Home
» Seni Budaya
» Galih Pakuan Sukses Menggelar Tari Klasik Sunda di Tengah Hingar Bingarnya Kota
Tuesday, July 2, 2024
Para personil Galih Pakuan, Sukses Menggelar Tari Klasik Sunda (Foto Asep GP) |
Ya .. lihat saja, para penonton pun membludak hingga banyak yang berdiri, tidak kebagian kursi. Ada sekitar 200 orang yang datang ke Gedung Pusat Kebudayaan (GPK) Jalan Naripan N0. 7-9 Kota Bandung pada malam Minggu itu (22/6/2024).
Tua-muda plus anak-anak dengan serius, asyik menyaksikan para maestro tari klasik Sunda yang berumur antara 70-an dan 80-an tahun, unjuk kabisa. Terlihat hadir saat itu Kadisparbud Jabar Drs. Benny Bachtiar, M.Si, juga dua orang akademisi tari dari ISBI Bandung Prof. Dr. Een Herdiani, S.Sen., M. Hum, (Guru Besar Ilmu Sejarah Tari) dan Prof. Dr. Endang Caturwati, S.S.T.,M.S., (Guru Besar Seni Pertunjukan) pun turut rawuh, demikian juga Budayawan Endo Suanda dan Otih Rostoyati serta para seniman – budayawan lainnya seperti Diro Aritonang beserta istri terlihat memberi semangat sebelum pergelaran juga Ferry Curtis dan istri terlihat melintas malam itu. Padahal malam itu di luar pun hingar bingar ada keramaian, berbagai acara seni dan bazar digelar dalam rangka Milangkala/Ulang Tahun Jalan Braga yang ke-142.
Tapi rasa cinta dan rasa ingin tahu akan Tari Klasik Sunda membuat mereka lebih memilih menyaksikan apa itu Tari Badaya, Tayuban, Gawil, Tari Kandagan, Sulintang, Topeng Klana, Tari Pangayoman, Topeng Kencana Wungu, dan Narantika Rarangganis yang dibawakan langsung para pakarnya yang berusia senja, yang digelar saat itu. Penonton pun sangat antusias sekali kelihatannya, setiap selesai satu tarian selalu saja disambut dengan riuh tepuk tangan.
Kadiparbud Jabar Benny Bachtiar, Saya titip, didik anak-anak muda yang kurang perhatiannya terhadap seni tradisi (Foto Asep GP) |
Hal ni membuat terharu Ketua Umum Galih Pakuan (GP) yang baru periode 2024-2026, Risyani, S.ST., M.Sen, (74). Dengan berkaca-kaca dosen ISBI yang masih mengenakan pakaian tari Topeng Tumenggung ini tak henti-hentinya berucap syukur. “Alhamdulillah ternyata Alloh memberi lebih dari yang kita harapkan. Barangkali ini lahir dari ketulusan hati rekan-rekan kita semua yang telah mendukung acara ini termasuk dari pemerintah daerah dan para pejabat, saudara, adik dan incu/cucu juga. Itu yang membuat kami terharu dan bangga campur-aduk gembira, suka cita berbaur jadi satu,” katanya dengan bibir bergetar.
Risyani juga bercerita usai pergelaran dibisikan Pak Dana, penabuh Kendang Senior, “..Mungkin Pak Nugraha (Tokoh Tari Nugraha Suradiredja - Alm) dari alam kalanggengan sana pun melihat dan mendoa’kan, sehingga apa-apa yang dilakukan murid-muridnya bisa berjalan lancar”.
Intinya, kata Risyani, apa yang telah dilakukan dan saksikan dalam pergelaran ini, menumbuhkan semangat baru, menimbulkan keinginan-keinginan baru. “Semoga saja bukan hanya sekedar mimpi, saya ingin terus melanjutkan, meneruskan apa yang telah guru-guru kami wariskan, warisan para sesepuh. Dengan harapan ada regenerasi itu yang utama. Tadi yang kita lihat para penari senior yang sudah berusia renta tapi dengan semangat tinggi mereka menari walau tidak sempurna seperti dulu, tapi mereka sangat berbahagia, kebahagiaan itu yang ingin kami tularkan kepada generasi-generasi selanjutnya, karena tari itu bukan hanya sekadar tontonan tapi juga tuntunan,“ katanya pasti.
Aim Salim sedang menari Tayuban (Foto Asep GP) |
Tuntunan ini kata Risyani yang harus kita tetap jaga, sebab di tengah arus budaya luar yang pesat ini generasi muda kita bingung mencari akar budayanya. Sementara jarang sekali pentunjukan seni daerah ditayangkan di TV, di tempat-tempat umum, di gedung pertunjukan, di kampus-kampus, dsb. Beda dengan zaman dulu, seni-budaya itu sejak dini sudah dikenalkan orang tua pada anak-anaknya. “Saya sendiri waktu kecil pernah menari dan menyaksikan Wayang Golek di Gedung Yayasan (YPK/GPK) ini, di Tegalega ada Longser Pak Baum, di statsiun ada Ketuktilu. Itu masa kecil saya tidak pernah hilang dari ingatan, saya sering diajak orang tua , … hayu urang lalajo wayang di yayasan, ajak Bapak waktu itu,” kenang cucu Mas Adihardja dari Lebakwangi, dan leluhurnya tokoh Sunda yang punya goong kabuyutan.
Risyani juga ketika memberi sambutan di panggung, usai resmi menerima tongkat estafet kepemimpinan GP dari Yuli Sunarya, berterima kasih kepada Kadisparbud Jabar yang berkenan hadir mengapresiasi pergelaran dan melantiknya. Risyani berharap dapat melaksanakan amanat memajukan seni tradisi Sunda dan menularkan, memotivasi generasi muda, agar tidak tercerabut dari akar budayanya sendiri, sesuai tujuan GP.
Indrawati Lukman (80) menari Kandagan (Foto Asep GP) |
Dia berharap, program-program GP terus berlangsung dan terus dibina pemerintah Jabar. “Semoga setelah pergelaran ini akan berlanjut dengan program selanjutnya dengan pelatihan-pelatihan generasi muda dan sarasehan seni tradisi Sunda,“ katanya sambil tak lupa berterima kasih kepada semua pihak yang telah memberi donasi, seperti donasi dari Panggung Maestro dan Serikat Cookies Tangerang, juga pada Pj Gubernur Jawa Barat Bey Machmudin. "Ternyata kami banyak di dukung semua pihak, kami merasa yakin punya semangat untuk terus berjuang melestarikan dan menularkan seni tradisi Sunda,“ pungkasnya.
Kegembiraan juga terpancar dari wajah Yuli Sunarya penari Topeng Klana (ciptaan Nugraha Soedirdja), terutama melihat antusiasnya para penonton dan bibit-bibt regenerasi penari yang memenuhi gedung hingga tak kebagian tempat duduk. “Semoga program GP ke depannya lebih meningkat dan banyak yang mau belajar, melestarikan Tari Klasik Sunda, biar ada regenrasi,“ kata Ketua GP periode 2021-2023 yang walau tersendat karena pandemi, telah berhasil membuat legalitas GP dan berusaha membuat pelatihan-pelatihan untuk siswa SMP dan SMA di YPK serta pergelaran di Taman Love Balkot Bandung (2019), Mayang Sunda dan pergelaran virtual 2020.
Pangayoman ditarikan Yeti Mamat (Foto Asep GP) |
Kadisparbud Jabar sendiri dalam sambutannya mengatakan dengan pasti, sangat mengapresiasi kegiatan GP ini. Sebab ketika diskusi dengan Kang Ganjar (Prof. Dr. Ir. Ganjar Kurnia DEA, Rektor Unpad ke-10 yang juga budayawan Sunda), dia jadi tahu setiap tahunnya ada 500 akar budaya Sunda yang hilang.
Jadi, “Saya bangga sakarang bisa berdiri di depan orang-orang luar biasa yang tetap ngamumule (melestarikan) Budaya Sunda. Mata saya kini terbuka, setiap kali ada kegiatan biasanya ada Tari Merak, tapi hari ini saya bisa menemukan tarian (Narantika Rarangganis) yang akan saya tampilkan ke depan untuk menyambut tamu kehormatan. Saya lihat tadi para penarinya pun suda di usia senja, tapi luar biasa enerjik, sepertinya aktivitas tari bisa membuat bugar fisik kita,“ pujinya.
Yuli Sunarya Gagah, tengah menarikan Topeng Klana (Foto Asep GP) |
Benny juga mengaku kagagas (terharu) setiap melihat pergelaran seni Sunda dan bertemu para inohong seni-budaya Sunda, jadi teringat mertuanya yang juga seorang Budayawan Sunda. Dia juga menitipkan anak-anak muda yang sudah kurang perhatiannya ke seni tradisi. Hal ini pun jadi kekhawatiran pihak disparbud. Untuk itu kata Benny, pihaknya sangat fokus dalam pengembangan seni budaya. Selain itu yang dicari para wisatawan mancanagara yang datang ke Indonesia utamanya ke Jabar yang pertama kuliner, keduanya budaya tradisi. Untuk itulah pihaknya berusaha keras mengaktivasi seluruh asset yang ada untuk aktivitas-aktivitas positif seperti kebudayaan ini. Termasuk di GPK Jalan Naripan, yang hingga 2022 mati bagai kuburan, kini sudah menggeliat lagi dengan berbagai kegiatan seni, termasuk rutin dipakai latihan Galih Pakuan tiap Kamis dan NDC tiap Senin sore.
“Selamat ketua terpilih, semoga bisa menularkan atraksi seni budaya ini ke generasi muda, karena hari ini sangat deras sekali budaya luar masuk ke kita. Ini menjadi kegalauan dan kekhawatiran kami. Untuk itu kami mengajak para hadirin utamanya tokoh-tokoh seni budaya Jawa Barat untuk tidak bosan-bosannya menggunakan energi positif untuk menularkannya kepada generasi muda ke depannya. Karena siapa lagi kalau bukan kita yang melestarikan budaya ini,“ pesannya.
Dari kiri Risyani Pupuhu Galih Pakuan, Prof. Endang Caturwati, Prof. Een Herdiani dan bibit-bibit regenerasi (Foto Asep GP) |
Begitu juga dengan bahasa Sunda. “Saya ingat mertua saya ketika anak saya lahir jangan bebicara banyak kalau belum mampu membawa keluarga berbicara menggunakan bahasa Sunda. Beliau mengatakan … diajar basa deungeun mah bisa nuturkeun, tapi basa indung anu hese mah, nu matak basa indung kudu dijarkeun di imah.. (belajar dan bicara bahasa ibu itu lebih susah daripada belajar/ menggunakan bahasa Indonesia dan asing, oleh karena itu bahasa ibu harus diajarkan sejak dini di rumah). Siapa lagi yang akan melestarikan bahasa Sunda ari sanes ku urang-urang mah,“ pungkasnya.
Selain Kadisparbud Jabar, pergelaran ini pun mendapat apresiasi tinggi dari Guru Besar Tari ISBI Bandung, Prof. Een Herdiani.
“Ini pergelaran yang luar biasa! Coba bayangkan para penari senior yang usianya 70 tahun lebih hingga 80 tahun lebih, Bu Indrawati 80 Tahun, Pak Aim 84, Bu Risyani (74), dan lainnya, masih bisa tampil di panggung. Saya terharu campur bangga, kita saja yang muda-muda belum tentu bisa seperti mereka, bisa terus manggung hingga usia senja. Kegiatan-kegiatan seperti ini sudah jarang, sekarang ditampilkan lagi, kami memang sangat rindu menyaksikan pertunjukan-pertunjukan seperti ini, seperti nostalgia. Saya betul-betul terharu, semoga mereka diberi panjang umur agar bisa terus menyebarkan ilmu kepada anak-anak muda,“ katanya sambil menengadahkan kedua tangannya.
Prof. Endang Caturwati pun sebagai Guru Besar Seni Pertunjukan, menilai lebih pada pertunjukan langka dan bersejarah ini.
“Ini pergelaran sangat baik! Selain ngamumule seni budaya yang hampir punah, ini memberi contoh pada generasi muda bahwa kita punya taria-tarian yang pernah terkenal di tahun 50 dan 80-an karya para tokoh tari Jawa Barat. Tari itu banyak sekali manfaatnya selain untuk olahraga yang membuat para penarinya sehat, belajar tari juga melatih kebersamaan, tidak boleh egois, belajar sikap yang baik, juga mencintai seni tradisi kita. Semoga setelah pergelaran, tarian klasik ini dibuat arsip untuk dokumentasi,” pintanya serius.
Mang Dana Kendang, waraas emut ka mangsa lawas (Foto Asep GP) |
Sementara itu penari paling Senior yang tampil malam itu Muhammad Aim salim, S.Sen berharap, organisasi seni Galih Pakuan ini bisa jadi tali pengikat silaturahmi diantara seniman (Tari) Sunda untuk sama-sama melestarikan Tari Sunda, untuk kembali kepada jatidiri Sunda.
Kewajiban Sanggar seni, kata guru Dida Margana, Dewi Gita dan Hedi Yunus, mengenalkan kembali seni yang hampir musnah kepada generasi kiwari. Selain itu masyarakat dan pemerintah juga harus mendukung, karena suatu organisasi tanpa dukungan pemerintah dan masyarakat tidak akan hidup. “Berkembang dan hidupnya suatu budaya tergantung masyarakat pendukungnya. Ini hal serius karena frekwensi kegiatan seni tradisi di kita sangat langka dan tidak gampang mengumpulkan para penari seperti ini. Oleh karena saya bawel, suka cerewed mengingatkan anak-anak (murid), ku saha deui lamun lain ku urang dimumulena seni budaya Sunda teh,” kata penari berusia 84 tahun yang ngajar tari dari tahun 67, sekarang pun tiap hari Minggu (Pk.10.00 - 14.00) masih aktif ngajar tari di sanggarnya Setialuyu di Gedung Rumentangsiang, jalan Baranangsiang Kota Bandung.
Dan jangan lupa dibalik suksesnya pergelaran malam itu ada peran Dana Setiawan sebagai pemain Kendang. Ya tarian tanpa tabuhan kendang ibarat sayur tanpa garam. Dan komentarnya terhadap pergelaran malam itu. “Alhamduliilah sarae (bagus-bagus) walaupun penarinya sudah pada sepuh tapi masih kreatif dan aktif, hafal terhadap susunan gerak, biasanya kan maklum orang tua suka lupa,“ kata Mang Dana Kendang sambil mengacungkan jempolnya. Ini waraas, ingat masa lalu katanya, nostalgia. “Sewaktu mereka kuliah, saya yang mengiringi menabuh kendang, sekarang pun di masa tuanya saya masih sempat ngendangan mereka. Waraas, saya jadi teringat para senior di ISBI zaman dulu seperti zaman Pak Yuyun, Pak Yusuf dan Pak Enoch..waraas,“ katanya, sambil terus mengikat kendang kesayangannya di jok motor, menyembunyikan rasa harunya.
Pak Dana memang sejak tahun 77 sudah jadi karyawan ISBI Bandung, namanya pun masih Kori, ketika berubah jadi ASTI 2008, Mang Dana 2009 ditarik SMKI (SMKN 10 Bandung). Sekarang pun di masa pensiunnya masih aktif manggung tiap Sabtu dan Minggu di Hotel Panghegar (kini El Royal) Jalan Merdeka Bandung, menghibur tamu yang makan pagi (gambangan – suling ). Selain itu mang Dana pun jadi konsultan tari mahasiswa ISBI dan ngajar seni di Perikanan.
Penonton pun membludak (Foto Asep GP) |
Juru Kendang pituin/asli dari Binong Bandung ini adalah cucunya Bah Api juru kendang terkenal zaman Pak Yusuf, Pak Boma dan rupanya selain terkenal kepiawaiannya menabuh kendang, Bah Api juga terkenal sebagai penabuh kendang kidal, memakai tangan kiri, lain dari kebanyakan penabuh kendang lainnya yang dominan memakai tangan kanan.
Selain itu mang Dana juga diwaris lalaguan Cirebonan (pengiring Tari Topeng Rumiyang, Panji, Klana, Tumenggung, Pamindo) langsung oleh saehunya, Pak Sujana (Sujana Arja, Mestro Tari Topeng Selangit-Cirebon). Tidak heran kalau kabisanya itu telah membawanya manggung ke Amerika, Jepang, Malaysia, Singapura dan dipercaya jadi pelatih Degung oleh Bu Cinta (Atalia Praratya, istri Ridwan Kamil) yang waktu itu sebagai istri walikota Bandung dan Ketua Dharma Wanita dan manggung di NTT, Timor Leste. Mang Dana yang kini usianya 74 tahun mengaku masih kuat ngendangan dalam tiap pergelaran walau sudah tidak setangguh dulu, latihan di Cirebon aja bisa tahan sampai jam 4 subuh. Tapi, InsyaAlloh abdi bakal teras ngendangan dugi ka teu walakaya,“ katanya pasti.
Mendapat berbagai dukungan dari semua kalangan membuat Wakil Ketua GP Ahmad Zakaria bersyukur dan bahagia. Dengan adanya pergelaran ini dia jadi yakin potensi masyarakat Jabar itu masih ada. Tinggal menghimpun saja. Kalau Galih Pakuan sudah memulainya dengan mengadakan latihan rutin di GPK Naripan Bandung tiap hari Kamis.
“Dengan dukungan pemerintah GP pun ke depannya akan mengadakan pelatihan-pelatihan ke sekolah, sosialisasi seni tari dan akan membuka kursus. Materinya pun bukan hanya sekedar tari klasik saja, karena GP itu dulunya berupa Helaran yang di dalamnya terdapat berbagai kesenian Sunda, seperti Silat, Angklung Buncis, Dogdog Lojor juga Sisingaan. Jadi dengan kerjasama yang baik dari pelaku-pelaku seni dan dukungan pemerintah yang lebih mengedepankan kesenian Jawa Barat, kita bisa melestarikan seni-budaya Sunda,” katanya pasti.
Topeng Kencana Wungu, dibawakan oleh Irma (Foto Asep GP) |
Hal itu dibenarkan Dida Margana (Humas GP ) dan Nina Lydia (Bendahara GP), kedepannya GP akan mengadakan diklat dan pasanggiri-pasanggiri (lomba), Dida akan segera bertemu kadisdik untuk membicarakan hal ini. ”Semisal tiap sekolah mengirimkan 5 wakilnya, se-Bandung aja sudah ada berapa, GP itu benar-benar lagi membutuhkan para penari laki-laki. Dalam pergelaran tadi aja Tari topeng Tumenggung yang biasanya ditarikan oleh pria ditarikan Bu Risyani. Jadi memang kekurangan personil penari laki-laki,“ kata Dida.
Adapun yang akan diajarkan nanti di Galih Pakuan utamanya Tari Narantika Rarangganis dan tari ini akan dijadikan maskot untuk upacara-upacara adat, penyambutan tamu, wisuda, samen (syukuran kenaikan kelas) sekolah, dsb.
Riwayat Galih Pakuwon, sebagaimana yang dijelaskan Aim Salim, Irawati Durban, Yati Mamat, Yuli Sunarya dan Ahmad Zakaria, lahir ketika Aang Kunaefi jadi Gubernur Jawa Barat. Ketika itu Pak Aang yang menjabat Gubernur Jawa Barat tahun 75-85, pada taun 79 ingin punya tim kesenian Sunda yang khusus untuk menyambut para tamu Negara utamanya yang berkunjung ke Jawa Barat, termasuk ke Istana Bogor. Kemudian beliau memanggil Enoch Atmadibrata, tokoh tari yang juga menjabat Kepala Pembinaan Kebudayaan Jawa Barat. Seterusnya berembuk bersama para inohong seni-budaya Sunda, termasuk Nugraha Soediredja, Indrawati Lukman, Irawati Durban, dan seniman lainnya yang ahli pencak silat, dogdog lojor, angklung buncis, dsb, lalu semua kesenian itu dirangkum dibuat satu protokoler untuk menyambut tamu Negara dengan konsep kesenian bernama Tari PURAGABAYA berupa helaran/arak-arakan kesenian, seterusnya ketika dipergelarkan di panggung bernama Narantika Rarangganis.
Tarian maskot Jawa Barat ini selain sering manggung di Istana juga pernah magelaran menyambut tamu dari mancanegara dalam perayaan Ulang Tahun Konferensi Asia-Afrika ke-30 di Gedung Merdeka Bandung, yang ketika itu dihadiri Presiden Soeharto. (Asep GP)***
Galih Pakuan Sukses Menggelar Tari Klasik Sunda di Tengah Hingar Bingarnya Kota
Posted by
Tatarjabar.com on Tuesday, July 2, 2024
Para personil Galih Pakuan, Sukses Menggelar Tari Klasik Sunda (Foto Asep GP) |
Ya .. lihat saja, para penonton pun membludak hingga banyak yang berdiri, tidak kebagian kursi. Ada sekitar 200 orang yang datang ke Gedung Pusat Kebudayaan (GPK) Jalan Naripan N0. 7-9 Kota Bandung pada malam Minggu itu (22/6/2024).
Tua-muda plus anak-anak dengan serius, asyik menyaksikan para maestro tari klasik Sunda yang berumur antara 70-an dan 80-an tahun, unjuk kabisa. Terlihat hadir saat itu Kadisparbud Jabar Drs. Benny Bachtiar, M.Si, juga dua orang akademisi tari dari ISBI Bandung Prof. Dr. Een Herdiani, S.Sen., M. Hum, (Guru Besar Ilmu Sejarah Tari) dan Prof. Dr. Endang Caturwati, S.S.T.,M.S., (Guru Besar Seni Pertunjukan) pun turut rawuh, demikian juga Budayawan Endo Suanda dan Otih Rostoyati serta para seniman – budayawan lainnya seperti Diro Aritonang beserta istri terlihat memberi semangat sebelum pergelaran juga Ferry Curtis dan istri terlihat melintas malam itu. Padahal malam itu di luar pun hingar bingar ada keramaian, berbagai acara seni dan bazar digelar dalam rangka Milangkala/Ulang Tahun Jalan Braga yang ke-142.
Tapi rasa cinta dan rasa ingin tahu akan Tari Klasik Sunda membuat mereka lebih memilih menyaksikan apa itu Tari Badaya, Tayuban, Gawil, Tari Kandagan, Sulintang, Topeng Klana, Tari Pangayoman, Topeng Kencana Wungu, dan Narantika Rarangganis yang dibawakan langsung para pakarnya yang berusia senja, yang digelar saat itu. Penonton pun sangat antusias sekali kelihatannya, setiap selesai satu tarian selalu saja disambut dengan riuh tepuk tangan.
Kadiparbud Jabar Benny Bachtiar, Saya titip, didik anak-anak muda yang kurang perhatiannya terhadap seni tradisi (Foto Asep GP) |
Hal ni membuat terharu Ketua Umum Galih Pakuan (GP) yang baru periode 2024-2026, Risyani, S.ST., M.Sen, (74). Dengan berkaca-kaca dosen ISBI yang masih mengenakan pakaian tari Topeng Tumenggung ini tak henti-hentinya berucap syukur. “Alhamdulillah ternyata Alloh memberi lebih dari yang kita harapkan. Barangkali ini lahir dari ketulusan hati rekan-rekan kita semua yang telah mendukung acara ini termasuk dari pemerintah daerah dan para pejabat, saudara, adik dan incu/cucu juga. Itu yang membuat kami terharu dan bangga campur-aduk gembira, suka cita berbaur jadi satu,” katanya dengan bibir bergetar.
Risyani juga bercerita usai pergelaran dibisikan Pak Dana, penabuh Kendang Senior, “..Mungkin Pak Nugraha (Tokoh Tari Nugraha Suradiredja - Alm) dari alam kalanggengan sana pun melihat dan mendoa’kan, sehingga apa-apa yang dilakukan murid-muridnya bisa berjalan lancar”.
Intinya, kata Risyani, apa yang telah dilakukan dan saksikan dalam pergelaran ini, menumbuhkan semangat baru, menimbulkan keinginan-keinginan baru. “Semoga saja bukan hanya sekedar mimpi, saya ingin terus melanjutkan, meneruskan apa yang telah guru-guru kami wariskan, warisan para sesepuh. Dengan harapan ada regenerasi itu yang utama. Tadi yang kita lihat para penari senior yang sudah berusia renta tapi dengan semangat tinggi mereka menari walau tidak sempurna seperti dulu, tapi mereka sangat berbahagia, kebahagiaan itu yang ingin kami tularkan kepada generasi-generasi selanjutnya, karena tari itu bukan hanya sekadar tontonan tapi juga tuntunan,“ katanya pasti.
Aim Salim sedang menari Tayuban (Foto Asep GP) |
Tuntunan ini kata Risyani yang harus kita tetap jaga, sebab di tengah arus budaya luar yang pesat ini generasi muda kita bingung mencari akar budayanya. Sementara jarang sekali pentunjukan seni daerah ditayangkan di TV, di tempat-tempat umum, di gedung pertunjukan, di kampus-kampus, dsb. Beda dengan zaman dulu, seni-budaya itu sejak dini sudah dikenalkan orang tua pada anak-anaknya. “Saya sendiri waktu kecil pernah menari dan menyaksikan Wayang Golek di Gedung Yayasan (YPK/GPK) ini, di Tegalega ada Longser Pak Baum, di statsiun ada Ketuktilu. Itu masa kecil saya tidak pernah hilang dari ingatan, saya sering diajak orang tua , … hayu urang lalajo wayang di yayasan, ajak Bapak waktu itu,” kenang cucu Mas Adihardja dari Lebakwangi, dan leluhurnya tokoh Sunda yang punya goong kabuyutan.
Risyani juga ketika memberi sambutan di panggung, usai resmi menerima tongkat estafet kepemimpinan GP dari Yuli Sunarya, berterima kasih kepada Kadisparbud Jabar yang berkenan hadir mengapresiasi pergelaran dan melantiknya. Risyani berharap dapat melaksanakan amanat memajukan seni tradisi Sunda dan menularkan, memotivasi generasi muda, agar tidak tercerabut dari akar budayanya sendiri, sesuai tujuan GP.
Indrawati Lukman (80) menari Kandagan (Foto Asep GP) |
Dia berharap, program-program GP terus berlangsung dan terus dibina pemerintah Jabar. “Semoga setelah pergelaran ini akan berlanjut dengan program selanjutnya dengan pelatihan-pelatihan generasi muda dan sarasehan seni tradisi Sunda,“ katanya sambil tak lupa berterima kasih kepada semua pihak yang telah memberi donasi, seperti donasi dari Panggung Maestro dan Serikat Cookies Tangerang, juga pada Pj Gubernur Jawa Barat Bey Machmudin. "Ternyata kami banyak di dukung semua pihak, kami merasa yakin punya semangat untuk terus berjuang melestarikan dan menularkan seni tradisi Sunda,“ pungkasnya.
Kegembiraan juga terpancar dari wajah Yuli Sunarya penari Topeng Klana (ciptaan Nugraha Soedirdja), terutama melihat antusiasnya para penonton dan bibit-bibt regenerasi penari yang memenuhi gedung hingga tak kebagian tempat duduk. “Semoga program GP ke depannya lebih meningkat dan banyak yang mau belajar, melestarikan Tari Klasik Sunda, biar ada regenrasi,“ kata Ketua GP periode 2021-2023 yang walau tersendat karena pandemi, telah berhasil membuat legalitas GP dan berusaha membuat pelatihan-pelatihan untuk siswa SMP dan SMA di YPK serta pergelaran di Taman Love Balkot Bandung (2019), Mayang Sunda dan pergelaran virtual 2020.
Pangayoman ditarikan Yeti Mamat (Foto Asep GP) |
Kadisparbud Jabar sendiri dalam sambutannya mengatakan dengan pasti, sangat mengapresiasi kegiatan GP ini. Sebab ketika diskusi dengan Kang Ganjar (Prof. Dr. Ir. Ganjar Kurnia DEA, Rektor Unpad ke-10 yang juga budayawan Sunda), dia jadi tahu setiap tahunnya ada 500 akar budaya Sunda yang hilang.
Jadi, “Saya bangga sakarang bisa berdiri di depan orang-orang luar biasa yang tetap ngamumule (melestarikan) Budaya Sunda. Mata saya kini terbuka, setiap kali ada kegiatan biasanya ada Tari Merak, tapi hari ini saya bisa menemukan tarian (Narantika Rarangganis) yang akan saya tampilkan ke depan untuk menyambut tamu kehormatan. Saya lihat tadi para penarinya pun suda di usia senja, tapi luar biasa enerjik, sepertinya aktivitas tari bisa membuat bugar fisik kita,“ pujinya.
Yuli Sunarya Gagah, tengah menarikan Topeng Klana (Foto Asep GP) |
Benny juga mengaku kagagas (terharu) setiap melihat pergelaran seni Sunda dan bertemu para inohong seni-budaya Sunda, jadi teringat mertuanya yang juga seorang Budayawan Sunda. Dia juga menitipkan anak-anak muda yang sudah kurang perhatiannya ke seni tradisi. Hal ini pun jadi kekhawatiran pihak disparbud. Untuk itu kata Benny, pihaknya sangat fokus dalam pengembangan seni budaya. Selain itu yang dicari para wisatawan mancanagara yang datang ke Indonesia utamanya ke Jabar yang pertama kuliner, keduanya budaya tradisi. Untuk itulah pihaknya berusaha keras mengaktivasi seluruh asset yang ada untuk aktivitas-aktivitas positif seperti kebudayaan ini. Termasuk di GPK Jalan Naripan, yang hingga 2022 mati bagai kuburan, kini sudah menggeliat lagi dengan berbagai kegiatan seni, termasuk rutin dipakai latihan Galih Pakuan tiap Kamis dan NDC tiap Senin sore.
“Selamat ketua terpilih, semoga bisa menularkan atraksi seni budaya ini ke generasi muda, karena hari ini sangat deras sekali budaya luar masuk ke kita. Ini menjadi kegalauan dan kekhawatiran kami. Untuk itu kami mengajak para hadirin utamanya tokoh-tokoh seni budaya Jawa Barat untuk tidak bosan-bosannya menggunakan energi positif untuk menularkannya kepada generasi muda ke depannya. Karena siapa lagi kalau bukan kita yang melestarikan budaya ini,“ pesannya.
Dari kiri Risyani Pupuhu Galih Pakuan, Prof. Endang Caturwati, Prof. Een Herdiani dan bibit-bibit regenerasi (Foto Asep GP) |
Begitu juga dengan bahasa Sunda. “Saya ingat mertua saya ketika anak saya lahir jangan bebicara banyak kalau belum mampu membawa keluarga berbicara menggunakan bahasa Sunda. Beliau mengatakan … diajar basa deungeun mah bisa nuturkeun, tapi basa indung anu hese mah, nu matak basa indung kudu dijarkeun di imah.. (belajar dan bicara bahasa ibu itu lebih susah daripada belajar/ menggunakan bahasa Indonesia dan asing, oleh karena itu bahasa ibu harus diajarkan sejak dini di rumah). Siapa lagi yang akan melestarikan bahasa Sunda ari sanes ku urang-urang mah,“ pungkasnya.
Selain Kadisparbud Jabar, pergelaran ini pun mendapat apresiasi tinggi dari Guru Besar Tari ISBI Bandung, Prof. Een Herdiani.
“Ini pergelaran yang luar biasa! Coba bayangkan para penari senior yang usianya 70 tahun lebih hingga 80 tahun lebih, Bu Indrawati 80 Tahun, Pak Aim 84, Bu Risyani (74), dan lainnya, masih bisa tampil di panggung. Saya terharu campur bangga, kita saja yang muda-muda belum tentu bisa seperti mereka, bisa terus manggung hingga usia senja. Kegiatan-kegiatan seperti ini sudah jarang, sekarang ditampilkan lagi, kami memang sangat rindu menyaksikan pertunjukan-pertunjukan seperti ini, seperti nostalgia. Saya betul-betul terharu, semoga mereka diberi panjang umur agar bisa terus menyebarkan ilmu kepada anak-anak muda,“ katanya sambil menengadahkan kedua tangannya.
Prof. Endang Caturwati pun sebagai Guru Besar Seni Pertunjukan, menilai lebih pada pertunjukan langka dan bersejarah ini.
“Ini pergelaran sangat baik! Selain ngamumule seni budaya yang hampir punah, ini memberi contoh pada generasi muda bahwa kita punya taria-tarian yang pernah terkenal di tahun 50 dan 80-an karya para tokoh tari Jawa Barat. Tari itu banyak sekali manfaatnya selain untuk olahraga yang membuat para penarinya sehat, belajar tari juga melatih kebersamaan, tidak boleh egois, belajar sikap yang baik, juga mencintai seni tradisi kita. Semoga setelah pergelaran, tarian klasik ini dibuat arsip untuk dokumentasi,” pintanya serius.
Mang Dana Kendang, waraas emut ka mangsa lawas (Foto Asep GP) |
Sementara itu penari paling Senior yang tampil malam itu Muhammad Aim salim, S.Sen berharap, organisasi seni Galih Pakuan ini bisa jadi tali pengikat silaturahmi diantara seniman (Tari) Sunda untuk sama-sama melestarikan Tari Sunda, untuk kembali kepada jatidiri Sunda.
Kewajiban Sanggar seni, kata guru Dida Margana, Dewi Gita dan Hedi Yunus, mengenalkan kembali seni yang hampir musnah kepada generasi kiwari. Selain itu masyarakat dan pemerintah juga harus mendukung, karena suatu organisasi tanpa dukungan pemerintah dan masyarakat tidak akan hidup. “Berkembang dan hidupnya suatu budaya tergantung masyarakat pendukungnya. Ini hal serius karena frekwensi kegiatan seni tradisi di kita sangat langka dan tidak gampang mengumpulkan para penari seperti ini. Oleh karena saya bawel, suka cerewed mengingatkan anak-anak (murid), ku saha deui lamun lain ku urang dimumulena seni budaya Sunda teh,” kata penari berusia 84 tahun yang ngajar tari dari tahun 67, sekarang pun tiap hari Minggu (Pk.10.00 - 14.00) masih aktif ngajar tari di sanggarnya Setialuyu di Gedung Rumentangsiang, jalan Baranangsiang Kota Bandung.
Dan jangan lupa dibalik suksesnya pergelaran malam itu ada peran Dana Setiawan sebagai pemain Kendang. Ya tarian tanpa tabuhan kendang ibarat sayur tanpa garam. Dan komentarnya terhadap pergelaran malam itu. “Alhamduliilah sarae (bagus-bagus) walaupun penarinya sudah pada sepuh tapi masih kreatif dan aktif, hafal terhadap susunan gerak, biasanya kan maklum orang tua suka lupa,“ kata Mang Dana Kendang sambil mengacungkan jempolnya. Ini waraas, ingat masa lalu katanya, nostalgia. “Sewaktu mereka kuliah, saya yang mengiringi menabuh kendang, sekarang pun di masa tuanya saya masih sempat ngendangan mereka. Waraas, saya jadi teringat para senior di ISBI zaman dulu seperti zaman Pak Yuyun, Pak Yusuf dan Pak Enoch..waraas,“ katanya, sambil terus mengikat kendang kesayangannya di jok motor, menyembunyikan rasa harunya.
Pak Dana memang sejak tahun 77 sudah jadi karyawan ISBI Bandung, namanya pun masih Kori, ketika berubah jadi ASTI 2008, Mang Dana 2009 ditarik SMKI (SMKN 10 Bandung). Sekarang pun di masa pensiunnya masih aktif manggung tiap Sabtu dan Minggu di Hotel Panghegar (kini El Royal) Jalan Merdeka Bandung, menghibur tamu yang makan pagi (gambangan – suling ). Selain itu mang Dana pun jadi konsultan tari mahasiswa ISBI dan ngajar seni di Perikanan.
Penonton pun membludak (Foto Asep GP) |
Juru Kendang pituin/asli dari Binong Bandung ini adalah cucunya Bah Api juru kendang terkenal zaman Pak Yusuf, Pak Boma dan rupanya selain terkenal kepiawaiannya menabuh kendang, Bah Api juga terkenal sebagai penabuh kendang kidal, memakai tangan kiri, lain dari kebanyakan penabuh kendang lainnya yang dominan memakai tangan kanan.
Selain itu mang Dana juga diwaris lalaguan Cirebonan (pengiring Tari Topeng Rumiyang, Panji, Klana, Tumenggung, Pamindo) langsung oleh saehunya, Pak Sujana (Sujana Arja, Mestro Tari Topeng Selangit-Cirebon). Tidak heran kalau kabisanya itu telah membawanya manggung ke Amerika, Jepang, Malaysia, Singapura dan dipercaya jadi pelatih Degung oleh Bu Cinta (Atalia Praratya, istri Ridwan Kamil) yang waktu itu sebagai istri walikota Bandung dan Ketua Dharma Wanita dan manggung di NTT, Timor Leste. Mang Dana yang kini usianya 74 tahun mengaku masih kuat ngendangan dalam tiap pergelaran walau sudah tidak setangguh dulu, latihan di Cirebon aja bisa tahan sampai jam 4 subuh. Tapi, InsyaAlloh abdi bakal teras ngendangan dugi ka teu walakaya,“ katanya pasti.
Mendapat berbagai dukungan dari semua kalangan membuat Wakil Ketua GP Ahmad Zakaria bersyukur dan bahagia. Dengan adanya pergelaran ini dia jadi yakin potensi masyarakat Jabar itu masih ada. Tinggal menghimpun saja. Kalau Galih Pakuan sudah memulainya dengan mengadakan latihan rutin di GPK Naripan Bandung tiap hari Kamis.
“Dengan dukungan pemerintah GP pun ke depannya akan mengadakan pelatihan-pelatihan ke sekolah, sosialisasi seni tari dan akan membuka kursus. Materinya pun bukan hanya sekedar tari klasik saja, karena GP itu dulunya berupa Helaran yang di dalamnya terdapat berbagai kesenian Sunda, seperti Silat, Angklung Buncis, Dogdog Lojor juga Sisingaan. Jadi dengan kerjasama yang baik dari pelaku-pelaku seni dan dukungan pemerintah yang lebih mengedepankan kesenian Jawa Barat, kita bisa melestarikan seni-budaya Sunda,” katanya pasti.
Topeng Kencana Wungu, dibawakan oleh Irma (Foto Asep GP) |
Hal itu dibenarkan Dida Margana (Humas GP ) dan Nina Lydia (Bendahara GP), kedepannya GP akan mengadakan diklat dan pasanggiri-pasanggiri (lomba), Dida akan segera bertemu kadisdik untuk membicarakan hal ini. ”Semisal tiap sekolah mengirimkan 5 wakilnya, se-Bandung aja sudah ada berapa, GP itu benar-benar lagi membutuhkan para penari laki-laki. Dalam pergelaran tadi aja Tari topeng Tumenggung yang biasanya ditarikan oleh pria ditarikan Bu Risyani. Jadi memang kekurangan personil penari laki-laki,“ kata Dida.
Adapun yang akan diajarkan nanti di Galih Pakuan utamanya Tari Narantika Rarangganis dan tari ini akan dijadikan maskot untuk upacara-upacara adat, penyambutan tamu, wisuda, samen (syukuran kenaikan kelas) sekolah, dsb.
Riwayat Galih Pakuwon, sebagaimana yang dijelaskan Aim Salim, Irawati Durban, Yati Mamat, Yuli Sunarya dan Ahmad Zakaria, lahir ketika Aang Kunaefi jadi Gubernur Jawa Barat. Ketika itu Pak Aang yang menjabat Gubernur Jawa Barat tahun 75-85, pada taun 79 ingin punya tim kesenian Sunda yang khusus untuk menyambut para tamu Negara utamanya yang berkunjung ke Jawa Barat, termasuk ke Istana Bogor. Kemudian beliau memanggil Enoch Atmadibrata, tokoh tari yang juga menjabat Kepala Pembinaan Kebudayaan Jawa Barat. Seterusnya berembuk bersama para inohong seni-budaya Sunda, termasuk Nugraha Soediredja, Indrawati Lukman, Irawati Durban, dan seniman lainnya yang ahli pencak silat, dogdog lojor, angklung buncis, dsb, lalu semua kesenian itu dirangkum dibuat satu protokoler untuk menyambut tamu Negara dengan konsep kesenian bernama Tari PURAGABAYA berupa helaran/arak-arakan kesenian, seterusnya ketika dipergelarkan di panggung bernama Narantika Rarangganis.
Tarian maskot Jawa Barat ini selain sering manggung di Istana juga pernah magelaran menyambut tamu dari mancanegara dalam perayaan Ulang Tahun Konferensi Asia-Afrika ke-30 di Gedung Merdeka Bandung, yang ketika itu dihadiri Presiden Soeharto. (Asep GP)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment