Home
» Pendidikan
» Antropologi Budaya ISBI Bandung Gelar Seminar Internasional Sikapi Perubahan Iklim dan Gempa Megathrust
Saturday, October 5, 2024
Peserta Seminar membludak memenuhi Gedung Kesenian Sunan Ambu (Foto Asep GP) |
Isu global tentang masalah perubahan iklim dan bencana alam Gempa Megathrust, gempa bumi dasyat pemicu tsunami yang belum lama ini meluluhlantakan Nankai Jepang (8 Agustus 2024) dan diprediksi BMKG akan terjadi di Indonesia, tak urung mendapat perhatian juga dari pihak kampus, dalam hal ini prodi/jurusan Antropologi Budaya ISBI Bandung.
Hal itu dibuktikan dengan menggelar Seminar Internasional dan Pergelaran Seni dengan tema “Pelestarian dan Pengembangan Budaya Etnik Nusantara dalam Dinamika Global ” (International Seminar & Art Performance. Theme: ‘Preservation and development of Nusantara Ethnic Culture in Global Dynamic). Seminar internasional yang menampilkan Pembicara Kunci (keynote speaker) Prof. Sri Rustiyanti, S.Sn., M.Sn dan Yuri Rumero Hurtado, M.Sc., yang dipandu Moderator: Neneng Yanti Khozanatu Lahpan, M.Hum., Ph..D dan Annisa Arum Mayang, S.sos., M.Hum, berlangsung Kamis, (3/10/2024) di GK. Sunan Ambu ISBI Bandung Jl. Buah Batu No. 212 Kota Bandung.
“Pasalnya, kedua isu global tersebut ternyata dampaknya tidak hanya pada persoalan ekologi tapi juga kebudayaan. Bencana Alam, isu Gempa Megathrust ini juga bisa berdampak pada kebudayaan, misalnya di beberapa cagar budaya, situs arkeologi suatu kebudayaan bisa musnah karena bencana. Ini harus menjadi perhatian kita bersama dan ini bukan hanya satu negara tapi sudah jadi isu global dan Unesco sudah mendorong hal ini. Nah kita ISBI Bandung terutama Prodi Antropologi Budaya berkepentingan dengan hal ini,” demikian disampaikan Kaprodi Antropologi Budaya ISBI Bandung Dr. Imam Setyobudi, S.Sos, tentang latar belakang diadakannya seminar internasional ini.
Megathrust kata Imam gempa yang sangat dasyat, dan pemerintah sendiri sudah melakukan mitigasi keselamatan manusia. Tapi masalah keselamatan heritage warisan, situs cagar budaya, berupa benda, belum disinggung-singgung.
Nah yang harus kita perhatikan yang heritage ini, kita harus mengadakan pemetaan apakah keberadaan heritage, situs cagar budaya ini ada pada jalur gempa, kalau demikian bagaimana cara melindunginya. Jangan sampai hancur tak tersisa.
“Salah satu contohnya Candi Kimpulan candi yang dibangun sekitar abad ke 8-9 Masehi itu tertimbun erupsi gunung Merapi di Yogya, termasuk situs-situs heritage yang ada di Kota Bandung dan Jawa Barat, ya ini harus jadi perhatian kalau ada di jalur gempa bagaimana bangunannya harus dilindungi apakah itu dilengkapi dengan anti gempa dengan bekerja sama dengan ahli bangunan, arsitek, teknik sipil agar tidak rusak,“ kata Imam.
(Foto Asep GP) |
Tentu saja perhelatan seminar internasional ini disambut baik Rektor ISBI Retno Dwimarwati, karena hastag ISBI sebagai agen pemajuan kebudayaan, kalau dulu ISBI hanya peduli pada kesenian sekarang semua objek pemajuan kebudayaan temasuk situs cagar budaya menjadi konsen perhatian ISBI. Makanya kata rektor ISBI Bandung terus melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat di Kota/ Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Sumedang serta daerah lainnya mencoba menggali itu kembali. “Kemarin ISBI ketika mengadakan pertemuan dengan pihak KBB ternyata mengemuka ada situs yang berada di trotoar di daerah Ngamprah, itu kan karunya (kasihan, sangat disayangkan) itu juga kita bicarakan. Jadi kita berusaha bahwa seluruh objek pemajuan kebudayan termasuk cagar budaya, menjadi objek kajian kami dan semoga kita bisa memberikan kontribusi pada Pemajuan Kebudayaan,“ tegas Retno.
Jadi Seminar internasional kata Retno, merupakan upaya menguatkan ISBI Bandung sebagai Agen Pemajuan Kebudayaan untuk melihat seluruh kapasitas, potensi, kompetensi yang ada di Nusanatara ini bisa terbaca ulang. “Karena banyak hal-hal yang kita miliki tetapi rada teu dipalire, tidak terlalu dipedulikan. Jadi upaya-upaya ini melihat bahwa apapun yang kita punya, kita miliki, apakah itu tradisi yang sudah punah atau masih hidup kita coba gali dan kembangkan kembali serta maknai kembali. Jadi ada reinterpretasi kemudian ada upaya rekonstruksi, revitalisasi agar semua nilai-nilai yang pernah kita punya itu bisa kita kenalkan lagi pada generasi muda,“ demikian kata bu rektor.
Penampilan Kesenian (Foto Asep GP) |
Dan sekarang di era global lanjut Retno, tantangannya jauh lebih berat, untuk mengenalkan kekayaan budaya kita tidak lagi secara konvensional hanya dipertunjukan di sini, tapi bagaiman kita berupaya menjadikan semua yang kita miliki ini bisa berskala internasional. Salah satunya seperti ini dengan bentuk seminar internasional. Walau sebenarnya ngajomantarakeun bentuk-bentuk karya dengan media sosial, dengam media yang lebih luas dengan platform-platform digital jauh lebih menarik.
“Jadi kesadaran ini agar anak antopologi ISBI yang berbasis budaya disiapkan untuk peduli dan engeuh terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga dia nanti membuat karya-karya berbasis tradisi dengan cara-cara kiwari,“ katanya.
Intinya melalui penyelenggaraan seminar internasional ini, seperti yang dikatakatakan dalam sambutannya, Retno berharap ISBI Bandung sebagai institusi seni akan semakin berperan di tengah masyarakat, sebagai lembaga pengembangan seni dan budaya; sebagai pengawal budaya bangsa; dan sebagai pencerah bagi kemajuan nalar dan budaya manusia yang bermartabat. Selain itu, saya berharap seminar ini akan menghasilkan banyak wawasan baru untuk didiskusikan dan dirumuskan sebagai tantangan-tantangan baru.
(Foto Asep GP) |
Penyelenggaraan seminar internasional ini sangat penting, tidak hanya bagi para akademisi tetapi juga bagi masyarakat luas. Hal ini merupakan salah satu upaya universitas dalam mengimplementasikan tiga pilar penting, yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian, serta pengabdian kepada masyarakat. Rutinitas dalam menyelenggarakan seminar, baik dalam lingkup terbatas maupun global, menjadi salah satu pendorong semangat bagi para insan akademis untuk secara rutin melakukan penelitian dan menyampaikan hasil penelitiannya kepada masyarakat luas melalui sebuah forum akademik. Sebagai pimpinan ISBI Bandung, saya bercita-cita untuk secara rutin menyelenggarakan kegiatan seminar internasional, memberikan wadah bagi para insan intelektual untuk melakukan penelitian dan mempresentasikan hasil penelitiannya dalam sebuah forum akademis yang sesuai.
“Sejalan dengan visi dan misi ISBI Bandung untuk menjadi institusi seni yang berkualitas tinggi dan berdaya saing dalam skala lokal, nasional, dan global, seminar internasional ini merupakan salah satu dari sekian banyak upaya yang bertujuan untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Upaya ini merupakan bagian dari komitmen kami untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing bangsa, baik di tingkat nasional maupun global,“ pungkasnya.
Para pejabat ISBI Bandung diantara para nara sumber (Foto Asep GP) |
Sementara itu Dekan Fakultas Ilmu Budaya dan Media, Dr. Cahya Hedy, S.Sn., M.Hum, dalam kesempatan yang sama mengatakan pada wartawan, Fakultas Budaya dan Media mencoba memberikan kesempatan kepada 2 prodi yang dimilikinya, Antropologi Budaya dan Prodi Film dan Televisi, untuk mengemas sebuah event yang bisa mengangkat persoalan seni dan budaya dalam bentuk seminar. Jadi ini bentuk pengembangan dari Festival Budaya Nusantara yang tiap tahun digelar jurusan Antropologi Budaya, sedangkan Prodi Film dan Televisi ada Festival film Nusantara.
Dan tahun ini Prodi Antropologi Budaya mengembangkannnya menjadi kemasan seminar internasional yang menghadirkan narasumber dari luar dan nara sumber dari ISBI yang intinya mengangkat isu-isu budaya yang bisa dijadikan ranah riset oleh para mahasiswa.
Rektor ISBI Retno Dwimarwati bersama Dekan FIB dan Media (kiri) dan Kaprodi Antropologi Budaya (Foto Asep GP) |
Tujuan seminar ini kata dekan, memberikan wawasan keilmuan, pencerahan, suplemen keilmuan kepada para mahasiswa agar dengan adanya para nara sumber dari luar mereka bisa lebih terbuka wawasannya, bahwa persoalan Antropologi Budaya itu ranahnya bisa melebar ke berbagai aspek pengkajian dan didalamnya ada seni, sesuai dengan tema seminar, “Preservation and Development of Nusantara Ethnic Culture in Global Dynamic.” Jadi di samping ada bahasan secara keilmuan, secara teori yang digunakan dalam riset, juga ada praktik berkeseniannya.
“Jadi mereka supaya sadar bahwa inilah salah satu pembeda Antropologi Budaya ISBI Bandung dengan di luar ISBI, karena Antropologi Budaya lahir dalam Rahim seni. Sebagai jurusan yang dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan kampus seni, maka harus ada seninya. Itulah salah satu ciri pembedanya,“ demikian kata dekan. (Asep GP)***
Tatarjabar.com
October 05, 2024
CB Blogger
IndonesiaAntropologi Budaya ISBI Bandung Gelar Seminar Internasional Sikapi Perubahan Iklim dan Gempa Megathrust
Posted by
Tatarjabar.com on Saturday, October 5, 2024
Peserta Seminar membludak memenuhi Gedung Kesenian Sunan Ambu (Foto Asep GP) |
Isu global tentang masalah perubahan iklim dan bencana alam Gempa Megathrust, gempa bumi dasyat pemicu tsunami yang belum lama ini meluluhlantakan Nankai Jepang (8 Agustus 2024) dan diprediksi BMKG akan terjadi di Indonesia, tak urung mendapat perhatian juga dari pihak kampus, dalam hal ini prodi/jurusan Antropologi Budaya ISBI Bandung.
Hal itu dibuktikan dengan menggelar Seminar Internasional dan Pergelaran Seni dengan tema “Pelestarian dan Pengembangan Budaya Etnik Nusantara dalam Dinamika Global ” (International Seminar & Art Performance. Theme: ‘Preservation and development of Nusantara Ethnic Culture in Global Dynamic). Seminar internasional yang menampilkan Pembicara Kunci (keynote speaker) Prof. Sri Rustiyanti, S.Sn., M.Sn dan Yuri Rumero Hurtado, M.Sc., yang dipandu Moderator: Neneng Yanti Khozanatu Lahpan, M.Hum., Ph..D dan Annisa Arum Mayang, S.sos., M.Hum, berlangsung Kamis, (3/10/2024) di GK. Sunan Ambu ISBI Bandung Jl. Buah Batu No. 212 Kota Bandung.
“Pasalnya, kedua isu global tersebut ternyata dampaknya tidak hanya pada persoalan ekologi tapi juga kebudayaan. Bencana Alam, isu Gempa Megathrust ini juga bisa berdampak pada kebudayaan, misalnya di beberapa cagar budaya, situs arkeologi suatu kebudayaan bisa musnah karena bencana. Ini harus menjadi perhatian kita bersama dan ini bukan hanya satu negara tapi sudah jadi isu global dan Unesco sudah mendorong hal ini. Nah kita ISBI Bandung terutama Prodi Antropologi Budaya berkepentingan dengan hal ini,” demikian disampaikan Kaprodi Antropologi Budaya ISBI Bandung Dr. Imam Setyobudi, S.Sos, tentang latar belakang diadakannya seminar internasional ini.
Megathrust kata Imam gempa yang sangat dasyat, dan pemerintah sendiri sudah melakukan mitigasi keselamatan manusia. Tapi masalah keselamatan heritage warisan, situs cagar budaya, berupa benda, belum disinggung-singgung.
Nah yang harus kita perhatikan yang heritage ini, kita harus mengadakan pemetaan apakah keberadaan heritage, situs cagar budaya ini ada pada jalur gempa, kalau demikian bagaimana cara melindunginya. Jangan sampai hancur tak tersisa.
“Salah satu contohnya Candi Kimpulan candi yang dibangun sekitar abad ke 8-9 Masehi itu tertimbun erupsi gunung Merapi di Yogya, termasuk situs-situs heritage yang ada di Kota Bandung dan Jawa Barat, ya ini harus jadi perhatian kalau ada di jalur gempa bagaimana bangunannya harus dilindungi apakah itu dilengkapi dengan anti gempa dengan bekerja sama dengan ahli bangunan, arsitek, teknik sipil agar tidak rusak,“ kata Imam.
(Foto Asep GP) |
Tentu saja perhelatan seminar internasional ini disambut baik Rektor ISBI Retno Dwimarwati, karena hastag ISBI sebagai agen pemajuan kebudayaan, kalau dulu ISBI hanya peduli pada kesenian sekarang semua objek pemajuan kebudayaan temasuk situs cagar budaya menjadi konsen perhatian ISBI. Makanya kata rektor ISBI Bandung terus melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat di Kota/ Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Sumedang serta daerah lainnya mencoba menggali itu kembali. “Kemarin ISBI ketika mengadakan pertemuan dengan pihak KBB ternyata mengemuka ada situs yang berada di trotoar di daerah Ngamprah, itu kan karunya (kasihan, sangat disayangkan) itu juga kita bicarakan. Jadi kita berusaha bahwa seluruh objek pemajuan kebudayan termasuk cagar budaya, menjadi objek kajian kami dan semoga kita bisa memberikan kontribusi pada Pemajuan Kebudayaan,“ tegas Retno.
Jadi Seminar internasional kata Retno, merupakan upaya menguatkan ISBI Bandung sebagai Agen Pemajuan Kebudayaan untuk melihat seluruh kapasitas, potensi, kompetensi yang ada di Nusanatara ini bisa terbaca ulang. “Karena banyak hal-hal yang kita miliki tetapi rada teu dipalire, tidak terlalu dipedulikan. Jadi upaya-upaya ini melihat bahwa apapun yang kita punya, kita miliki, apakah itu tradisi yang sudah punah atau masih hidup kita coba gali dan kembangkan kembali serta maknai kembali. Jadi ada reinterpretasi kemudian ada upaya rekonstruksi, revitalisasi agar semua nilai-nilai yang pernah kita punya itu bisa kita kenalkan lagi pada generasi muda,“ demikian kata bu rektor.
Penampilan Kesenian (Foto Asep GP) |
Dan sekarang di era global lanjut Retno, tantangannya jauh lebih berat, untuk mengenalkan kekayaan budaya kita tidak lagi secara konvensional hanya dipertunjukan di sini, tapi bagaiman kita berupaya menjadikan semua yang kita miliki ini bisa berskala internasional. Salah satunya seperti ini dengan bentuk seminar internasional. Walau sebenarnya ngajomantarakeun bentuk-bentuk karya dengan media sosial, dengam media yang lebih luas dengan platform-platform digital jauh lebih menarik.
“Jadi kesadaran ini agar anak antopologi ISBI yang berbasis budaya disiapkan untuk peduli dan engeuh terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga dia nanti membuat karya-karya berbasis tradisi dengan cara-cara kiwari,“ katanya.
Intinya melalui penyelenggaraan seminar internasional ini, seperti yang dikatakatakan dalam sambutannya, Retno berharap ISBI Bandung sebagai institusi seni akan semakin berperan di tengah masyarakat, sebagai lembaga pengembangan seni dan budaya; sebagai pengawal budaya bangsa; dan sebagai pencerah bagi kemajuan nalar dan budaya manusia yang bermartabat. Selain itu, saya berharap seminar ini akan menghasilkan banyak wawasan baru untuk didiskusikan dan dirumuskan sebagai tantangan-tantangan baru.
(Foto Asep GP) |
Penyelenggaraan seminar internasional ini sangat penting, tidak hanya bagi para akademisi tetapi juga bagi masyarakat luas. Hal ini merupakan salah satu upaya universitas dalam mengimplementasikan tiga pilar penting, yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian, serta pengabdian kepada masyarakat. Rutinitas dalam menyelenggarakan seminar, baik dalam lingkup terbatas maupun global, menjadi salah satu pendorong semangat bagi para insan akademis untuk secara rutin melakukan penelitian dan menyampaikan hasil penelitiannya kepada masyarakat luas melalui sebuah forum akademik. Sebagai pimpinan ISBI Bandung, saya bercita-cita untuk secara rutin menyelenggarakan kegiatan seminar internasional, memberikan wadah bagi para insan intelektual untuk melakukan penelitian dan mempresentasikan hasil penelitiannya dalam sebuah forum akademis yang sesuai.
“Sejalan dengan visi dan misi ISBI Bandung untuk menjadi institusi seni yang berkualitas tinggi dan berdaya saing dalam skala lokal, nasional, dan global, seminar internasional ini merupakan salah satu dari sekian banyak upaya yang bertujuan untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Upaya ini merupakan bagian dari komitmen kami untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing bangsa, baik di tingkat nasional maupun global,“ pungkasnya.
Para pejabat ISBI Bandung diantara para nara sumber (Foto Asep GP) |
Sementara itu Dekan Fakultas Ilmu Budaya dan Media, Dr. Cahya Hedy, S.Sn., M.Hum, dalam kesempatan yang sama mengatakan pada wartawan, Fakultas Budaya dan Media mencoba memberikan kesempatan kepada 2 prodi yang dimilikinya, Antropologi Budaya dan Prodi Film dan Televisi, untuk mengemas sebuah event yang bisa mengangkat persoalan seni dan budaya dalam bentuk seminar. Jadi ini bentuk pengembangan dari Festival Budaya Nusantara yang tiap tahun digelar jurusan Antropologi Budaya, sedangkan Prodi Film dan Televisi ada Festival film Nusantara.
Dan tahun ini Prodi Antropologi Budaya mengembangkannnya menjadi kemasan seminar internasional yang menghadirkan narasumber dari luar dan nara sumber dari ISBI yang intinya mengangkat isu-isu budaya yang bisa dijadikan ranah riset oleh para mahasiswa.
Rektor ISBI Retno Dwimarwati bersama Dekan FIB dan Media (kiri) dan Kaprodi Antropologi Budaya (Foto Asep GP) |
Tujuan seminar ini kata dekan, memberikan wawasan keilmuan, pencerahan, suplemen keilmuan kepada para mahasiswa agar dengan adanya para nara sumber dari luar mereka bisa lebih terbuka wawasannya, bahwa persoalan Antropologi Budaya itu ranahnya bisa melebar ke berbagai aspek pengkajian dan didalamnya ada seni, sesuai dengan tema seminar, “Preservation and Development of Nusantara Ethnic Culture in Global Dynamic.” Jadi di samping ada bahasan secara keilmuan, secara teori yang digunakan dalam riset, juga ada praktik berkeseniannya.
“Jadi mereka supaya sadar bahwa inilah salah satu pembeda Antropologi Budaya ISBI Bandung dengan di luar ISBI, karena Antropologi Budaya lahir dalam Rahim seni. Sebagai jurusan yang dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan kampus seni, maka harus ada seninya. Itulah salah satu ciri pembedanya,“ demikian kata dekan. (Asep GP)***
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment