kembangkan lagi di rumah,“ jelasnya.
Maka Lilis pun mengajak kepada ibu-ibu di lingkungan rumahnya atau siapa pun yang mau belajar cetak daun/ekoprint ini silakan datang jangan sungkan-sungkan,untuk sama-sama belajar sambil silaturahmi.
Karena prospeknya cerah bisa menggerakkan roda ekonomi keluarga dan sedang didorong pemerintah untuk diekspor ke mancanagara dan diurus HAK–nya. Karena karya cetak daun/ekoprint Nusantara sangat unik dan artistik mengingat kekayaan floranya yang sangat melimpah dan kreativitas ecoprinternya yang hebat-hebat, tiada tara.
“Ya jadi ini juga salahsatu usaha Garasi Seni 10 untuk ikut membesarkan kebudayaan Nusantara melalui Cetak Daun dan sebagaimana kita tahu bahan-bahannya sangat banyak, ada di seluruh Nusanatara. Jadi di seni Cetak Daun ini orang pun antara sadar dan tidak bahwa disitu tercakup dimensi Kenusantaraan, dalam arti kekayaan alam floranya dan keindahan Bumi Nusantara ini. Jadi Garasi Seni disamping lewat kertas selalu memperkenalkan adanya sentuhan/tema ke–Nusantaraan, bahkan lebih dari itu ‘Di atas Kertas aku masuk surga‘, menggali budaya kenusantaraan - keindonesiaan, sambil menjunjung kelangitan-spiritualitas,“ Kang Wawan menambahkan.
Sementara Mochammad Alif (22) asisten Prof.Wawan yang sehari-hari membantu produksi sekaligus tim IT, dookumentasi, posting di sosmed, membuat sosmed, menyebar konten di flatform baru hingga mengusahakan kedepannya masuk tiktok dari Cetak Daun Garasi Seni 10. Dengan IG, cetakdaun.10 berlogo putih, mengatakan setelah membantu pembuatan cetak daun dia bisa mengenal bagaimana daun bisa menghasilkan berbagai warna dan berbagai motif yang cantik, menambah ilmu pengetahuannya.
Selain itu kata Anak Band trah Cianjur ini, prospek Cetak Daum sangat menjanjikan. “Karena merupakan produksi made yang autentik banget maksudnya setiap brand punya ciri khasnya masing-masing , misalnya karakteristik daun itu walau sama jenisnya tapi beda isinya/hasilnya, dan masih langka di Indonesia apalagi masuk ke kalangan milenial.
Untuk itulah kata Alif, Cetak Daun Garasi Seni 10 juga lagi mengembangkan produksi untuk kalangan milenial. Salahsatunya membuat tas ekoprint yang sering dipakai kalangan remaja dengan berbagai desain kekinian. (Asep GP)***
Cetak Daun (Ekoprint) Kreasi Garasi Seni 10 Kian Berkembang dan Diminati
Posted by
Tatarjabar.com on Thursday, January 12, 2023
Maestro Kertas dan Dewi Daun itu (fotoAsep GP) |
Ya itu terlihat dari kegiatan sehari-hari di kediaman Prof. Setiawan Sabana atau yang akrab disapa Kang Wawan/Prof. Wawan, di Jalan Rebana 10 Turangga Kota Bandung, di beranda rumahnya penuh dengan jemuran kain ekoprint dan terlihat ada pekerja yang sedang memeriksa kain linen bermotif dedaunan artistik tersebut.
Memang kata Lilis Nurhayati atau yang kini kerap dipanggil “Dewi Daun”, tiap hari Garasi Seni 10 bisa membuat minimal 10 Meter kain cetak daun/ekoprint. Lilis juga mendapat tambahan bantuan dari empat orang pekerja bagian produksi yang bekerja bergiliran dari Senin hingga Sabtu. Jadi Lilis hanya mengintruksikan saja kepada para asistennya. Jadi tiap hari di Garasi Seni ramai dengan kegiatan orang yang lagi nga-gosok daun, nga-mordan, nyeupan, nga-gulung.
Dan Garasi Seni pun jadi Ramai dengan pelatihan Cetak Daun (foto Dok. Garasi Seni) |
“Jadi sekarang tidak terlalu repot. Bisa konsentrasi ngurus akang (suaminya, Kang Wawan),“ katanya lega.
Prof. Wawan memang sejak beberapa kali dirawat karena sakit belum bisa beraktivitas seperti dulu. Tapi Sang Maestro Kertas ini kelihatannya sehat dan bisa berjalan walau kadang memakai kursi roda kalau solat ke masjid yang jaraknya puluhan meter dari rumahnya, dan semangat berkeseniannya masih hebat, malah kini tengah mempersiapkan pameran tunggal dan beberapa pameran lainnya serta membuat kalender unik ala Garasi Seni juga tetap membimbing calon-calon Doktor (mahasiswa S3), seminar, baik secara langsung maupun secara online dengan mahasiswanya yang berdomisili di luar Bandung (Bali-Cirebon).
Dia juga rajin berobat alternatif ke IRC di kawasan Antapani Bandung, dari efek refleksi, akupuntur dan sengat lebah, kesehatannya kian membaik.
Selain itu Garasi Seni 10 juga sekarang banyak kedatangan orang-orang yang mau belajar cetak daun/ ekoprint. Baik masyarakat umum maupun dari kalangan kampus, para kaum akademisi, seperti dosen dan alumni Universitas Islam Bandung (Unisba), FSRD ITB, ISBI Bandung, dan nanti perguruan tinggi lainnya akan menyusul.
Lilis Nurhayati bersama Prof. Endang Tjaturwati, belajar bersama Cetak Daun di Garasi Seni (foto Dok. Garasi Seni) |
“Alhamdulillah sekarang disini jadi haneuteun (hangat, ramai), banyak yang berminat belajar Cetak Daun/Ekoprint, dari beberapa perguruan tinggi, termasuk Guru Besar ISBI Bandung Prof. Endang Tjaturwati dan mahasiswa Pariwisata ISBI datang ke Garasi Seni 10,“ kata Dewi Daun yang juga akan memberi pelatihan cetak daun kepada korban gempa Cianjur bersama Prof. Endang yang sudah beberapa kali ke sana mengajarkan Shibori dan memberi sumbangan atas nama ISBI Bandung.
“Kepada yang ingin belajar Cetak Daun/Ekoprint, mangga siapa pun, bapak-bapak dan siswa sekolah pun banyak yang belajar ke sini. Silakan datang aja ke Garasi Seni 10, Jalan Rebana 10 Bandung, biar jadi haneuteun di sini,” ajak Lilis /Dewi Daun.
Lilis dengan Outer Cetak Daun hasil jahitannya sendiri (foto Asep GP) |
Sebagaimana diketahui, Ecoprint adalah memindahkan pola/bentuk dedaunan dan bunga-bunga ke atas permukaan kain (bisa juga kulit, kertas, keramik) yang sudah diolah untuk menghilangkan lapisan lilin dan kotoran halus pada kain agar warna tumbuhan mudah menyerap (teknik mordan).
Seni memindahkan bentuk daun ke atas permukaan kain yang ada di Garasi Seni 10, tekniknya atau nge-mordan–nya pun sama seperti yang biasa dipakai para ecoprinter lainnya. Tapi walau begitu tentu saja tiap ecoprinter memiliki teknis khusus tertentu berdasar kreativitas masing-masing.
Bahan daunnya juga seperti kebanyakan yang dipakai ecoprinter lainnya, seperti, Daun Jati yang masih muda, Daun Lanang, Daun Kesumba, Daun dan Bunga Truja, Daun Jenitri, Kulit Pohon Mahoni, berbagai jenis Daun Pakis, dan lain-lain. Tapi Lilis juga memakai daun Mintoar, Akalipa, Insulin (hasilnya mirip bunga Matahari), Kayuputih (ecalyptus), atau daun Pinus yang biasa ia dapatkan di sekitar Lembang juga mengeskplore daun-daun lainnya.
“Karena flora di kita sangat kaya dan beragam juga tekniknya di Garasi Seni lebih dikembangkan lagi misalnya menggabungkan shibori dengan cetak daun/ekoprint,“ jelas Dewi Daun yang belajar secara langsung Shibori ke pakarnya orang Jepang dan sudah 3 tahun mendalami Sibhori (membuat motif batik lipet ikat celup, sebuah seni teknik pewarnaan kain dari Jepang/batik versi Jepang).
Seorang asisten sedang menjemur kain ekoprint (foto Asep GP) |
Media yang ia gunakan selain kain adalah kertas. Sedangkan Lilis alias Dewi Daun ini adalah istrinya Maestro Kertas Prof. Setiawan Sabana, jadi bisa dibayangkan seartistik dan secantik apa hasil karya gabungan ini. Kedepannya Lilis yang mendalami ekoprint sejak 2018 ini pun akan mengembangkan pada media kulit dan media lainnya. Bahkan karya cetak daunnya pada media kain itu ia jahit sendiri menjadi baju outer dan dikenakan, dipamerkan ke wartawan, sebuah karya yang cantik artistik.
Selain itu Lilis pun memanfaatkan baju-baju lamanya untuk praktik cetak daun, semua pakainnya yang sudah belel (Sunda: lalayu sekar) pun jadi cantik dan seperti baru, binangkit sekali.
Selain itu Lilis pun memanfaatkan baju-baju lamanya untuk praktik cetak daun, semua pakainnya yang sudah belel (Sunda: lalayu sekar) pun jadi cantik dan seperti baru, binangkit sekali.
Mochammad Alif, kaum milenial ahli IT Garasi Seni 10 (foto Asep GP) |
Kata Lilis, dia akan terus berniat mengembangkan dan mengembangkan seni Cetak Daun–nya. Seperti eksplor berbagai jenis daun, mengembangkan motif dan mengganti teknik ikatan pun ada rahasia dapurnya.
“Ya sedikit-sedikit terus saya tambah, dikembangkan lagi biar tidak bosen dan monoton. Teknik yang saya dapat dari AEPI (Asosiasi Ecoprinter Indonesia) dalam praktiknya saya kembangkan lagi di rumah,“ jelasnya.
Maka Lilis pun mengajak kepada ibu-ibu di lingkungan rumahnya atau siapa pun yang mau belajar cetak daun/ekoprint ini silakan datang jangan sungkan-sungkan,untuk sama-sama belajar sambil silaturahmi.
Karena prospeknya cerah bisa menggerakkan roda ekonomi keluarga dan sedang didorong pemerintah untuk diekspor ke mancanagara dan diurus HAK–nya. Karena karya cetak daun/ekoprint Nusantara sangat unik dan artistik mengingat kekayaan floranya yang sangat melimpah dan kreativitas ecoprinternya yang hebat-hebat, tiada tara.
“Ya jadi ini juga salahsatu usaha Garasi Seni 10 untuk ikut membesarkan kebudayaan Nusantara melalui Cetak Daun dan sebagaimana kita tahu bahan-bahannya sangat banyak, ada di seluruh Nusanatara. Jadi di seni Cetak Daun ini orang pun antara sadar dan tidak bahwa disitu tercakup dimensi Kenusantaraan, dalam arti kekayaan alam floranya dan keindahan Bumi Nusantara ini. Jadi Garasi Seni disamping lewat kertas selalu memperkenalkan adanya sentuhan/tema ke–Nusantaraan, bahkan lebih dari itu ‘Di atas Kertas aku masuk surga‘, menggali budaya kenusantaraan - keindonesiaan, sambil menjunjung kelangitan-spiritualitas,“ Kang Wawan menambahkan.
Sementara Mochammad Alif (22) asisten Prof.Wawan yang sehari-hari membantu produksi sekaligus tim IT, dookumentasi, posting di sosmed, membuat sosmed, menyebar konten di flatform baru hingga mengusahakan kedepannya masuk tiktok dari Cetak Daun Garasi Seni 10. Dengan IG, cetakdaun.10 berlogo putih, mengatakan setelah membantu pembuatan cetak daun dia bisa mengenal bagaimana daun bisa menghasilkan berbagai warna dan berbagai motif yang cantik, menambah ilmu pengetahuannya.
Selain itu kata Anak Band trah Cianjur ini, prospek Cetak Daum sangat menjanjikan. “Karena merupakan produksi made yang autentik banget maksudnya setiap brand punya ciri khasnya masing-masing , misalnya karakteristik daun itu walau sama jenisnya tapi beda isinya/hasilnya, dan masih langka di Indonesia apalagi masuk ke kalangan milenial.
Untuk itulah kata Alif, Cetak Daun Garasi Seni 10 juga lagi mengembangkan produksi untuk kalangan milenial. Salahsatunya membuat tas ekoprint yang sering dipakai kalangan remaja dengan berbagai desain kekinian. (Asep GP)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment